4 Ulah si Kembar

Ruang guru terlihat lengang, waktu yang pas untuk memberi petuah kepada murid baru yang sudah berani berulah. Nadira menunggu kedatangan Ali dan Alex di mejanya. Beruntung, keduanya segera menampakkan diri tak lama setelah bel pelajaran selesai berbunyi.

"Maaf, Miss, kami salah." Alex langsung meminta maaf atas tindakan mereka tadi.

"Duduk dulu." Nadira mempersilahkan kedua muridnya untuk duduk. "Apa kalian sering bertukar posisi?"

Ali yang menggelengkan kepala sembari menjawab, "No, Miss. Kami sedang bereksperimen."

"Tentang?"

"Kemarin Miss Nadira bisa membedakan kami berdua. Sekarang kami hanya ingin memastikan apakah Miss Nadira beneran bisa membedakan kami atau tidak." jawab Alex, masih dengan wajah tertunduk dan suara lesu.

"Apa itu menarik bagi kalian?"

"No, Miss." jawab keduanya berbarengan.

"Kami terkejut Anda bisa membedakan kami, tapi kami juga senang dengan hal itu. Kami memang sama, tapi kami juga berbeda." tambah Ali.

Nadira tidak terlahir kembar, tapi Nadira pernah memiliki sahabat yang sangat mirip dengannya. Banyak orang yang sering salah mengira Nadira sebagai Aisha, sahabat Nadira. Tentu hal itu bukan hal yang menyenangkan. Entah mengapa Nadira bisa memahami bagaimana perasaan mereka.

"Tolong hargai orang lain. Mereka benar-benar tidak tahu perbedaan kalian, jadi mereka sering salah menyebut ataupun memanggil kalian. Dan apa yang kalian lakukan bukan hal yang terpuji. Kalian mengerti?" Nadira menatap tegas kedua murid barunya itu. Baru dua hari sekolah sudah membuat ulah?

"Jadi, kenapa Anda bisa membedakan kami?" tanya Ali tak kalah tegas dari Nadira. Yang membuat Nadira merasa heran kenapa anak berusia 14 tahun ini terlihat begitu dewasa.

"Ibu juga tidak tahu. Yang jelas, tinggi kalian berbeda, suara kalian juga."jawab Nadira.

"Kami juga memiliki tanda lahir yang berbeda, kalau Miss Nadira mau lihat." Alex langsung memperlihatkan tangannya dan tangan sang kakak ke meja Nadira.

Benar, dipergelangan tangan keduanya ada semacam bercak yang terlihat. Milik Ali terlihat lebih jelas dibandingkan milik Alex. Dan milik Alex terlihat seperti bentuk lonjong yang sempurna, sedangkan milik Ali tidak.

Nadira berkali-kali dibuat kagum dengan dua murid barunya itu. Nadira pikir kedua muridnya ini adalah tipe murid yang rusuh dan banyak tingkah karena mereka sering berpindah tempat. Tapi pada akhirnya Nadira sadar, bahwa mereka hanya sedang mencari perhatian dari orang-orang disekitarnya.

"Ibu minta maaf karena sudah bertindak berlebihan. Ibu hanya tidak ingin kalian keterusan mempermainkan orang yang tidak bisa membedakan kalian." akhirnya Nadira mengalah. Mungkin akan ada cara lain agar kedua muridnya itu menjadi anak yang lebih baik.

"Kami juga minta maaf, Miss. Kami janji tidak akan melakukan hal itu lagi." ucap Alex, mewakili sang kakak.

"Oke, kalau begitu Bu Guru traktir kalian makan siang. Kalian setuju?"

"Kami nggak dihukum?" tanya Ali keheranan.

"No, Mr. Sebastian. Hanya peringatan. Oke?" kini wajah Nadira tidak setegas tadi. Dan wajah tegas memang tidak pas untuk wajahnya, karena tiba-tiba saja wajahnya menjadi kaku.

Berjalan beriringan ke kantin bersama dua murid populer itu rasanya memang berbeda. Menjadi guru selama 7 tahun, menemui berbagai tipe murid, nyatanya masih membuat Nadira merasa asing ketika berjalan dengan murid yang populer.

Ali dan Alex memesan menu makan siang mereka, begitu juga dengan Nadira. Mereka bertiga duduk bersama dan bercerita banyak hal. Membuat Nadira tahu tentang mereka berdua. Yang lebih hebatnya lagi, Ali yang diawal pertemuan hanya diam saja, sekarang sudah mulai berbicara. Memang tidak sebanyak Alex, tapi itu hal yang luar biasa bagi Nadira.

Dari perbincangan mereka siang itu, Nadira menjadi tahu kalau kedua orangtua mereka sudah berpisah sejak mereka masih kecil. Umur 5 tahun bukanlah usia yang tepat untuk melihat perpisahan kedua orangtua. Bahkan tidak ada usia yang pas untuk melihat kedua orangtuanya berpisah.

Lalu juga mereka yang berpindah-pindah sekolah karena harus mengikuti sang ayah. Selama 10 tahu sejak kedua orangtua mereka berpisah, baik Ali maupun Alex hanya beberapa kali bertemu dengan ibu mereka. Jarak menjadi alasan utama kenapa mereka jarang bertemu.

Hey, jaman sekarang kan sudah canggih, dimana mereka yang terpisah jarak bisa saling berkomunikasi melalui video call atau apapun itu namanya kan?

"Mom sibuk bekerja. Menjadi model terkenal itu ternyata menyibukkan, ditambah lagi anak mereka yang baru lahir." ucap Alex, ketika Nadira bertanya kenapa mereka jarang bertemu ibu mereka.

"Maaf, seharusnya Ibu tidak menanyakan hal itu." Nadira langsung diliputi rasa bersalah. Dia tahu kalau pertanyaannya itu sudah kelewatan.

"It's okay. Toh tidak ada yang tahu tentang Mom." imbuh Ali, sekaligus berusaha meyakinkan Nadira bahwa mereka memang baik-baik saja.

"Kalian pasti kangen Mom kalian."

"No, kami biasa saja. Toh kami jarang bertemu dulu sewaktu masih tinggal bersama."

Mendengar penuturan keduanya membuat Nadira mengingat masa lalu. Ketika dia masih kecil dan selalu ditinggal sang ibu bekerja. Sepulang sekolah, Nadira hanya akan menghabiskan waktunya bersama Nadiem, dengan Mbak Sita yang mengawasi mereka. Ketika sudah beranjak remaja, mereka selalu pergi ketika kedua orangtuanya belum pulang bekerja.

Dirinya dan Nadiem juga sama-sama jarang bertemu dengan kedua orangtua ketika masih kecil. Tapi mereka masih lebih baik karena orangtua mereka utuh dan mau meluangkan waktunya untuk anak-anak. Berbeda dengan Ali dan Alex yang mungkin tidak pernah meluangkan waktu bersama orangtua mereka.

"Hei, kalian punya Ibu. Kalian boleh main ke rumah Ibu, karena disana juga sepi kalau siang."

"Boleh?" tanya Alex sumringah.

Lalu, ketika Ali menyenggol lengan Alex dan menggeleng, wajah sumringah itu berganti menjadi lesu.

"Kenapa?"

"Kata Dad, itu tidak sopan untuk berkunjung ke rumah orang lain." jawab Alex lirih.

"Kenapa tidak sopan? Kan Ibu yang mengajak kalian untuk berkunjung ke rumah Ibu." Nadira berusaha membuat mereka bersemangat lagi.

Dan benar saja, keduanya langsung terlihat sumringah setelah mendengar kalimat Nadira. Ya ampun, apa semudah ini membuat anak-anak sumringah?

***

Seperti yang sudah dikatakan oleh Alex, ayah mereka datang menjemput ketika jam sudah menunjukkan pukul 3 sore. Dimana sekolah sudah sepi karena hari ini belum dimulai ekstrakulikuler.

"Miss Nadira, terima kasih sudah menjaga Als. Maaf, saya terlambat menjemput mereka." begitu ucap Danny Sebastian ketika melihat Nadira bersama kedua putranya.

"Bukan masalah, kebetulan tadi juga ada diskusi dengan beberapa siswa." balas Nadira.

Setelah berpamitan dengan dirinya, si kembar langsung masuk ke dalam mobil. Tanpa menyapa ayah mereka atau apapun itu. Malah, Nadira yang notabene adalah orang asing mendapat ucapan perpisahan.

Mobil sudah menghilang, kini saatnya Nadira pulang ke rumah. Jujur saja, hari ini seharusnya dirinya beristirahat karena nanti malam dia harus mengajar les. Apa daya, hari ini dia malah melewatkan jam istirahatnya untuk mengobrol bersama si kembar di sekolahan.

"Kok baru pulang? Ada les tambahan?" tanya Ibu ketika Nadira memasuki rumah.

"Nggak Bu, tadi ada murid yang berulah. Jadinya aku semprot mereka." jawab Nadira.

Meski lelah, Nadira tetap bersemangat ketika menceritakan apa yang terjadi di sekolahan. Entahlah, Nadira sendiri tidak paham kenapa bisa begitu. Rasanya ada perasaan bangga ketika menceritakan apa yang terjadi di sekolahan. Juga ada bahan obrolan dengan Ibu yang seharian hanya di rumah saja.

Tak perlu pancingan lebih jauh, Nadira sudah menceritakan tentang murid barunya yang kembar tampan itu. Untungnya dia masih bisa mengontrol diri dengan tidak menceritakan tentang bagaimana tidak kalah tampannya ayah si kembar meski sudah berumur.

"Ya udah, Bu, aku istirahat dulu. Nanti ada les jam 7."

Begitulah keseharian Nadira. Menjadi guru memang menyenangkan, tapi dia harus berjuang demi bisa mendapatkan uang tambahan. Guru memang memiliki gaji yang besar, itu kalau sudah menjadi PNS atau guru tetap, sedangkan dirinya masih berstatus guru honorer sampai detik ini.

Bukan untuk mengeluh. Nadira dengan sadar menerima keadaannya. Hanya terkadang lelahnya mengajar tidak sebanding dengan upah yang diterimanya itu.

Semangat Nadira, masih ada banyak pintu rejeki yang bisa dibuka.

avataravatar
Next chapter