28 Cumulonimbus

Mata bulat menatapi sekitarnya dengan seksama. Tak ingin luput dari satu kejadian apapun.

"miaauww~"

Gadis itu sedikit terlonjak karena seekor kucing tiba-tiba duduk di pangkuannya. "apa-apaan makhluk kecil ini ! sana pergi"

"miaauuww" seperti tak merasakan ancaman, kucing itu malah semakin menyamankan diri di pangkuan gadis dengan pakaian hitam.

"ugghh~" Ana memalingkan wajah. Tak lagi bersikeras mengusir, makhluk berbulu itu berhasil membuatnya tersipu "untung kau imut"

Tak jauh dari sana, seorang pemuda tengah mengobrol dengan seorang wanita. Mata bulatnya memicing memperhatikan seksama. Kedua orang disana terlihat tak cukup dekat, namun si lelaki tetap bersikeras mengobrol. "menarik.." gumam Ana

"Kau tebak berapa lama mereka akan bersama ?" Gadis itu menggendong kucing itu menghadap ke arahnya. Kucing berwarna pirang kecoklatan hanya menggerakan ekornya sebagai jawaban. "tentu tak lebih dari umurmu~" ujar Ana riang.

"Miaww.."

"baiklah ayo buat dirimu kenyang.."

.

.

.

Wanita muda berambut hitam lurus tengah membaca buku di sore hari yang indah. Halaman belakang menjadi tempat menghabiskan waktu menunggu senja. Menunggu kepulangan suaminya.

Seperti ikatan batin yang kuat, ia dapat merasakan kehadiran suaminya pulang ke rumah. Bergegas menghampiri pria itu di pintu depan. "istriku sudah menunggu ku ternyata, maaf karena selalu pulang terlambat"

"tidak apa" wanita itu mengangguk maklum. "lagipula kau memang sedang sibuk". Pria tadi tersenyum seraya mengelus surai wanitanya dengan lembut.

"aku mandi dulu yah, badanku lelah sekali" dan berlalu begitu saja.

Wanita itu—Sally chou—menatap nyalang pada kepergian suaminya. Tak ada kecupan didahi lagi, mungkin hanya dirinya yang berlebihan atau memang ada sesuatu yang mencoba di tutupi lelakinya.

Tepat di tengah ruangan terpajang sebuah bingkai foto besar dengan dirinya dan suaminya—Miller kim. Tampak dekat dan begitu mesra. Itu sudah berlalu 2 tahun, kedekatan itu kian merenggang seiring berjalannya waktu. Entah karena kesibukan memaksa mereka saling menjauh, atau salah dirinya yang belum di karuniai anak. Sally merasa ini salahnya.

Masih teringat awal mereka bertemu. Kenangan manis seperti layaknya anak muda yang jatuh cinta. Selalu canggung dengan rona merah muda menghiasi percakapan keduanya. Cinta yang manis.

Bulir mata menetes membasahi pipinya yang menjadi tirus. Pikiran negatif terus menggerogoti tubuhnya. Ia sadar, pernikahannya ada di ujung tanduk.

"Tak seharusnya wanita cantik menangis begini" sebuah suara datang menyapa. Sally terdiam sejenak, perasaannya saja atau memang ada suara lain.

"Halo~" seorang gadis mungil dengan pakaian serba hitam menyapanya ramah. Sally sangat terkejut hingga tak dapat mengeluarkan suara.

"knock knock~" gadis itu menggerakkan tangannya dengan gestur mengetuk. "apakah manusia tak diajarkan sopan santun ketika bertemu orang lain?"

"kau datang dari mana ?"

Pipi bulatnya terangkat seiring senyuman terukir di bibirnya. Gadis itu tampak senang mendengar pertanyaan dari sally. "Tidak peduli dari mana aku datang, aku tahu kau butuh bantuan"

Dahinya mengkerut, tak paham apa yang dikatakan gadis didepannya. "Aku tahu apa yang kau khawatir kan saat ini, aku akan membantumu mendapatkan yang kau mau" Jelas gadis itu tenang. Perlahan duduk di hadapan Sally.

Sally masih tak mengerti, sebelum tangan gadis itu menyentuh perutnya. "kau akan mendapatkan anak yang manis dan pintar"

"su—sungguh ?!" Sally tanpa sadar meninggikan suaranya. Ia sangat gembira.

"tapi semua tak ada yang gratis.. kau harus membayar dengan sangat mahal" Tanpa pikir panjang. Sally mengangguk semangat. Ia akan membayar seberapa pun untuk mendapatkan seorang anak. Bahkan jika itu adalah hidupnya.

"Kau bisa memanggilku Ana"

"terimakasih Ana"

.

.

.

Di tempat yang berbeda dengan suasana terang. Hanya warna putih di seluruh ruangan. Pemuda dengan sayap putih menatap ke arah langit membentang. Beberapa makhluk sepertinya tampak lewat dengan seberkas cahaya mengikuti dari belakang.

"Kau tak bosan hanya menatapi saja ?" Pemuda itu tersenyum. Ia memang tengah menunggu suara itu, menunggu seseorang yang datang di belakangnya.

"Aku tak pernah merasa bosan" ujarnya singkat. Bisa di bilang ia tak pandai memulai percakapan, ia juga tak tahu bagaimana mencari topik pembicaraan. Dan Ana sudah paham bagaimana sifat pemuda itu.

"Kau tak pernah bosan, karna kaulah kebosanan itu sendiri" Makian keluar mulus dari bibir kecil gadis itu. Bukannya marah, Gabriel hanya terkekeh. Ana tak pernah menyembunyikan perasaannya. Ia mengatakan apa yang ada di hatinya.

"Lalu kau sendiri ? apa sudah bersenang-senang?"

"aku sudah mendapatkan mainan baru" jawabnya riang. Gabriel lalu menepuk pucuk kepala gadis itu. "kau mau makan es krim ?"

"MAUUUU !!!" Ana memekik riang. Ia bahkan sampai meloncat-loncat saking girangnya.

Di temani desiran ombak dan suara burung camar berkicau. Tepi pantai saat senja memang menyegarkan mata. Senyuman indah para pengunjung terpatri menatapi lukisan sang alam. Tapi tidak dengan gadis berpakaian hitam yang tengah melahap eskrim didepannya. Mulutnya maju tanda ia sedang kesal.

"Jika tahu kau akan membawaku kesini, lebih baik tak usah menawari ku eskrim" Gabriel jelas tahu Ana tak menyukai tempat panas. Itu menjelaskan kenapa gadis itu suka sekali pergi diam diam ke taman eden.

"Tapi kau menyukai eskrimnya kan ?"

Demi saus tartar es krimnya sungguh enak tapi wajah Gabriel sungguh menyebalkan. Ana tak menjawab dan memilih melahap eskrim dalam diam.

"Menjadi manusia memang menyenangkan ternyata.." Kata Gabriel. Pemuda itu menyeruput es kelapa di hadapannya.

"Jangan berkata senang jika kau bahkan tak memiliki perasaan" Cemooh Ana.

Pantai Haendeu— Busan saat musim gugur jarang di minati pengunjung. Suasana yang cukup sepi mungkin menjadi pilihan tujuan Gabriel. Bisa di bilang wujud mereka sekarang dapat di lihat oleh kasat mata. Atau mungkin ada niat terselubung dari Gabriel. Mencoba merasakan kehidupan manusia ? bodoh sekali memang pikirannya.

"Lalu kau, sejak kapan punya perasaan ?" Pertanyaan Gabriel sangat biasa namun entah mungkin Ana yang terlalu membenci sehingga terdengar seperti sebuah ejekan.

"Jangan pura-pura tak tahu.." Gabriel terdiam, bertopang dagu menatap Ana menunggu kelanjutan.

"Aku tahu kau yang mengadukanku kan ? Kau pasti memberitahu bahwa aku yang menjebak Eva untuk memakan Apel keabadian" suara Ana meninggi namun tak sedikitpun menggetarkan Gabriel. Pemuda itu masih tenang mendengarkan.

"Kau jelas tahu kan.. Manusia itu yang merajuk memohon, sedangkan Adam tak menuruti permintaan sepele itu !" Mata bulatnya menerawang akan kenangan pahit berjuta tahun yang lalu. "Kenapa harus melarang jika benda itu sudah di ciptakan.."

"Yang kuasa jelas tahu mana yang terbaik untuk kita.."

"Kau masih sama saja" Ana berhenti memakan eskrimnya. "Bahkan kau hanya berdiri tak berbuat apa-apa tak membelaku saat dengan jelas kedua sayap putihku di potong dengan paksa, dan aku di jatuhkan dalam api yang panas" cup itu di biarkan mencair. Gabriel tahu saat ini hati Ana sedang tak baik-baik saja.

Andaikan Ana tahu, ia juga berusaha. Gabriel mencoba memahami perasaan yang tak pernah ada dalam dirinya.

avataravatar
Next chapter