1 1. Gendhis Mahameru

Dengan napas terengah-engah, Gendhis berusaha mengejar bus transjakarta yang baru saja sampai sedangkan dia sendiri belum mencapai loket untuk membayar. Bus yang dituju ini datangnya sangat jarang dan kalau sudah datang pasti langsung dipenuhi oleh para calon penumpang dengan tujuan ke berbagai tempat.

"Yess, dapat juga akhirnya!" Dengan sedikit euphoria penuh rasa lega, perempuan yang bekerja di daerah Sudirman sebagai seorang marketing sebuah perusahaan dibidang ekspor import itu, menempel di pintu otomatis bus yang sudah sesak penuh penumpang. Dia terpaksa masuk juga karena kalau harus menunggu lagi bisa hampir satu jam kemudian datang lagi busnya. Belum kalau terkena macet sepanjang jalan menuju Sudirman.

Dengan kemeja lengan pendek warna biru polos dan celana panjang bahan warna hitam, Gendhis memulai harinya sebagai seorang wanita karir yang harus mencari nafkah demi membiayai hidup sehari-hari. Gendhis Mahameru, adalah seorang perempuan berusia dua puluh tiga tahun dan juga sulung dari tiga bersaudara. Adik yang nomer dua adalah seorang laki-laki berusia dua puluh tahun bernama Bimo Rinjani. Adik ketiga seorang lelaki juga usia lima belas tahun bernama Arkha Semeru yang masih bersekolah kelas sepuluh atau satu SMA.

Entah apa yang membuat kedua orangtuanya menamakan mereka bertiga dengan nama pegunungan. Karena ayah dan ibunya bukan seorang pendaki gunung dan bukan juga orang yang bekerja di sekitar pegunungan. Namun, Gendhis teringat dengan ucapan sang ibu.

"Ayah kalian memberikan nama belakang kalian dengan nama gunung itu dengan harapan kalian akan memiliki kehidupan yang sangat hebat dan karir menjulang tinggi namun sifat kalian tetap membumi dan memberi kehidupan yang nyaman dan layak untuk mereka yang berada di sekitar kalian. Itulah makna dari nama belakang kalian dengan nama gunung." Ibu tersenyum dan meninggalkan ke tiga anaknya menuju ruangan tengah untuk menuntaskan pesanan jahitan yang diterima dari para pelanggan tetapnya.

Saat itu kalau tidak salah adalah saat Gendhis kelas satu sekolah menengah atas. Mereka berempat sedang duduk selepas makan malam. Ayah mereka sudah lama berpulang sejak Arkha masih berusia enam bulan. Ibu bekerja sendiri mencari sesuap nasi dan untuk membiayai sekolah ketiga anak-anaknya. Beruntung Gendhis dan Bimo mendapatkan beasiswa sejak sekolah dasar sampai sekolah menengah atas. Selesai sekolah, Gendhis mendaftarkan diri untuk menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi swasta yang cukup terkenal di Jakarta. Gendhis bekerja dari pagi sampai sore menjadi seorang pelayan restoran cepat saji demi membiayai kuliahnya dan malam hari perempuan cantik itu menjadi mahasiswi.

Hidup tanpa ayah sebagai tulang punggung keluarga dan mengayomi dirinya dan adik-adiknya, membuat Gendhis memiliki mental baja dan tidak mudah menyerah. Di saat semua perempuan seusianya menghabiskan waktu dengan menonton film di bioskop, berpacaran, makan-makan di mall, atau sekedar duduk hang out dengan teman-teman satu frekuensi mereka, Gendhis justru harus membanting tulang dan melayani pesanan para anak muda milenial itu, sebutannya.

Halte pertama yang ditujunya Tosari ada didepan mata. Lamunannya tidak terasa membuatnya sampai di halte yang akan menuju halte selanjutnya. Gendhis merapatkan tasnya namun malang, ternyata isi dari tasnya tumpah semua. Gendhis melotot lebar ketika alat-alat make up dan dompetnya terjatuh berserakan di atas lantai besi halte transjakarta. Tas tangannya di sobek seseorang dengan menggunakan pisau cutter. Gendhis mencari dimana orang itu berada.

Seorang pria berjalan tergesa-gesa tidak seperti orang-orang sekitarnya dan tidak hanya itu, tali gantungan ponselnya terlihat menyembul dari balik saku jaket pria itu.

"PENCURI! BERHENTI!" Gendhis hanya mengambil dompet lalu berlari mengejar pria yang hendak keluar dari halte bus dengan melompati pagar. Semua orang yang ada di sekitarnya spontan melihat pemandangan yang tidak biasa terjadi itu. Naik bus transjakarta membiasakannya untuk mengenakan sepatu kets daripada sepatu high heels. Ketika sudah sampai di kantor maka dia akan berganti sepatu segera.

"TUNGGU!" Gendhis berlari ikut melompati pagar pembatas jalan. Semua orang dibuat melongo takjub dengan kemampuan perempuan berambut panjang setengah ikal itu. Pagar itu setinggi lebih dari satu meter namun Gendhis bisa melompatinya dengan mudah. Pencuri yang membawa lari ponselnya dibuat ketakutan karena ternyata sang korban bukanlah perempuan yang biasanya hanya pasrah dan menangis.

Pria pencuri itu membawa Gendhis memasuki gang kecil dan akhirnya gang itu berakhir buntu.

"Hah hah hah, cepat berikan padaku ponselnya! Jangan sampai aku buat kamu berakhir di UGD." Ujar Gendhis dengan napas terengah-engah. Pelariannya cukup melelahkan, ditambah lagi dia belum sempat sarapan dari rumah.

"Hahaha, kamu mau ini? Ambil saja kalau bisa!" Pencuri yang mengenakan masker dan topi baseball itu cukup rapih menyembunyikan wajahnya. Ponsel Gendhis keluaran merk dari negara ginseng itu diayunkannya ke atas kepalanya. "Kamu cantik sekali. Jangan salahkan aku karena kamu menyerahkan diri kesini. Hahaha," Tiga atau empat orang pria datang dari arah belakang Gendhis. Total jumlah pencuri itu sebanyak lima orang. Posisi Gendhis yang terjepit, membuat lima orang pria dengan tato di sekujur tubuh dan lengannya itu mencoba menakut-nakuti perempuan yang datang seorang diri.

Mereka mengira kalau ponsel yang dicuri adalah milik perempuan yang lemah dan mudah menangis. Namun kenyataannya, Gendhis justru tersenyum sinis dan dingin.

"Huh, kalian pikir aku takut? Maju satu-satu kalau kalian merasa jantan. Atau, boleh sekalian keroyokan kalau kalian lebih suka disebut banci." Kalimat yang diucapkan Gendhis sukses membuat kelima penjahat itu terpancing emosinya.

"Tangkap dia dan kita perkosa saja. Mulutnya pedas sekali." Ucap salah seorang penjahat yang bertugas mengambil ponsel korban dan membawanya lari. Ke empat temannya pun berjalan mendekati Gendhis dan mengepung perempuan itu dari berbagai arah.

Gendhis bersiap-siap dengan kedua kaki pasang kuda-kuda. Ke lima orang penjahat itu sempat mengernyitkan alis mereka.

"Tunggu apalagi? Ayo tangkap!" Perintah lelaki tadi. Dalam sekejap Gendhis didekati dengan cara liar oleh lima preman namun sayangnya mereka salah memilih korban. Satu persatu penjahat itu harus merasakan tendangan dan pukulan dari seorang karateka sabuk hitam dan pemenang tiga tahun berturut-turut kompetisi olahraga Karate antar propinsi.

Gigi copot, bibir berdarah, patah tulang di tangan dan kaki, tendangan di perut, dan wajah lebam adalah akibat yang ditimbulkan kalau berani macam-macam dengan Gendhis Mahameru. Polisi yang datang di tempat kejadian dengan dua mobil patrolinya dibuat tidak berdaya. Pistol yang mereka todongkan dikembalikan ke sarungnya masing-masing.

"Kamu … ada apa ini?" Seorang petugas polisi mengenakan jaket kulit warna hitam mendekati para penjahat yang kini malah menjadi korbannya. Tidak ada satupun yang tidak babak belur dibuat oleh Gendhis. "Bisa tolong jelaskan ada apa ini?" Ucap petugas polisi itu sekali lagi.

"Maaf pak, saya terburu-buru ingin berangkat kerja. Saya hanya ingin mengambil ponsel saya." Gendhis mengambil ponselnya yang terlempar di jalanan beraspal gang buntu ini.

avataravatar
Next chapter