Di malam hari yang gelap Crigia menyusuri lorong kastil milik keluarganya menuju kamar Sierra didalam perjalanan nya ia mendapati seorang pelayan yang juga hendak menuju kamar Sierra.
Saat dalam perjalanan ia berpapasan dengan seorang pelayan wanita yang sedang membawa sebuah nampan yang tertutup.
Crigia pun menghentikannya seraya berkata. " Luar biasa sekali sudah larut malam begini ayah masih saja makan dan makan, ini untuk ayah bukan? "
Pelayan tersebut pun menggelengkan kepalanya dan menjawab " Bukan tuan ini untuk Nona Sierra. "
Crigia pun membuka tutup dari nampan tersebut dan melihat beberapa camilan buah serta kue kesukaan Sierra.
"Wow, nafsu makannya banyak sekali. " Ucap Crigia.
Pelayan tersebut hanya tertawa kecil dan berkata "aku juga terkejut Tuan Nona Sierra memiliki nafsu makan sebesar itu.namun aku bersyukur, bahwa Nona dapat pulih dari keadaan sebelumnya."
Crigia pun menatap wajah Pelayan tersebut dan berkata "Bukankah kau pelayan yang waktu itu mengantarkan makan untuknya?, kalau tidak salah Kau Maria kan? "Tanya Crigia dengan antusias.
Maria yang melihatnya pun hanya tersenyum dan berkata " Suatu kehormatan Tuan dapat mengingat namaku. "
"Aku akan menemanimu ke sana dan bisakah kau menunggu di depan pintu kamarnya biar aku yang mengantarkan makanan ini untuknya? " Tanya Crigia.
"Tentu tuan " Jawab Maria.
"Hei.. Ada yang salah," ucap salah seorang penjaga kepada rekannya, sambil memperhatikan langkah Crigia dan pelayan wanita yang berbincang di lorong kastil.
"Apa itu?" tanya penjaga yang lain, menyusul pandangan rekan kerjanya ke arah Crigia dan pelayan.
"Kau tidak lihat Tuan Crigia sampai berbincang layaknya pasangan hanya kepada pelayan," ucap penjaga tersebut, menunjukkan kecurigaannya.
"Tuan Crigia memang unik. Tidak heran dia terpilih sebagai penerus berikutnya," jawab penjaga lain tersebut, mencoba memberikan penjelasan atas tingkah laku Crigia yang menarik perhatian mereka.
Sesampainya di kamar Sierra, suara pintu yang terbuka membuat Sierra enggan berbalik badan dan hanya menatap buku catatan miliknya yang diterangi sinar lilin bersamaan sinar rembulan yang merayap masuk ke dalam kamarnya.
Langkah kaki Crigia yang dikenali oleh Sierra membuatnya menyadari bahwa yang masuk bukanlah pelayan, melainkan kakaknya sendiri. Ketika Crigia meletakkan nampan makanan tersebut, Sierra langsung bertanya dengan tegas, "Mau apa kau kesini?"
Crigia tersenyum lembut. "Kau bahkan mengenali ku hanya dengan mendengar? Kau memang adikku," puji Crigia.
Sierra tetap fokus pada buku catatannya. "Aku tidak mau dikunjungi siapapun malam ini," jawabnya dengan tegas.
Crigia terbata-bata dalam meminta maaf, "Dengar, aku minta maaf... Aku tidak tahu harus berkata apa dan.."
Namun, Sierra dengan bijaksana menjawab, "Itu tidak perlu, kau tidak perlu meminta maaf. Ini sudah jadi keputusan ku."
Crigia bertanya ragu, "Jadi.. Kau memaafkan ku?"
Sierra membalas dengan pertanyaan, "Jika dari awal aku membencimu, mungkin aku sudah mengusirmu dari awal kan?"
Crigia merasa lega mendengar jawaban Sierra. Namun, Sierra menegaskan, "Tidak perlu senang begitu, Kak. Aku masih punya tugas yang harus Kakak lakukan."
Crigia dengan penuh semangat menjawab, "Baiklah, Nona. Malam ini aku akan menjadi pengawalmu."
Sierra meminta, "Panggilkan Maria untuk ku. Setelah itu, nanti pagi kita akan berbincang. Aku hanya perlu fokus dalam menulis catatan harianku."
Crigia mengangguk dan perlahan mundur, menutup pintu dengan hati yang penuh harap. Di luar, Maria hanya tertawa kecil melihat kejadian tersebut.
Crigia, menyadari kelakuannya, berkata kepada Maria, "Ehm... Anggap saja itu tidak terjadi."
Maria hanya mengangguk dan masuk ke dalam kamar Sierra.
Setelah itu, Crigia perlahan pergi dengan perasaan senang bahwa adiknya sudah mulai tidak membencinya. Dalam langkahnya, ia merasakan ketenangan dan melangkah menuju balkon luar untuk menatap langit yang megah dengan beribu bintang.
Sesaat kemudian, ia mengeluarkan rokoknya dan ketika hendak menyalakan rokok, tiba-tiba sebuah tangan muncul dengan menggenggam korek dan menyalakan rokok miliknya. Terkejut, Crigia hampir saja mengeluarkan senjata miliknya sebelum menyadari bahwa itu adalah Bastille yang tersenyum sumringah di sampingnya.
"Tidak baik jika kau sendirian disini, Crigia," kata Bastille, sambil menatap langit yang penuh bintang.
"Kau nampak senang sekali malam ini?" Tanya Bastille.
"Jangan dijawab, kau sudah berbaikan dengan Sierra, bukan?" ucap Bastille.
Crigia, masih terkejut dengan kehadiran Bastille, menghisap dalam-dalam rokoknya dan menghembuskannya sembari berkata, "Ya, akhirnya dia mengerti apa yang sudah terjadi. Kuharap aku tidak salah langkah dalam rencana kedepan."
Bastille menyalakan rokok miliknya dan berbisik, "Hei, jangan bahas hal itu disini."
"Tidak, aku hanya merasa sangat tenang malam ini," jawab Crigia sambil menghisap kembali rokoknya, menikmati ketenangan malam yang memancarkan kedamaian di sekelilingnya.
Bastille dan Crigia menatap sekeliling penjuru kota yang sudah mulai sepi melalui balkon.
"Ku dengar gosip yang beredar kau akrab dengan pelayan," ucap Bastille.
Crigia pun menatap Bastille dengan heran dan bertanya, "Maksudmu?"
"Aku mendengar percakapan beberapa penjaga, kau berjalan bersama pelayan cantik," jawab Bastille.
"Maksudmu Maria? Dia adalah pelayan pengganti Estherina, dan sekarang dia melayani Sierra secara khusus," jawab Crigia.
Bastille mengangguk mengerti dan melanjutkan, "Tetapi, gosip-gosip seperti itu dapat menimbulkan masalah, terutama di lingkungan kita kau tau bukan paman Natak sangat waspada terhadap apapun sekalipun itu hanya Gosip"
Crigia merenung sejenak sebelum berkata, "Kita harus lebih berhati-hati dengan informasi yang tersebar. Maria adalah pelayan yang setia dan profesional, tidak ada yang perlu dicurigai."
Bastille, dengan senyum khasnya, menunjukkan kecurigaannya dengan nada bercanda, "Hmm.. Apakah yang kau katakan itu benar?" membuat Crigia merasa sedikit gugup.
Namun, suasana tetap ceria saat Bastille hanya tertawa dan mengingatkan, "Hey, jangan sampai Paman Natak Tau mengenai hal ini. Nanti kita semua kena marah karena gosip yang tidak berdasar."
Bastille pun mulai duduk di sebuah gazebo di balkon tersebut dan berkata "duduklah kita perlu bicara sebentar. "
Crigia pun melangkah menuju tempat duduk yang ada dan Bastille membuka percakapan.
"Bagaimana Sierra? " Tanya Bastille.
"Dia nampak lebih tenang , kurasa aku tidak mau mengganggunya sekarang. " Jawab Crigia.
"Paman Natak terlalu keras terhadap kalian, aku penasaran kedepannya apakah kalian bisa akur" Keluh Bastille.
"Itu tidak mungkin.. Dia sudah memperlakukan kami layaknya prajurit semenjak kematian ibu" Ucap Crigia.
"Jika Bibi Crylia masih hidup mungkin kalian berdua tidak akan seperti ini"Balas Bastille.
Sejenak Crigia terdiam mendengar ucapan Bastille dan berkata " Tidak bahkan lebih baik jika waktu itu Ayah yang pergi bukan ibu. "
Perlahan Mata Crigia berkaca-kaca kemudian ia memalingkan wajahnya dari Bastille seolah enggan menatap Bastille.
Bastille pun hanya tertawa kecil sembari mengejek "menangislah kadang laki-laki memang harus menangis untuk meredam pahitnya hidup"
sementara disisi lain Sierra dilihat merek berdua yang sedang membaca buku melalui Jendela kamarnya.
Kepergian Ibu Hanya Menyisakan Luka
Dari Anakmu Crigia
Have some idea about my story? Comment it and let me know.