1 EPISODE PERTAMA

Nisya POV

Namaku Nisya, aku siswi SMA kelas sebelas. Aku murid biasa yang berada di kelas yang biasa, sampai seorang siswa pindahan datang ke kelasku. Namanya Alfa, dia siswa berambut pendek hitam dengan poni ke atas, iris mata hitam. Dia adalah murid pindahan dari kota yang jauh, yaitu Bandung. Kenapa aku bilang kalau kelasku berubah semenjak dia datang? Itu semua karena wajahnya, lebih tepatnya gara-gara ekpresinya. Dia tidak memiliki ekpresi, tertawa tidak bisa, menangis tidak bisa, tersenyum tidak bisa, bahkan sakit pun tidak bisa. Contohnya, saat guru kami sedang mengajar dan beliau bercanda, kami semua tertawa dengan keras, tapi, "tertawa" kami hilang oleh tawa Alfa. "Hah hah hah hah, aku tertawa. Hah hah hah." Semenjak itu, guru kami itu tidak lagi suka bercanda. Lalu, saat salah satu guru kami akan mengundurkan diri karena pernikahannya, kami semua merasa kehilangan. Ada yang menangis, ada yang menyanyikan sebuah lagu yang indah, dan ada yang mengucapkan selamat, tapi, semua itu seperti tidak berarti setelah Alfa ikut. "Hiks hiks hiks hiks, aku sedih, aku sedih. Hiks hiks hiks." Semenjak itu, kami semua merasakan sakit hati dan malu. Lalu, yang paling parah. Dia seperti manusia baja, karena dia tidak bisa sakit. Waktu itu adalah jam istirahat, aku pergi ke kantin. Saat mau turun tangga, Alfa melewatiku dan jatuh dari tangga. Dia berguling dengan cepat, mungkin minimal dia memiliki benjol besar. Tapi, saat dia sudah ada di bawah dan kepalanya itu terbentur berkali-kali, dia hanya memasang wajah biasa dan berkata "Aww, aku sakit. Sepertinya aku akan pingsan. Aku pingsan," ucapnya dengan nada biasa. Lalu dia kembali tertidur dan menutup matanya. Semua yang melihat itu, termasuk aku, mungkin merasakan sesuatu yang aneh…

Maka dari itu, dia disebut "wajah dingin dan berbadan baja". Aku sangat membencinya, karena sudah membuat kami semua malu, dan dia merasa seperti tidak bersalah. Aku sangat benci dengan wajahnya yang tidak bisa menunjukkan rasa bersalahnya. Tapi, itu dulu, sekarang aku tidak membencinya. Rasa benciku hilang setelah aku melihat dia melakukan hal yang baik. Waktu itu, aku berangkat sekolah, dan secara kebetulan aku melihat dia di depanku, di jalan daerah perumahan. Lalu terdengar seperti anak kecil yang menangis, dan tiba-tiba dia mempercepat jalannya. Entah kenapa, aku ikut mempercepat jalanku saat itu, dan mengikutinya dari belakang. Sampai di sumber suara, ternyata benar itu adalah seorang anak kecil. Dia menangis sambil menunjuk sebuah balon yang menyangkut di pohon rumah. Entah apa yang dia pikirkan, dia menaiki pagar besi hitam yang ujung atasnya sangat tajam. Dia menaiki pagar itu untuk mengambil balon yang berada di dahan pohon yang keluar dari pagar. Dia berhasil mengambil balon itu, tapi sayangnya dia harus jatuh dan sikunya menggesek ujung pagar yang tajam itu. Dia berdiri dari jatuhnya, lalu memberikan balonnya kepada anak kecil itu. Walau darah mengalir dari sikunya, wajahnya masih tenang-tenang saja. Anak itu kembali ceria, lalu pergi meninggalkan Alfa, tentu tidak lupa mengucapkan "Terima kasih" kepadanya. Dengan wajah yang masih tenang, dia mengangkat sikutnya, dan melihat lukanya itu. Karena merasa kasihan, aku langsung berlari menghampirinya.

Sampai sekarang aku masih mengingat kejadian itu, dan aku tidak tahu kenapa aku tidak bisa melupakannya. Saat itu, aku merasakan bahwa dia sebenarnya orang yang baik sekali, walau dia tidak memberikan sebuah senyuman kepada anak kecil itu saat memberikan balonnya. Tapi, aku merasakan bahwa dia tulus. Sekarang, aku akan mencoba berbicara dengannya, mungkin kita bisa jadi teman. Kenapa aku melakukan itu? Karena aku merasa kasihan kepadanya, gara-gara gelar "wajah dingin dan tubuh baja"-nya, dia sering dijauhi oleh teman-teman sekelas, bahkan teman-teman yang di luar kelas. Dan dia selalu duduk melamun ke arah jendela di pojok kelas.

"A-Alfa," panggilku.

"Iya?" Dia mengarahkan wajahnya ke arahku, dan dia masih berwajah tenang.

"Ka-Kau tidak pergi ke kantin untuk beli makanan?"

"Tidak."

"Ke-Kenapa? Apa kau tidak lapar?"

"Tentu saja lapar, hanya saja biasanya aku makan saat pulang sekolah. Karena di kantin penuh dan sesak."

"Be-Begitu, ya…" balasku kehilangan topik. "Topik apa lagi yang bisa aku bicarakan?" Kami langsung hening, dan aku hanya bisa berdiri menundukkan kepala untuk mencari topik pembicaraan.

"Namamu Nisya, kan?" tanyanya tiba-tiba.

"Eh, iya."

"Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu? Apa kau seorang penguntit?"

"Bukan! Aku bukan penguntit! Aku hanya ingin bicara denganmu saja!"

"Bicara denganku? Jangan-jangan kau naksir aku, ya? Maaf, tapi aku sedang tidak ingin punya pacar."

"Bukan begitu! Siapa juga yang naksir kau!?"

"Aku hanya bercanda. Lalu, ada apa?"

"Me-Memangnya harus ada alasan?!" bentakku. "Eh? Ternyata dia bisa bercanda juga."

"Tidak juga. Aku hanya ingin tahu saja, mungkin kau punya tujuan yang terpendam."

"Tidak, aku tidak punya hal yang seperti itu. Oh iya, Alfa. Maaf kalau aku menanyakan hal ini, tapi… tapi… aku hanya ingin tahu, tapi kalau kau tidak mau menjawabnya, tidak apa-apa! Ba-Bagaimana, ya, aku menanyakannya…?"

"Karena kecelakaan."

"Hah?"

"Wajahku tidak mengeluarkan ekpresi karena sebuah kecelakaan, begitu yang dikatakan oleh dokter. Sebenarnya, aku merasa ingin tertawa saat itu, tapi aku tidak bisa mengeluarkan tawa kerasku. Lalu, aku ingin mengucapkan "selamat" dengan wajah sedih, tapi aku tidak bisa mengeluarkan ekpresi sedih. Dan ingin sekali berteriak "sakit" dengan keras, tapi sayangnya aku tidak bisa. Jadi, aku minta maaf kalau aku membuat kalian malu."

Kalimat itu membuatku sadar satu hal. Dia masih memiliki perasaan, hanya saja dia tidak bisa mengekpresikannya. Dan semua penilaianku terhadapnya adalah salah besar. "Ti-Tidak perlu minta maaf, lagipula pak Ridwan tidak melawak lagi karena kita kan sebentar lagi ada ulangan, dan ibu Yulia tidak merasa tersinggung, kok! Jadi tidak perlu minta maaf."

"Begitu, ya. Terima kasih, Nisya." Walau wajahnya tidak berekpresi, tapi aku merasa kalau wajahnya menunjukkan sebuah kesenangan karena sudah menghilangkan satu bebannya.

"Oh iya, Alfa. Apa kau mengikuti sebuah eskul?"

"Eskul? Tidak, aku tidak ikut apa-apa."

"Ba-Ba-Bagaimana kalau ikut eskul film?"

"Eskul film?"

"Iya, eskul yang membuat film-film."

"Memangnya kau mau seorang yang dijuluki "wajah dingin dan tubuh baja" ini ikut dengan eskul itu?"

"Ti-Tidak masalah!"

"Baiklah, aku akan ikut."

"Kalau begitu, sore nanti kau tunggu di sini! Aku akan menjemputmu!"

"Iya."

"Baiklah, aku mau ke kantin dulu." Lalu aku pergi meninggalkannya.

Di lorong, aku melihat seorang siswa berwajah tampan, rambut pirang pendek, hidung mancung, berkulit putih, bertubuh tegap sedang, dan memiliki lirikan mata yang indah. Semua siswi mengidolakannya, mereka semua selalu mendekati siswa itu. Nama siswa itu adalah Steven, siswa luar negeri yang bisa berbahasa Indonesia dengan lancar.

"KYAAA, itu Steven!" teriak siswi-siswi di belakangku. Mereka langsung berlari ke arah Steven.

Jujur kukatakan, aku tidak tertarik dengannya, walau wajah dan penampilannya cukup menawan. Entah aku wanita yang kurang normal atau memang aku bukan orang yang bisa dengan mudah menyukai seorang pria. Karena tidak tertarik dengan wajahnya, seperti hari-hari sebelumnya. Aku memilih meninggalkan pemandangan segerombolan siswi-siswi itu, dengan melewati jalan lain.

Selesai sudah aku membeli makanan, dan selesai memakannya. Di saat yang bersamaan, aku bertemu dengan siswi berambut hitam sebahu, berkulit putih, bertubuh pendek. Dia adalah temanku, Risma. Dia menghampiriku, yang sedang duduk di bangku kantin.

"Hai, Nisya!" sapanya dengan nada khas yang sedikit cempreng.

"Hai!" balasku.

"Tumben kamu jam segini masih ada di sini?"

"Iya, tadi aku telat datang ke kantin-nya."

"Kenapa telat? Biasanya kalau masalah makan, kamu suka semangat?"

"Ih, apaan sih!? Aku enggak gitu deh! Oh iya, Risma. Kita mendapatkan anggota baru."

"Beneran?!"

"Iya, namanya Alfa…"

"Tunggu! Maksudmu Alfa si "wajah dingin dan bertubuh baja"-itu?"

"Iya."

"Ke-Kenapa dia mau masuk ke eskul kita?"

"Karena aku mengajaknya." Setelah aku menjawab itu, wajah Risma terlihat sangat pucat. Lalu dia memegang dahiku, kemudian memegang kedua pipiku, dan menatapku dengan wajah pucat.

"Kamu enggak lupa minum obat, kan? Atau tadi kepalamu terbentur sesuatu?"

"Jahat! Aku enggak apa-apa!"

"Lalu, kenapa kau mengajak si "Alfa" itu?"

"Memangnya enggak boleh?"

"Bukan enggak boleh. Ada beratus-ratus siswa yang lebih tampan, dan lebih normal dibanding dengannya. Kenapa kau malah pilih dia?"

"Karena dia cocok menjadi kameramen. Dia kan enggak punya ekpresi, jadi saat dia merekam adegan lucu, dia bisa tetap fokus!"

"Benar juga, sih… Baiklah, aku setuju saja. Lagipula kita baru ada tiga orang. Kita butuh dua orang lagi."

"Kalau begitu, kau tunggu saja di ruang eskul. Nanti aku jemput dia dulu."

***

Tidak terasa, waktunya pulang sekolah. Dengan perasaan yang lega karena terlepas dari pelajaran, aku memasukan alat-alat tulis ke dalam tas. Setelah itu, aku menghampiri Alfa yang sedang berdiri di dekat pintu.

"Ayo!"

"Nisya, ada sesuatu yang ingin aku katakan dulu," ucapnya dengan nada serius.

"A-A-Apa?" Entah kenapa, tiba-tiba jantungku berdetak dengan kencang. Tubuhku terasa sangat panas, karena tatapan serius dari dia.

"Sebenarnya…" Tubuhku mulai bergetar, tapi aku menahannya. Dan tubuhku semakin terasa panas. "Sebenarnya aku…" Tubuhku terasa aneh, dan ingin sekali aku berteriak. "Sebenarnya aku sudah menyadarinya sedari tadi, tapi aku lupa memberitahukanmu." Secara cepat, tubuhku kembali normal.

"Me-Menyadari apa?"

"Ada rambut yang terlihat di dahimu." Aku langsung membalikan badan, memasukan rambut yang dimaksud oleh Alfa ke dalam kerudungku.

"Ma-Maaf."

"Eh? Seharusnya aku yang meminta maaf, karena enggak memberitahumu sedari tadi."

"Be-Benar juga, ya. Hahahah!" Aku masih membelakanginya, dengan kepala menunduk. "Ayo kita ke ruang eskul."

Tanpa alasan yang jelas, aku merasa kecewa di dalam hati. Aku berada di depan Alfa, dan selama di perjalanan, kami tidak bicara. Sampailah kami di depan pintu ruang eskul. Aku memutar kenop pintu, dan aku bisa melihat ruangan ini cukup luas, ada beberapa lemari kaca berisi peralatan eskul, dan seorang siswi berdiri di tengah ruangan.

"Kalian lama sekali!" ucap Risma dengan kedua tangan di pinggangnya.

"Maaf, Risma. Tadi ada tugas dulu," jawabku.

"Jadi, dia yang bernama Alfa itu?"

"Iya, nama lengkapku Alfa Tomo," jawab Alfa.

"Risma Sitiana."

"Baiklah, karena kalian berdua sudah berkenalan. Kita langsung saja memulai kegiatannya."

"Tunggu dulu, memangnya tidak apa-apa memulai kegiatan eskul? Padahal kita kurang dua orang lagi?" ucap Alfa.

"Ka-Kamu tahu dari mana?" tanya Risma.

"Tadi kamu bilang "Kalian lama sekali!" dan tidak menanyakan teman yang telat juga. Ruangan ini tidak punya ruangan lain lagi, dan yang terlihat di sini hanya ada kita bertiga. Jadi, aku menyimpulkan kalau kalian kekurangan anggota. Mungkin alasan itu juga aku diajak ke sini."

"Kamu pintar juga, ya."

"Tidak juga, aku hanya mengutarakan pikiranku."

avataravatar