3 Niat Buruk Marvin

Pagi penuh tangis, siang penuh air mata dan malam yang penuh kerinduan akan sosok seorang ibu, begitulah hari demi hari yang di lewati oleh Leo selepas kepergian ibu tercintanya.

Kesepian yang teramat dalam membuat Leo menjadi sosok yang penyendiri, seakan dunianya hanya di dalam kamar laksana seorang putri dalam negeri dongeng yang terkunci di puncak menara.

Setelah beberapa bulan berlalu, ketika Leo sedang bermain sendirian di kamarnya, Ayahnya pulang dari kota, "Leo kamu di mana?" Panggil Marvin lembut, dia datang bersama dengan wanita anggun di sampingnya, Leo keluar dari kamarnya dan sentak membuatnya kebingungan.

"Papa, dia siapa?" Marvin yang ingin terlihat baik di depan wanita yang menjadi calon istrinya, dengan cepat menggendong Leo dan berkata, "Namanya Sinta dia cantik kan Leo? asal kamu tahu, dia juga sangat baik." Kata Marvin dengan lembut sambil tersenyum pada Leo.

"Ibu juga cantik, dan sangat baik kok." Kata Leo dengan polos, mendengar perkataan Leo wajah Marvin langsung berubah menjadi masam dan melepaskan Leo dari gendongannya.

"Bukankah ayah sudah bilang jangan menyebut ibumu lagi." Tegas Marvin sedikit keras tanpa kontrol, Sinta pun langsung mendekat dan mengelus kepala Leo sembari berjongkok dan tersenyum tipis.

"Nama kamu Leo ya? nama yang imut, jangan dengerin ayah kamu ya, dia memang sedikit keras tapi sebenarnya dia sayang banget sama kamu." Ucapnya mencoba menenangkan suasana dan tertawa kecil, Sinta pun berdiri dan mengelus pundak Marvin yang terlihat masih kesal.

"Sayang jangan gitu, Leo masih kecil, dia belum mengerti apa pun." Lanjut Sinta tersenyum manja pada Marvin. Leo yang melihat itu langsung berlari ke kamarnya, walaupun masih kecil, dia mengerti bahwa Sinta akan menjadi ibu barunya.

Di hari-hari berikutnya, sebelum pernikahan ayahnya, Leo yang penakut memberanikan diri untuk memberontak kepada Ayahnya, "Aku hanya mau tinggal dengan ibu, aku tidak mau yang lain." Ucap Leo tegas memandang ayahnya dengan raut wajah kesal, jelas saja hal tersebut seketika membuat Marvin naik darah.

"Leo dengerin papa." Kata Marvin dengan keras, namun Leo menutup kedua telinganya, dia tidak mau mendengarkan ayahnya, karena dalam hati Leo yang terpenting baginya adalah bisa hidup bersama ibunya lagi.

Melihat Leo yang terus-terusan seperti itu membuat Marvin kesal dan semakin khawatir, "Jangan sampai Leo mengacaukan pernikahanku." Tandasnya dalam hati, akhirnya Marvin mulai berpikir bagaimana caranya supaya pernikahannya dengan Sinta berjalan dengan lancar tanpa gangguan Leo.

Bahkan mulai terbesit dalam hatinya untuk menyingkirkan anak yang menurutnya hanya menjadi aib bagi dirinya sendiri.

Keesokan harinya sebelum matahari terbit, Leo dibangunkan oleh ayahnya, "Leo bangun, ayah mau pergi ke pantai kamu mau ikut enggak, kalau enggak, ayah tinggal nih." Ucap Marvin dengan lembut sambil tersenyum licik.

Leo yang mendengar hal tersebut dengan begitu polosnya langsung terbangun, "Aku ikut Pa ... aku ikut". Leo menjawab semangat, dia begitu senang dengan tawaran ayahnya, karena memang sudah lama tidak pernah keluar bersenang-senang dengan sang ayah.

Sesampainya di pantai Leo dengan sifat kekanak-kanakannya langsung keluar dari mobil dan berlari menuju pantai, Marvin yang melihat Leo begitu ceria mulai merenung penuh tanya dalam hati.

"Kenapa Leo menjadi begitu ceria dan tidak murung lagi, Apakah karena aku tidak pernah mengajaknya bersenang-senang lagi setelah sekian lama? atau karena aku sering memarahinya? aghhhh ... sudahlah ngapain juga aku mikirin anak bodoh itu," Jawabnya dalam hati, "Pa, ayo cepat." Teriak Leo memanggil ayahnya yang masih terbengong diparkiran.

Marvin pun hanya menanggapi dnegan anggukan kecil, namun setelahnya niat jahatnya kembali menguasai dirinya.

Marvin memulai niat busuknya dengan mengajak Leo berkeliling menuju bukit yang memiliki jurang tinggi di sebelah selatan pantai tersebut, "Ayah kita mau ke mana?" Tanya Leo yang sudah tidak sabaran untuk mandi di pesisirpantai.

"Kita jalan-jalan dulu sebentar." Jawab Marvin ringan, "Aku mau mandi yah." Balas Leo sedikit cemberut. "Ya ... diujung sebelah sana pasir dan airnya lebih bersih, jadi nanti mandinya di sana saja." Balas Marvin sambil menolehkan ke segala arah, memastikan tidak ada orang yang memerhatikan.

Sesampainya di atas bukit, Marvin melihat keadaan di sekitar bukit, "Ayah balik yuk ... Kita ngapain di sini? aku mau mandi." Leo menarik tangan ayahnya, "Iya ... sabar dulu." Marvin semakin kesal dengan sikap Leo.

Marvin tidak melihat seorang pun di sekitar bukit itu, kini mereka hanya berdua di atas tebing yang curam, sedangkan Leo hanya menarik-narik baju ayahnya dan mengajaknya kembali ke pantai, tanpa mengetahui niat buruk ayahnya tersebut.

Melihat Leo yang polos dan terlihat lugu, sentak membuat hati Marvin sedikit gelisah, dia merasa aneh dan akhirnya mengurungkan niat busuknya dan memutuskan untuk kembali ke pantai.

"Kenapa aku malah seperti ini?" Batin Marvin penuh tanya, namun pikirannya terus memberontak, menghasutnya untuk melancarkan niat busuknya.

"Ahhh ... Sial." Gumamnya sambil menjambak rambutnya sendiri, tidak tahu harus berbuat apa.

Kini, dia hanya duduk terdiam di bawah pohon rimbun di pinggir pantai, sambil melihat Leo yang sedang mandi, Leo pun mendekati ayahnya yang dilihatnya sendirian dan terlihat lesu.

"Ayah mandi yuk, aku pengen digendong sambil mandi." Pinta Leo dengan polos sembari terus- menerus menarik tangan ayahnya, "Ya, ya... ayah bangun nih." Jawab Marvin sedikit lemas, mereka pun mandi bersama, Marvin menggendong Leo di punggungnya seperti keinginannya.

Selang beberapa menit, melihat keadaan yang tidak terlalu ramai dan tidak ada yang memperhatikan mereka , niat buruk ayahnya kambuh, "Kalau Leo tenggelam mungkin tidak akan ada yang curiga." Batin Marvin yang di penuhi dengan niat busuk.

"Leo gimana kalau ayah mengajarkanmu berenang?" Tanya Marvin membuat alasan kepada Leo, "Mmmm aku enggak berani, Takut yah." Balas Leo dengan polos, "Jadi cowok jangan penakut dong". Balas Marvin singkat.

"Mmm ... tapi ayah jagain ya, jangan jauh-jauh dari Leo." Balas Leo yang terlihat masih takut.

Marvin pun mulai melepaskan tangan Leo yang ada di lehernya, kini Leo yang begitu polos sudah terlepas dari punggung ayahnya, sambil terus memegang tangan ayahnya dengan kuat.

Namun perlahan Leo tidak merasakan tangannya ayahnya lagi, Leo berusaha mengepakkan tangan dan kakinya agar tidak tenggelam, namun, justru hal itu membuatnya semakin tenggelam, dia ingin memanggil ayahnya namun tidak bisa, air laut masuk ke dalam mulutnya.

Leo mulai merasa kacau, dengan napas yang tidak teratur dan seluruh badannya telah tenggelam, sesak di dada mulai terasa, karena tidak bisa menghirup udara membuat tangan dan kakinya mulai melemas, wajahnya yang manis berubah menjadi pucat pasi.

Namun keberuntungan masih memihak kepada Leo, tiba- tiba gerombolan orang datang dan Marvin yang melihat gerombolan itu mendekat ke arahnya, dengan sigap meraih tangan Leo.

"Ayah kenapa tangannya di lepasin?" Ucap Leo dengan wajah pucat sambil menangis, dengan wajah gelisah ayahnya langsung membawa Leo ke pinggir pantai.

Dia menatap wajah anaknya yang sudah pucat dan mata yang mulai memerah, Marvin mengubur niat busuknya dalam-dalam.

Dengan rasa bersalahnya yang tulus, Marvin pun memberikan semua keinginan Leo saat berada di pantai, dia berharap Leo bisa tidur dengan pulas nantinya.

Setelah hari sudah mulai petang dan Leo terbaring tidur di pangkuan ayahnya, Marvin memutuskan untuk pulang.

Dalam perjalanan Marvin yang berpikir akan segera menikah, memutuskan untuk menitipkan Leo pada adiknya yang berada jauh di desa dan bermaksud untuk menjemputnya setelah acara pernikahannya selesai.

avataravatar
Next chapter