17 Rona Merah Muda

Tubuhnya lelah dengan beberapa memar yang masih baru ia dapatkan. Apa yang bisa ia kutuk? hanya dirinya yang bersalah telah lahir didunia. Atau karena Tuhan terlalu malas membalas semua doa-doa nya ? ia rasa bahkan sudah sangat hina hingga memaki Tuhan. Kantung matanya terlihat menghitam bukan hal aneh jika dirinya bahkan tak tidur. Bukan seperti masalah remaja sekarang yang egois mengorbankan jam tidur hanya untuk bersenang-senang. Ini sangat berbeda bagi Michelle, tak ada pilihan lain jika ia masih ingin hidup.

Kepalanya terasa pening dan sangat berat. Hanya butuh beberapa detik ia bisa saja tertidur pulas.

"jangan sekarang Michelle, ayo bertahan sebentar lagi" monolognya ditemani semilir Air Conditioner tepat diatas kepalanya. Membuat sekujur tubuhnya makin membeku.

Shift nya selesai tepat ketika berhasil melayani belanjaan seorang wanita paruh baya. Menata barangnya yang cukup banyak didalam sebuah tas ransel sekolah. Hanya tas itu yang ia punya, tak perlu membeli yang baru jika masih bisa di pakai.

Menghitung beberapa lembar uang yang tersisa di dompetnya, masih cukup jika menyewa sauna untuk tidur satu malam. Kemarin mimpi buruknya menjadi kenyataan, bahkan rasanya sesak jika kembali mengingat.

Kaki kurusnya melangkah dengan perlahan. Perutnya masih berbunyi tanda belum ada satupun makanan yang masuk. Tubuhnya sempoyongan tak seimbang di tambah pandangannya semakin memburam. Hingga yang terakhir dia ingat hanyalah langit senja.

.

.

"jadi kau sama sekali tidak tahu rasa tteokboki dan Jajangmyeon ini ?" tanya eugene. Menepuk perutnya yang kenyang dengan seporsi jumbo tteokboki yang mereka berdua santap.

"ini benar benar lezat !" karamel Casey tampak berbinar seperti anak kecil yang mendapatkan permen. "besok kita makan lagi dengan banyak !"

Eugene meringis ngeri mengingat betapa lahapnya casey makan tadi. Sesaat terlupa bahwa casey adalah bangsawan yang menjunjung tinggi adab. "jangan bilang kau akan membangun restoran tteokboki sendiri ?" sebenernya hanya gurauan Eugene melihat betapa antusias gadis kaya itu terhadap makanan jalanan.

"ide bagus !!" Casey malah tersenyum lebar. Orang yang terlalu kaya memang menyeramkan.

'BRUUUK !!'

Mereka sontak menoleh ke asal suara yang tak jauh. Gadis yang mereka tunggu tiba-tiba sudah tergeletak didepan minimarket.

"MICHELLE !"

Keduanya tergopoh-gopoh mendatangi sosok Michelle. Tubuh gadis itu nampak pucat dengan beberapa ruam mengintip dari balik pakaian panjangnya.

"HEY MICHELLE SADARLAH !" Eugene menggoncang bahu Michelle, memanggil agar gadis yang bersandar pada pahanya terbangun. Ada rasa cemas luar biasa menjalar memenuhi hatinya. "Michelle jangan mati dulu !!" Pekik Eugene histeris.

"aku tak akan mati sebelum menendangmu bodoh" mata sayu itu akhirnya terbuka, dengan lemas bibir pucatnya memaki Eugene.

"Michelle kau tak jadi mati ?!!" Eugene memeluk Michelle dengan erat hingga gadis itu menepuk-nepuk tubuh besar Eugene.

"aku akan mati sungguhan jika kau tak lepaskan !"

"ah maaf~"

Masih dengan kepala yang pusing, Michelle mencoba bangkit namun usahanya gagal. sempat berdoa jika saja Tuhan mencabut nyawanya tadi, sebelum dua gadis itu menemukan dirinya yang tak berdaya. Michelle benci, sangat benci fakta bahwa kini ia terlihat sangat lemah dan mengundang belas kasihan orang.

"aku akan mengantarmu pulang" kali ini Casey angkat bicara. Melihat keadaan Michelle bukankah lebih cepat membawanya pulang daripada berlama-lama di luar saat udara dingin mulai menjalar.

"Ja—jangan kesana—" Eugene dan casey terdiam, gelagat Michelle sangat tidak biasa. Tubuh gadis itu bergetar dengan wajah tertunduk. "Ja—ngan bawa aku ke—kesana—" Ada sesuatu yang di sembunyikan dan Eugene mengerti ia tak seharusnya bertanya.

"Michelle, ayo pulang kerumah ku" Lembut, ajakan Eugene menghangatkan darah Michelle. Walau begitu ia masih bertahan dengan egonya yang tak ingin di kasihani.

"Ti—tidak usah" berusaha bangkit agar secepatnya meninggalkan kedua orang yang harusnya tak ia lihat hari ini.

"aku akan melaporkan mu ke sekolah jika kau masih menolak" Ujar Eugene tegas. tentu saja ini bukan lagi ajakan tapi perintah. Gadis jangkung itu sangat tahu bagaimana kelemahan Michelle. Tak bisa berkutik lagi akhirnya Michelle mengangguk.

"kenapa tak di rumahku saja ?" Casey ikut memberi tawaran. Bukankah lebih bagus Michelle di bawa ke rumahnya, ia sungguh akan memberikan apapun jenis bantuan pada temannya ini.

Eugene menggeleng "maaf Casey, jika kau ingin membantu cukup jangan beritahu pada sekolah akan hal ini. Janji ?" ucapnya. 'bagaimana aku akan menjelaskan jika Michelle sedikit tak menyukaimu casey, maaf~' batin eugene.

Casey menghela nafas, sedikit berat hati karena tawarannya di tolak. Tak berarti gadis itu akan menyerah, tentu saja ia akan mencari cara agar lebih dekat dengan keduanya.

.

"masuklah, anggap saja rumah sendiri" Eugene lebih dulu masuk ke dalam rumah membawa serta tas Michelle walau sudah berkali-kali di larang. "Aku akan membawa tas mu ke kamar, kau bisa mandi dulu"

"biar aku bawa sendiri—" tangan Michelle meraih tas yang di bawa eugene namun dengan cepat Eugene menepis.

"aku bilang anggap rumah sendiri, sudah biarkan aku yang bawa. Kau tinggal jalan ke arah dapur, kamar mandi ada di sebelah sana oke" Gadis jangkung itu berlalu menaiki tangga, bisa di tebak kamar yang di maksud terletak di lantai atas.

Dengan perlahan Michelle berjalan mengikuti instruksi eugene. Ini pertama kali Michelle memasuki rumah yang besar. ada sebuah jam dinding antik yang suaranya berdengung cukup keras, ada ruang keluarga dengan tv besar juga sofa yang Michelle tebak sangat empuk, Dapur yang berukuran lumayan besar dengan peralatan yang lengkap. Michelle sempat menganga namun langsung menepuk pipinya. Tak boleh terlihat memalukan apalagi ini kali pertama ia bertamu ke rumah teman.

.

"Michelle di rumahku, Michelle di rumahku, Michelle di rumahku..." sedari tadi eugene bolak balik kamarnya menetralkan degup jantungnya yang berdetak tak karuan. Belum lagi fakta bahwa hanya mereka berdua yang berada dirumah membuat pikirannya kacau. Terlupa akan pesan ayah dan ibunya yang akan ke rumah Neneknya yang sakit. Alasan klasik padahal Eugene tahu keduanya akan berbulan madu tanpa mengajak dirinya.

"okay eugene, tarik nafas~ buang~ " berkali kali gadis jangkung itu sibuk sendiri. Meremat kuat handuk dan baju ganti untuk Michelle, siapa lagi kalau bukan dia yang harus menyerahkan pada Michelle ?

Kakinya seperti tak bertulang saat selangkah demi selangkah menuruni tangga. Jaraknya dengan kamar mandi cukup dekat namun kenapa waktu terasa sangat lambat. "Tegapkan tubuhmu Eugene Ahn !!" kembali dirinya bermonolog. Menghalau segala rasa gugup walau usahanya sia sia. Tangannya masih gemetar begitu mengetuk pintu kamar mandi.

'TOK TOK TOK'

"Aku ambilkan baju ganti dan handuk untukmu" Suaranya bahkan terputus-putus nyaris tak terdengar.

"ada apa ?" dengan tak berdosa Michelle membuka celah pintu, wajahnya yang basah mengintip dari dalam. Dengan cepat Eugene memejamkan matanya.

"I—ini.. baju.. untukmu" dan eugene sukses terbata kembali.

"terimakasih" Michelle mengulurkan tangannya dari dalam, mengambil helaian baju dari atas tangan eugene. Sesaat, walau hanya sedetik Eugene merasakan dinginnya tangan Michelle dengan beberapa buliran air ikut membasahi kulitnya.

'DEG !'

Mengambil langkah seribu, secepatnya menjauh agar Michelle tak mendengar degup jantungnya yang seperti akan meledak. belum lagi panas dipipinya pasti akan membentuk semburat merah muda. Ini tak bisa di biarkan, Rasanya Eugene akan terbang karena ribuan kupu-kupu didalam perutnya berterbangan.

avataravatar
Next chapter