1 Telepon Tengah Malam

Sekitar pukul sebelas malam Herlina terbangun dengan peluh dingin bercucuran di tubuhnya. Lagi-lagi ini mimpi yang sama seperti malam-malam sebelumnya. Sebuah mimpi seakan-akan ia berada di sebuah ruangan yang penuh dengan genangan darah. Lalu genangan darah berbau amis itu semakin dalam hingga menenggelamkan tubuhnya.

Herlina sering merasa sesak nafas gara-gara mimpi itu, dan ia bangun dengan peluh bersimbah di tubuhnya sesudahnya.

Itu pengalaman menyiksa! Dan sudah ia alami selama beberapa malam belakangan. Sebuah mimpi yang berulang itu-itu juga. Ia bingung kenapa itu terjadi seperti ada firasat yang menghampiri dirinya.

Drrrtt... Drrrrrttt....

Seketika ponsel Herlina berdering.

"Halo? Ini siapa?"

"Halo, ini Herlina kan?"

"Ya. Saya sendiri,"

"Tolonglah Herlina! Namaku Ny. Sumiarsih. Aku ingin memberikan semua harta warisanku kepadamu. Datanglah ke rumahku besok atau lusa. Nanti semua ongkos transportasi akan kutanggung setelah kau sampai nanti di rumahku. Ini akan kukirim alamatku lengkap. Kutunggu ya nak! Jangan sampai kau tidak datang...!"

Herlina tercengang.

Ia merasa aneh dengan sambungan telepon itu. Seorang perempuan tua mengatakan ia ingin sekali bertemu dengan dirinya? Dari mana perempuan itu tahu tentang dirinya? Dan dari mana pula tahu nomor teleponnya?

Anehnya pula perempuan itu terkesan memelas-melas padanya agar segera menemuinya di sebuah desa yang tak jauh dari kota tempatnya tinggal. Terkesan ingin meminta tolong, tapi tidak dikatakan bentuk pertolongannya seperti apa. Justru menjanjikan sesuatu yang membuat gadis cantik itu mengerutkan alisnya.

"Ada sesuatu yang sangat berharga yang akan kuberikan padamu. Cepatlah datang ke sini nak. Percayalah padaku!" perempuan itu sempat berkata begitu sebelum sambungan diputus di balik ponselnya.

"Saya akan segera datang, Bu!" kata Herlina. Dipikirnya mungkin perempuan tua itu ingin curhat sesuatu kepadanya.

"Terima kasih nak! Kedatanganmu sangat ibu tunggu-tunggu. Biaya transportasi pulang pergi akan ibu berikan setelah kamu sampai nanti. Oh ya, kalau kamu kesulitan pulang hari

itu juga, kamu bisa bermalam di rumah ibu berapa haripun kamu mau," kata sang ibu pula, lalu ia menutup teleponnya.

Herlina menyimpan ponselnya kembali di tas kecilnya dengan hati bertanya-tanya. Ada apa sebenarnya si ibu itu begitu berkepentingan dengan kedatangan dirinya?

Sementara beberapa puluh kilometer dari rumah Herlina, di sebuah rumah besar dan mewah, tampak seorang perempuan setengah baya tengah terbaring lemah di atas ranjang berkerangka besi. Wanita itu tampak.pucat dan bibirnya agak kebiruan. Ia menggeragap seperti hendak memanggil-manggil seseorang, tapi bibirnya terbata.

"Hoh... Hoh...!" hanya itu yang bisa terdengar dari mulutnya. Nafasnya tersengal-sengal. Ia terus menggapai-gapai bibir ranjang. Berusaha menggapai secarik kertas yang ada di tepian ranjang kuno nya.

"Aku harus segera mewariskan semua hartaku.... termasuk dia yang ada di dalam ruangan belakang itu. Aku sudah tak tahan lagi... Aku ingin mati... Tapi tak bisa sebelum semuanya kuwariskan pada seseorang..." ia mendesis sambil terbatuk-batuk.

Seorang pembantu yang berwajah pucat karena kurang tidur selama beberapa malam tampak tergopoh-gopoh menghampiri dirinya. Pembantu itu, seorang wanita muda bertubuh kurus menyorongkan segelas air putih kepadanya, dan mendudukkan perempuan tua itu agar bisa lebih mudah meminum airnya.

Si wanita tua tampak gemetar tangannya menyambut gelas air putih itu. Ia meminumnya sambil pandangan matanya yang tajam menyorot ke arah pembantu satu-satunya itu.

"Kau sudah makan Rusdiana...?" si nyonya rumah bertanya sambil memicingkan matanya. Sebuah pertanyaan yang aneh karena biasanya si pembantulah yang menanyakan apakah dirinya mau makan atau tidak.

"Sudah nyonya. Saya makan gado-gado yang saya beli di kampung sebelah..." jawab si pembantu.

Sang nyonya rumah mengerutkan alis. "Sebegitu jauhnya kau mencari makanan untuk dirimu sendiri?! Kenapa tidak kau masak saja bahan-bahan makanan yang ada di dapur untukmu?"

"Saya sudah lama tidak makan gado-gado nyonya. Kebetulan saya tidak membuatnya sendiri..." kilah si pembantu sambil nyengir. "Nyonya ingin makan? Atau ingin makan obat dulu, nyonya?"

Si nyonya rumah menghela nafas dalam. "Penyakitku ini tidak ada obatnya, Rusdiana. Aku harus mencari seseorang untuk mengganti posisiku, barulah aku bisa mati dengan tenang," kata sang nyonya. Ia menatap pembantunya itu dengan tatapan misterius.

"Saya kurang faham maksud nyonya. Tapi yang jelas saya hanya menginginkan nyonya bisa sembuh seperti sedia kala." kata sang pembantu sambil berusaha menyembunyikan kebingungannya.

avataravatar