1 Bab 1

Langit Slovenia hari ini diselimuti kabut. Aku menatapnya saat pertama kali tiba di bandara Ljubljana pukul 2 sore waktu setempat hari ini. Jika dihitung lagi, aku berangkat dari Tokyo pukul 11 malam dan setelah perjalanan melelahkan dengan total 16 jam, akhirnya aku sampai di Slovenia. sesampainya di lobi, aku pun segera disambut oleh seorang pria bertubuh tambun yang memperkenalkan dirinya sebagai Dalbert. Dia yang menghubungiku kemarin malam, menyuruhku untuk lekas mengambil tiket penerbangan pertama ke Slovenia karena ada situasi yang genting terjadi di sini.

"Ini mengenai Nyonya Carolina. Aku diperintahkan untuk menghubungi puterinya yang sedang berada di Jepang, menyuruhnya datang dengan segera. Ini benar-benar sangat penting," jelasnya. Ia bawa koperku dan dimasukkan ke dalam mobil yang tiba di lobi bandara. "Penting," dia mengangguk. "Dan kau tahu aku sudah yakin bahwa puteri Nyonya Carolina memang secantik ibunya."

"Aku sudah lama tidak bertemu ibuku," beritahuku padanya. Dan Dalbert memasang ekspresi prihatin ketika ia mulai melajukan mobilnya meninggalkan Bandara Ljubljana, dari kaca spion ia tersenyum ramah.

Jenis senyum Dalbert itu kebapakan sekali, dan siapa saja yang memandang pasti akan menganggap bahwa dia benar sosok yang hangat. Di awal aku sudah merasakannya.

Rambutnya sudah ditumbuhi uban sedikit-sedikit, dan tubuh gemuknya membuat kemeja kotak yang dia pakai menyembul hingga kancing-kancingnya seperti ingin berteriak lantaran tidak kuat.

"Kapan terakhir kali kau bertemu ibumu?" Tanyanya.

Aku terdiam. Selama beberapa saat sambil berpikir, kapan terakhir kali aku bersama ibuku. Ketika SMP? Sepertinya ya, aku ingat dengan baik momen di mana aku yang tiap malam mulai mencari ibu yang ternyata sudah pergi. Aku melakukannya kerap kali sampai nenekku memarahiku lantaran rewel.

"Sudah lama, aku tidak mengingatnya. Sampai saat aku mendengar dia berada di tempat jauh. Ketika itu aku telah lulus SMP."

"Dan tidak berniat mencarinya?"

"Tidak," aku menggelengkan kepala. "Ah sebenarnya … ya, aku berusaha mencarinya hanya saja, aku tidak punya cukup keberanian untuk bepergian seorang diri. Apalagi ketika ku ketahui dia berada di Negara seperti ini."

Dalbert tersenyum. Saat aku bilang begitu. Entahlah.

Aku tahu, bahwa aku terlalu penakut untuk itu meskipun aku sangat ingin menemukannya.

Hampir tiap malam aku bermimpi mengunjungi ibu dan melihatnya tersenyum dengan kondisi sehat dan bahagia, lalu memelukku. Ketika terbangun aku menangis sebab mimpi seperti itu sangatlah menyakitkan. Nyatanya, aku adalah seorang anak yang menderita. Pada akhirnya, aku juga ditinggalkan oleh ayahku, dia menikah lagi dengan seorang wanita muda—meninggalkanku bersama nenek, hingga aku berakhir menikmati setiap malam yang penuh kesedihan.

Aku berupaya untuk bangkit dari keterpurukan tersebut. Maka dari itu, aku juga tumbuh menjadi anak yang ambisius. Sejak SMA, aku mulai bekerja keras untuk membuat perbedaan atas diriku, supaya aku tidak lagi berada dalam keadaan menyedihkan.

Ya, aku bekerja sangat giat, mengumpulkan uangku dan mengajukan sedikit pinjaman ke bank demi membangun sebuah toko kue pastry bersama temanku. Membangun angan-angan bersama kami, dan itu adalah pencapaian pertama yang aku miliki.

Dan ya, semuanya baik-baik saja. walau aku masih saja ingat pada ibu, dan mempertanyakan alasan mengapa dia meninggalkanku.

Aku akan bertanya padanya nanti.

Namun saat ini aku berpikir bahwa, jika ibuku mendadak menghubungiku seperti ini, bukankah itu artinya dia tahu bagaimana caranya menemukanku? Apakah dia tahu keberadaanku namun tidak ada keinginan untuk menemuiku?

"Mungkin kau akan sangat membencinya tapi, dia benar-benar tidak bisa pergi kemanapun sejak menikah dengan salah seorang saudagar kaya di sini. Jadi dia hanya mampu mendengar kabarmu saja. Tidak bisa pergi walau dia ingin," Dalbert berujar dengan raut sendu. Dia melirik padaku sejenak. "Dan saat ini kondisinya sangat buruk. Kesehatannya menurun drastis."

Hatiku kacau seketika. Dibalik debaran dan sensasi bepergian untuk yang pertama kali. Aku tahu ini terlalu mendadak. Aku tidak terbiasa pada tempat-tempat asing yang kami lewati di balai kota. Apa yang aku cari tahu sebelum datang ke mari, juga mengenai firasatku yang membaca ada yang tidak beres.

Aku meninggalkan toko kue di Tokyo dan menyerahkannya sementara waktu pada sahabatku yang juga terkejut akan kabar yang sangat tiba-tiba ini. ketika ku katakan padanya aku harus pergi, dia mulai mempertanyakan alasanku.

Jelas aku bilang aku ingin menemui ibu yang sudah lama sekali tidak ada kabar. Dia menerima satu alasan itu, tetapi tidak cukup paham kenapa aku harus pergi sejauh ini. Slovenia adalah nama yang asing di telinganya. Namun, ya faktanya ibuku berada di sana. Mau bagaimana lagi.

Lantas dari penuturan Dalbert tadi, membuatku membayangkan bagaimana kondisi ibu membuat dada dan mataku panas.

"Apakah separah itu?" tanyaku dan menoleh padanya. Dia mengangguk.

"Kau akan lihat nanti."

Aku menatap lurus pada jalanan. Tidak begitu puas dengan jawabannya. Akan tetapi, dia kemudian memberitahuku bahwa Ibu memiliki sebuah yayasan panti asuhan di daerah Carniola bagian barat Slovenia. Tempat itu dinamakan Silentabor, terletak di jajaran bukit dengan jumlah penduduk yang sangat sedikit. Setidaknya hanya ada 13 kepala keluarga yang berada di sana. Tempatnya lumayan jauh dari kota, tempat terpencil.

Silentabor sendiri memiliki setidaknya sekitar lima puluhan asuh, dan itu akan bertambah di tiap enam bulan sekali bahkan saat ini bisa lebih cepat dari pada itu. Ditambah kondisi perekonomian Negara ini membuat para orang-orang dewasa tak bertanggung jawab memilih mengambil cara dengan membuang anak-anak dari hasil hubungan gelap mereka ke panti asuhan. Itu sangat kejam, sungguh. Dan aku jadi ingat bagaimana nasibku sendiri.

Sementara aku sadar setelah hampir satu jam perjalanan, sedikit terkantuk-kantuk tadi. Pada akhirnya kami sampai di sebuah area yang di kiri dan kanannya dipenuhi pepohonan pinus yang dahannya tergerus udara di musim dingin kian menggigit ini. Hanya bersisa dedaunan menyedihkan di tanah.

Lalu kemudian menyusuri jalanan seratus meter hingga di depan sana terdapat gerbang besar yang di dalamnya berdiri kokoh rumah besar dengan pekarangan luas. Seorang penjaga membukakan gerbangnya dan Dalbert pun masuk sambil membunyikan klakson, disertai lambaian tangan pada penjaga yang sudah tua itu. Seorang kakek yang memegang cerutu di tangannya. Menatap pada mobil kami sepanjang perjalanan.

Dalbert memasuki halaman di depan bangunan, deru mobil pun berhenti setelah Dalbert mematikan mesin lantas keluar. Dia mengambil tasku yang berada di bagasi. Lalu aku meneliti bangunan ini. hingga seseorang mendatangi kami dari dalam. Seorang pemuda kulit putih bermata sipit, khas orang asia.

Dia tersenyum ramah, dan Dalbert menyapanya dengan memberikan salam ala lelaki. (kau tau sesuatu seperti 'Ey, yo man atau semacamnya) yang dilakukan para Rapper ketika saling bertemu. Entahlah. Kira-kira begitu.

Dalbert melirik padaku dan pemuda ini pun beralih, "Oh!" dia menaikkan kedua alis, "Nona Yumi?"

"Ya," itu Dalbert yang menyahut. "Dalbert melihatku dan memperkenalkan siapa pemuda tampan ini. dia jelas seperti bukan penduduka sli Slovenia. Dia terlihat sama sepertiku. "Ini adalah salah satu anak kesayangan Nyonya Carolina, dia bekerja untuk panti asuhan." Beritahu Dalbert dan pemuda ini tersenyum, matanya menyipit saat melakukan itu. Dan dia mengulurkan tangannya padaku, mengajak berkenalan.

"Park Jimin."

"Yumi," balasku. Dan Dalbert melangkah menyudahi sesi perkenalan itu.

"Apa semua baik-baik saja?" tanya Dalbert. Jimin mengangguk. ia mengiringi langkah Dalbert. Sementara aku mengikuti mereka di belakang, saksikan kedua pria itu berbicara dengan suara pelan.

"Masih sama." Katanya. "Aku rasa dia akan senang karena sekarang puterinya sudah datang."

"Aku harap itu bisa membuat perubahan, kita masih bisa berharap, 'kan?"

"Sedikit. Setidaknya ada."

Mereka lantas menuntunku masuk ke dalam rumah, yang punya ruang sangat luas. Ada tangga yang lebar di tengah menuju lantai dua. Lalu aku masih harus mengikuti mereka hingga sampai ke sebuah kamar. Jimin membuka pintunya dan membiarkanku masuk ke dalam, maka langsung saja aku lihat sebuah ranjang besar yang ada di sana. Dengan sosok yang terbaring, ditemani dua orang wanita berambut pirang. Yang satu mengenakan gaun merah, dan yang satu mengenakan gaun biru. Mereka terlihat sangat cantik. Lalu perlahan menjauhkan diri saat menyadari keberadaanku yang sepertinya memang sudah sangat dinantikan.

Memberikanku akses untuk mendekat pada sosok itu.

"Ibu?"

Hatiku berdesir mengucapkannya. Dan salah seorang dari wanita yang menemui ibu, yang bermata biru tersenyum begitu cantik padaku. Dia mengisyaratkan untuk mengambil tempat mendekat. Lantas aku mendekati kepala ranjang dan melihat bagaimana sosok ibu yang aku damba-dambakan selama ini. Terbaring lemah dengan kondisi tak sadarkan diri.

"Ibu …" lirihku. Rasanya ingin menangis saja saat mengucapkannya. Perasaan dimana akhirnya aku mampu memanggil sosok yang aku puja itu.

Dan sepertinya suaraku membuat sesuatu dalam dirinya tergerak, dibuktikan pada kedua kelopak mata yang memejam itu perlahan bergerak terbuka. Meski sayu dan masih tampak sangat berat, seperti itu masih akan kembali menutup.

"Ibu, ini aku, Yumi… puterimu." Beritahuku. Dan ada kekuatan di sana. Ekspresi tegangnya terbaca jelas.

Bibirnya bergerak-gerak seperti ingin mengucapkan sesuatu. Dan hal itu membuatku tergerak untuk mendekatinya. Dan mendengarkannya bicara, dengan susah payah meski cukup bisa dipahami.

"Kau datang," bisiknya. Dia berupaya melihat padaku, dan dengan insting seorang puteri, aku memegang tangannya dan dia berusaha tersenyum. Meski semakin lama, senyuman itu memudar, dan ia kembali memejam mata.

Aku panik seketika itu.

"Dia tidak apa-apa," wanita berambut pirang itu memberitahuku. "Dia hanya kembali tertidur." Imbuhnya lagi. Dan aku bernapas lega. Lantas menegakkan badan.

"Selagi menunggunya sadar, Jimin bisa mengantarmu ka kamar,"

Dalbert menepuk pundak Jimin dan aku menoleh padanya. "Baiklah."

"Ayo."Akupun mengikuti Jimin yang membawa tas milikku.

***

Jimin memberikanku sebuah kamar dengan satu ranjang yang di sisinya terdapat lampu tidur. Ada jendela yang terbuka dan menampilkan suasana perbukitan tidak jauh dari sini. dengan langit telah di selubungi senja merah jambu. Pemandangan yang sangat indah.

"Jika butuh bantuan kau bisa minta tolong pada Brianna atau Zoey, mereka berdua yang mengurus ibu selama ini."

"Baik."

Jimin mengangguk sebelum akhirnya beranjak dari sana, namun aku ingin tanya beberapa hal.

"Kau orang Jepang, kan?" dia berbalik sebelum mencapai pintu.

"Ah, itu … ya." jawabnya.

"Sejak kapan di sini?"

"Sejak kecil," Dia tersenyum. "Aku diadopsi Tuan Hadden Forlani,"

Aku jelas terkejut. Mendadak gugup mendengar jawabannya. Lalu, Tuan Hadden Forlani? Siapa lagi itu?

"Hadden Forlani, dia seorang pemilik pertenak lebah terbesar di sini. Dia meninggal saat usiaku 15 tahun dan saat itu masa pernikahan Nyonya Carolina dan Tuan Hadden baru berjalan setahun."Jadi bisa kusimpulkan dia merupakan anak angkat keluarga ini, yang notabene merupakan anak angkat ibuku juga? Intinya, kami adalah saudara angkat. Dan dia adalah Kakakku?

"Tuan Hadden belum pernah menikah sebelum menikah dengan ibuku?"

Jimin menggelengkan kepala.

Meski terkejut karena ternyata aku punya Kakak angkat, namun ada bagian diriku yang memberitahuku bahwa aku kecewa. Bahwa ibu benar-benar menikah dengan pria lain dan meninggalkanku. Ada perasaan benci, tetapi … yasudahlah buat apa untuk saat ini, ketika Ibu telah dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.

"Apakah Tuan Hadden Forlani sangat kaya?"

"Yup." Jawab Jimin.

"Slovenia adalah Negara kecil. Dan berternak lebah adalah budaya penduduk di sini. bahkan 1 dari setiap 200 warga Slovenia adalah peternak lebah. Itu lebih banyak dari skala jumlah peternak lebah di seluruh Eropa," jelasnya. Dan aku hanya mengangguk, menyerap informasi barusan yang aku terima.

"Aku akan memanggilmu saat makan malam." Beritahu Jimin. lalu dia pergi meninggalkan ruangan ini. berikut aku yang lantas mendekati jendela dan merenungkan beberapa hal.Semuanya kenapa begitu sangat … well, ya hidup memang penuh misteri benarkan? Aku berupaya menerima segalanya dimulai dari kedatanganku ke sini. Hal yang aneh, sangat aneh.

Hari telah gelap sekitar satu jam kemudian. Aku tertidur dan tidak dengar seseorang mengetuk pintu untuk makan malam.

Maka pada tengah malam, pintu kamarku kembali diketuk. Agak tergesa-gesa dan itu membuatku berhasil terbangun dan lekas menghampiri pintu. Saat membukanya, seorang wanita berdiri di depan pintu.

Mungkin yang ini adalah Brianna, satu dari dua gadis pirang yang kini sedang memandangku cemas.

"Kau harus lekas temui ibumu," beritahunya.

"Ada apa?" firasatku tidak enak. Akan tetapi, dia tidak berucap apapun lagi. Hanya pergi begitu saja seolah dia tidak punya waktu untuk menjawab pertanyaanku.

Maka aku mengikutinya dengan tergesa. Sampai ke kamar ibu. Mendapati wajah-wajah tegang dan ciptakan aura yang tidak enak. Memandang pada sosok di atas tempat tidur. Di sana ada Jimin yang begitu sangat terlihat sedih. Pun ada Dalbert yang duduk di samping ibuku yang setengah sadar.

Ketika melihatku dia lekas berdiri.

"Kemarilah," titahnya.

Lalu aku pun menurut dan menggantikan posisinya untuk duduk di sisi Ibu yang pandangan sayunya berusaha menatapku, berikut tangannya yang mencoba terangkat untuk menyentuh wajahku. Aku menunduk untuk membiarkannya melakukannya, menyentuh wajahku selama beberapa saat.

Dia bernapas pelan dan mulai terputus-putus, "Mendekatlah, sayang…" aku mendekatkan diri lagi, lalu dia berbisik di telingaku. Pelan, sangat pelan. "Le … lemari,"

"Ya?" tanyaku nyaris berbisik. Ibu menunjuk lemari kecil yang ada di sudut ruangan.

"Sesuatu di dalam sana akan menuntunmu ke Silentabor." Ucapan itu hampir tidak terdengar dan diucap begitu terbata-bata.

Aku belum paham sepenuhnya saat ibu tak lagi bicara sesudah itu. Mulutnya kemudian mulai terkatup rapat, dan kelopak matanya mulai menutup hingga sempurna.

Bingung. Jelas saja. Namun ekspresi Dalbert setelah dia memeriksa keadaan ibu telah menjelaskan semuanya.

"Dia sudah pergi. Nyonya Carolina Forlani meninggal dunia."

Dan aku merasakan hatiku hancur ketika itu. Suara isakan Briana dan Zoey terdengar, berikut Jimin yang menunduk.

Silentabor … adalah kata terakhir yang aku ingat, dan Ibu menyuruhku untuk ke sana. *)

avataravatar