29 Nightmare before Sunrise

Mencintai itu mudah. Kau hanya butuh kurang dari 1 hari untuk mencintai seseorang, bahkan beberapa orang percaya dengan cinta pandangan pertama. Namun mempertahankan hubungan dan hati adalah yang paling susah. Tak semua orang bisa bertahan dalam fase paling membingungkan. Orang kadang larut dalam emosi dan kegundahan hati. Tak jarang bahkan hanya mementingkan diri sendiri.

Tak ada yang ingin ditinggalkan saat masih mencinta. Seseorang bisa saja melakukan segala cara untuk mendapatkan cintanya. Begitu juga dengan Sally, ia sangat mencintai Miller. Sangat hingga rasanya akan meledak.

Langit berwarna se perak tiram saat Sally menyambut kepulangan Miller dengan penuh senyuman. "Aku hamil.."

Miller tampak begitu gembira. Ia menerjang memeluk dengan erat istrinya. Melimpahkan semua perasaan cintanya selama ini, begitupun Sally. Wanita itu menangis tersedu-sedu di bahu Miller.

Semuanya berjalan sangat baik. Berputar mengikuti alur nampak sangat mulus seperti besi yang baru dicat. Nuansa biru menghiasi kamar dengan box bayi mengisi. Beberapa mainan berjejer rapi didalam ruangan dan akan bertambah seiring waktu berjalan.

Sally menatap dengan tatapan haru. Ia sudah menjadi istri dan ibu yang sempurna. Jemarinya mengelus lembut perut yang semakin membuncit. Bahagia tentu saja. Istri mana yang tak bahagia jika di karuniai anak.

Namun seperti sebuah film, tak semuanya tampak menyenangkan di awal. Selalu ada kepahitan, selalu ada konflik yang menyertai.

Miller pulang dengan wajah kusut semendung langit di luar. Tatapannya kosong seperti tak ada kehidupan didalamnya. Sally memburu kedatangan suaminya dengan perasaan khawatir. Masalah apa yang bisa membuat pria itu sangat terpukul.

"kita harus berkemas"

Kalimat singkat yang mampu membuat Sally terdiam. Ia tak bodoh ataupun tuli. Beberapa media sudah memberitakan masalahnya sebelum Miller bersikap seperti ini. Ia ingin menganggap semua ini hanya rumor. Ya, Sally hanya takut untuk terlalu percaya pada kabar buruk tentang kebangkrutan suaminya.

Ia sangat mencintai suaminya. Tak masalah jika harus tinggal dalam apartemen kumuh sempit. Yang ia mau adalah berada disisi suaminya.

Dengan perutnya yang semakin membesar memasuki bulan ke 8, Sally tengah memasak dengan bahan makanan seadanya di dapur yang sempit.

'Krieeet'

Suara decitan khas dari engsel pintu yang terbuka. Seseorang baru saja masuk dan jelas itu adalah suaminya. Tak ada orang lain yang bertamu, baik keluarga ataupun kerabatnya lagi. Mereka telah dibuang. Bahkan keluarga Miller menyalahkan atas apa yang terjadi dengan anaknya.

"Kau sudah pulang ? aku telah menyiapkan makanan" Sally menyapa ramah. Sungguh ia tak masalah jika dijadikan kambing hitam, di pojokan atas kebangkrutan suaminya. Ia sangat mencintai lelaki itu walaupun tak ada harta dan kekuasaan lagi.

"nasi dan kimchi saja ?!" tanya Miller dengan gusar. "aku kerja keras kesana kemari dan yang ku dapatkan hanya ini ?!!" matanya membulat dengan rahang mengeras penuh kemarahan.

"tak ada bahan lagi di dapur"

'BRAAAK!!'

"Kau berani melawanku ?! Aku ini suami ! Aku ini kepala rumah tangga !! Aku bekerja keras untuk memberimu makan ! dan ini cara mu membalasnya ?!!" Suara gebrakan meja diiringi semua sumpah serapah. Mata Miller memerah dan tercium bau alkohol setiap pria itu membuka mulut.

"Kau mabuk lagi ?" Sally takut-takut bertanya.

"Kenapa ?! mau melarangku ?! ini caraku melampiaskan lelah setelah bekerja dan kau berani mengaturku ?!" Mata merah akibat mengonsumsi terlalu banyak alkohol. Sally tahu percuma saja ia menentang. Pria dihadapannya adalah suami yang sangat ia cintai. Tapi dia sudah berubah, dia bukan lagi pria yang ia kenal.

Waktu telah berlalu. Memang setiap pernikahan akan mengalami pasang surut. Sally hanya bisa menunggu agar suaminya berubah.

Terduduk di lantai dapur yang dingin. Mengelus perutnya dengan sayang. "jangan khawatir sayang.. mama ada disisi mu"

.

.

.

"Jangan tinggalkan aku.. mama"

Gadis itu terbangun di gelapnya malam. Tubuhnya sudah basah oleh keringat dingin. Lagi-lagi mimpi buruk yang sangat ia takuti. Langit di luar sana masih menghitam tanpa adanya bintang.

Membuka ponselnya dan jam disudut kanan layar menunjukkan pukul 03.35. Mimpi yang sangat panjang padahal ia hanya tertidur beberapa jam. Dan ini terlalu pagi untuknya bangun.

Michelle bangun dari posisi tidurnya, membuka laci yang berada disebelahnya. Mengeluarkan kotak kaleng yang sudah berkarat. Terdapat beberapa lembar surat dan juga foto. Satu-satunya foto peninggalan dari ibunya yang telah lama pergi.

Pergi meninggalkan dirinya bersama pria yang dipanggil ayah. Sudah sangat lama sekali, bahkan ia tak tahu apakah ibunya masih hidup atau telah meninggal.

Michelle tak pernah mencari lagi. Ia menyerah, jika perempuan itu sudah membuangnya tak ada alasan lagi untuk memohon bertemu. Bukankah ia tak di harapkan ?

'Kau tahu ? ibumu yang murahan itu telah pergi bersama lelaki lain !!'

Itulah jawaban dari ayahnya saat ia bertanya kemana ibunya pergi. Menghilang saat pagi datang dan tak pernah kembali lagi. Jika benar ibunya membuangnya, harusnya ia marah, harusnya Michelle membenci dan menyumpah serapahi wanita itu.

Tapi tak bisa. Hati kecilnya berkata lain. Ada sesuatu yang belum ia tahu, namun ia tak ingin berharap. Yang harus ia lakukan adalah mengumpulkan uang yang banyak untuk pergi dari neraka ini.

.

.

.

Pemuda dengan sayap putih yang menyilaukan tampak terbang mengintip ke arah jendela minimalis. Tempat dimana Michelle tidur.

"Kau anak yang seharusnya tak ada di dunia" Gabriel bergumam samar. Pemuda itu hanya diam menatapi aktivitas gadis didalam ruangan selama berjam-jam. Hingga fajar datang.

Mentari pagi perlahan naik dengan malu-malu. Muncul dari balik gedung gedung tinggi perkantoran. Cahaya mentari berpendar menghangat hati. Waktu yang cocok untuk berjalan pagi.

Michelle melangkah berseri-seri mencoba melupakan mimpi buruknya yang tak berarti. Ataukah ia hanya mencoba untuk lari ?

Sesaat gadis itu terdiam menatap 3 ekor anak kucing yang berlindung di bawah bangku halte. Saling berdekatan satu sama lain dengan posisi menggulung.

Mata bulatnya berbinar. Ingin sekali membawa pulang dan merawatnya. Hanya saja itu pasti akan memberikan masalah serius.

Segera gadis itu pergi ke toko kelontong terdekat. Membeli satu lonjor sosis siap makan untuk di berikan pada kucing yang masih tertidur.

"makanlah saat kalian bangun nanti" berbisik lembut, Michelle berjongkok sebentar menatapi anak-anak kucing manis yang terlihat kedinginan.

Suara bising bus yang datang sedikit mengusik tidur anak kucing. Terlihat bagaimana ekornya yang bergoyang dan telinga yang bergerak lucu.

Michelle ingin melihat lebih lama jika tak mengingat kemungkinan ia akan dihukum mengepel toilet jika terlambat. Kakinya bergegas memasuki pintu bus. Membayar dengan uang pas dan berlalu masuk mencari tempat duduk yang kosong.

"Michelle.. disini !"

Suara familiar memberi tawaran padanya. Gadis berambut sebahu dengan cengiran bodoh juga dimple yang menghiasi kedua pipinya.

"Eugene ?"

avataravatar
Next chapter