13 Bali

Tidak ada yang menyangka bahwa pertemuan siang itu adalah pertemuan terakhir Ali dan Alex dengan Miss Nadira. Jelas penyesalan terlihat jelas di wajah mereka.

Andai siang itu mereka menerima ajakan Miss Nadira, tentu sekarang mereka masih bisa bertemu dengan guru favorit mereka. Andai mereka mau mencari tahu dan membantu Miss Nadira, kemungkinan masalah ini memburuk sangatlah kecil. Dan andai-andai lainnya yang bisa mereka pikirkan, yang pada akhirnya berubah menjadi penyesalan.

Sayangnya, nasi sudah menjadi bubur. Miss Nadira sudah tidak bekerja lagi di sekolahan ini. Tidak ada kesempatan untuk bisa bertemu lagi dengan sosok perempuan asing yang memahami Ali dan Alex seperti Miss Nadira memahami mereka.

Jangan memberi ide untuk mengunjungi rumah Miss Nadira, karena mereka sudah melakukannya dan hasilnya nihil. Tidak hanya sekali dua kali. Hampir setiap hari selama sebulan penuh mereka mampir ke rumah Miss Nadira, berharap bisa bertemu. Nyatanya tidak sama sekali.

Miss Nadira hilang bagai ditelan bumi.

"Kenapa wajah kalian kusut?" tanya Danny.

Ada perasaan was-was yang melingkupi hati dan pikirannya melihat dua remajanya tampak kusut.

"Tugas sekolah. It's suck." jawab Ali, yang langsung membuat Danny terlihat murka.

"Ali, Dad udah bilang berkali-kali. Jaga ucapanmu." suara Danny jelas tidak dalam intonasi yang ramah.

"For what? No one care to us. Even it you!"

Alex yang ada diantara ayah dan kakaknya hanya bisa terdiam. Memperhatikan kedua manusia itu yang tampaknya semakin hari semakin tidak akur. Itu bukan analisis semata, karena memang kenyataannya begitu.

Rasanya, Ali menjadi lebih menyebalkan dibandingkan dulu. Dia juga lebih sering marah, hanya karena hal sepele yang dia rasa tidak pada tempatnya. Well, perangai Ali memang dari dulu begitu kan sebelum bertemu dengan Miss Nadira.

Kalau dulu Alistair hanyalah seorang remaja yang malas untuk berbicara dan bersosialisasi, sekarang Ali menjadi sosok remaja yang pembangkang dan berkata kasar. Baik Danny maupun Alex merasa bahwa Ali benar-benar sudah berubah menjadi orang lain.

Alex tahu, itu adalah cara Ali untuk melampiaskan kemarahan dan kesedihannya. Alex juga merasakan hal itu, tapi Alex punya cara tersendiri untuk melampiaskan perasaannya. Bukan bermaksud membandingkan mana yang baik dan yang buruk, karena sejatinya mereka sama-sama merasa sedih dan juga marah.

Setelah hanya tinggal berdua dengan sang ayah, karena Ali sudah meninggalkan mereka, Alex memberanikan diri bertanya. "Dad, I think we need holiday."

Bukan tanpa alasan Alex mencetuskan ide itu. Toh tidak ada salahnya untuk dicoba. Siapa tahu dengan liburan ini, mereka bertiga bisa sedikit melemaskan otak mereka dan bisa berpikir lebih jernih lagi.

Sebaik apapun seorang Daniel Sebastian menutupi masalahnya, pada akhirnya Alex akan tahu juga. Kalau dua remaja kembar itu meluapkan perasaannya dengan merubah sikap, berbeda dengan Danny. Duda dengan dua anak itu memilih untuk menceburkan diri dalam kesibukan bekerja.

Bahkan bisa dibilang Danny terlalu menenggelamkan diri dengan bekerja, karena dia sekarang jarang ada di rumah. Kalau ada di rumah pun itu karena weekend atau dia baru saja kembali dari luar kota.

"Where?"

"Bali." jawab Alex mantap.

Meski sedikit curiga dengan usulan putra bungsunya, toh Danny tetap menganggukkan kepalanya. Mungkin memang benar kalau mereka bertiga membutuhkan suasana baru agar bisa berpikir lebih baik. Siapa tahu juga mereka bisa menemukan petunjuk keberadaan Miss Nadira sepulangnya dari liburan.

***

Hal yang paling membahagiakan adalah dengan menyingkir sejenak dari rutinitas hariran yang menyesakkan. Mengambil cuti dan menikmati liburan, membiarkan anak-anak tidak sekolah padahal bukan wkatunya liburan. Itu adala hal yang menyenangkan bagi Daniel. Dan dia merasa tidak menyesal menerima ide liburan dari Alex.

Rencananya, mereka akan berlibur selama seminggu penuh di Bali. Menjelajahi pulau Dewata itu bertiga. Menjauhkan ponsel dan semua gadget dari tangan mereka untuk sejenak.

Ketiga pria itu menikmati waktu mereka dengan sangat baik. Tiada hari tanpa berpetualang. Memang tidak semua tanah Bali mereka jelajahi, tapi paling tidak mereka sudah melintasi Pulau Bali dari selatan hingga ke utara, dari barat hingga ke timur.

Hari ke lima di Bali, mereka memutuskan untuk menikmati pantai yang ada di dekat vila mereka. Tidak ada hal yang menarik bagi mereka kecuali tumpukan sampak yang berserakan di sekitar pantai.

"Well, mungkin ini saatnya memperlihatkan bagaimana seharusnya pantai itu terlihat." seru Danny bersemangat.

Dia sudah menneteng dua kantong besar dan juga sekop sampah.

Kegiatan bersih-bersih memang kerap mereka lakukan, entah dimanapun. Rasanya sudah menjadi kebiasaan mereka bertiga untuk membersihkan apa yang tidak seharusnya ada disana. Anehnya, apa yang mereka lakukan itu malah menjadi tontonan beberapa orang. Menyedihkan, dimana hal seperti ini seharusnya mereka giatkan, bukan malah dipandang aneh.

Hari sudah mendekati makan siang, tapi masih ada banyak sampah yang belum mereka pungut. Wajar saja, luasnya pantai tidak sebanding dengan tenaga mereka bertiga untuk membersihkan area itu.

"Dad, aku rasanya mau pingsan." keluh Alex, berulang kali menyeka keringatnya.

"Oke, kita istirahat dulu. Ayo, kita kembali ke hotel sebelum melanjutkan pekerjaan ini." Danny menggiring kedua putranya untuk kembali ke hotel sejenak.

Tidak hanya Alex yang merasa kelelahan karena membersihkan area pantai. Danny dan Ali juga merasakan hal yang sama. Apalagi sengatan sinar matahari yang semakin lama terasa semakin menyakitkan.

Ketiganya memutuskan kembali ke pantai ketika matahari sudah sedikit meredup. Itu sekitar pukul 3 sore waktu setempat. Beruntung, karena kali ini penggiat lingkungan turut membantu mereka.

Ali yang terpisah dengan ayah dan adiknya, seperti melihat sosok yang belakangan ini dirindukannya. Bahkan mungkin tidak hanya dia yang merindukan sosok itu.

Dengan langkah perlahan, Ali mendekati dia. Hanya ingin memastikan penglihatannya benar atau tidak. Ali pikir mungkin dia berhalusinasi karena sangat kangen kepada guru favoritnya itu. Tapi, hal ini juga terlalu nyata untuk dianggap sebagai halusinasi.

"Miss Nadira." ucap Ali ragu.

Orang yang sedari tadi diperhatikannya itu menoleh kearahnya. Dan itu memang Miss Nadira, guru favoritnya yang sudah menghilang. Ketika mata mereka bertemu, Ali bisa melihat keterkejutan di mata itu. Sama seperti dirinya.

"It's you."

"Alistair?" suara bergetar itu amat dirindukan oleh Ali.

Tanpa permisi, Ali langsung memeluk guru favoritnya itu sembari menangis. Ali bukanlah anak yang cengeng, tapi entah kenapa dia langsung menangis ketika melihat dan bisa memeluk Miss Nadira. Dia tahu apa yang dilakukannya itu tidak sopan. Kalau ayahnya sampai melihat hal itu, Ali yakin Daniel Sebastian akan langsung menghajarnya saat itu juga.

Ali pikir itu bukan masalah. Beberapa pukulan dari ayahnya tidak sebanding dengan rasa bahagianya bertemu dengan Miss Nadira.

Puas memeluk dan menangis, Ali langsung menarik Miss Nadira menjauh dari kerumunannya. Genggaman tangan Ali cukup erat, jadi Miss Nadira tidak bisa lepas lagi, bahkan menghilang. Dia harus segera membawa Miss Nadira kehadapan Alex dan juga ayahnya.

"Dad. I found her." suara Ali terdengar penuh semangat. Langkahnya pun menjadi semakin cepat ketika mendekati keluarganya.

Kesibukan Alex dan Danny langsung terhenti ketika mendengar Ali yang berteriak kearah mereka. Sama seperti Ali, Alex dan Danny sama-sama terkejut melihat sosok yang mereka rindukan selama beberapa bulan ini.

Kini giliran Alex yang berlari penuh semangat menyongsong Miss Nadira dan langsung memeluknya. Sama seperti Ali, Alex juga memeluk Miss Nadira-nya sembari menangis. Ini adalah jenis tangisan haru yang bahagia.

"Where have you been?" tanya Alex, berusaha menghentikan tangisannya.

Tanpa menjawab pertanyaan Alex, Miss Nadira langsung berpindah tempat berada di pelukan Danny.

Bagi ketiganya, sosok yang mereka butuhkan dalam hidup sudah kembali. Apapun akan mereka lakukan agar Miss Nadira tidak menghilang lagi. Kalau perlu, mereka akan menculik dan menyekap Miss Nadira di rumahnya.

avataravatar
Next chapter