Moonchild

Suatu malam di usia 13 tahun, aku terjaga dari tidur lalu membuka jendela kamar dan mendapati malam kian jauh di atas sana. Sesaat kupandangi pekatnya di bingkai jendela, mempresentasikan betul bagaimana suasana hatiku yang gelap lagi suram.

Lalu aku pun mulai bertanya-tanya.

Mengapa aku harus hidup di dunia ini?

Apa gunanya hidup?

Apakah definisi hidup bagiku hanya untuk menikmati kepedihan?

Apakah hidup hanya mengenai kesedihan?

Ketika kuingat kembali bagaimana kejamnya, aku rasa kematian adalah hal yang lebih baik untuk mengatasi putus asa yang ada.

Mengatasi mimpi buruk yang datang hampir di tiap malam, mengajakku menangis saat tersadar bahwa aku ditakdirkan sendirian untuk menikmati rasa sakit. Entah berapa kali kuseka air mata di pipi, berharap Tuhan mengasihiku untuk menghilangkan perasaan yang sangat menyiksa ini. Mengatakan kepadaku jika masih ada harapan atas waktu terbaik dalam perjalanan ini.

Namun aku masih terus menangis dan menangis, untuk melonggarkan sedikit rasa sedih yang kerap membuncah. Aku selalu teringat pesan Ibu padaku, "Menangislah. Namun setelah kau menangis, kau harus tetap melanjutkan hidup."

Lalu ia pergi. Meninggalkanku seperti ini, tenggelam dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang kusadari begitu sulit untuk menemukan jawabannya.

Mengapa Ibu meninggalkanku?

Sungguh, tidak ada yang lebih sakit dan lebih menakutkan selain perpisahan dan perasaan ditinggalkan. Dia seperti menghapusku dari hidupnya, dan melanjutkan hidupnya seorang diri, tanpa aku.

Terkadang, saat aku benar-benar ada pada titik keterpurukan yang kurasa itu adalah batas terendah dalam hidupku, aku bertanya pada diri sendiri.

Apakah dia juga menangis ketika memikirkan perasaanku?

Nenek bilang, Ibu pergi ke suatu tempat yang jauh, ke negeri yang jauh. Yang dalam benakku seperti dia pergi ke planet lain dalam salah satu sistem tata surya.

Mereka bilang bahwa dia akan kembali, tapi aku tidak perlu berharap banyak.

Aku terpejam sesaat, embuskan napas dan menghitung waktu, satu sampai tiga sebelum aku membuka mata kembali, menutup jendelanya dan melanjutkan tidur.

Masih mempertanyakan perihal hidup yang sesungguhnya, berharap ibu memberitahuku di mana dia saat ini, dan berharap Tuhan memberitahuku apa yang rencana-Nya untuk hidupku.

***

Getaran ponsel yang ada saku di celanaku, mengusik konsentrasi. Ini sudah yang ketiga kalinya dipagi hari yang cukup sibuk.

Sebuah nomor yang sangat asing.

Digit angkanya tak seperti nomor yang digunakan orang Indonesia pada umumnya.

Ingin kuangkat, namun aku takut. Waspada, lebih tepatnya. Siapa tahu ini modus penipuan model baru. Tak salah jika aku melakukan ini. Aku hanya ingin berhati-hati.

Namun nomor itu sepertinya tak akan berhenti mengguncang gawaiku, jika aku belum meresponsnya.

"Halo …."

"Benarkah ini nomor ponsel Nona Yumi?" tanya seorang pria dari seberang telepon. Dia menggunakan bahasa Inggris.

"Iya, betul. Maaf, Anda siapa?"

"Ah, aku Dalbert. Aku diminta menghubungimu untuk menyampaikan kabar soal ibumu."

"Ibuku?"

"Iya. Nyonya Carolina."

"Iya, dia ibuku. Ada apa dengannya?"

"Kondisinya kesehatannya memburuk. Aku … tidak bisa menjelaskannya sekarang. Aku hanya diminta untuk menghubungimu dan menyiapkan tiket keberangkatanmu ke Slovenia."*)

avataravatar
Next chapter