1 Kelahiran si Genius

"Kau telah mengajarkanku arti dari rasa sakit dan aku sudah terlalu banyak berterimakasih pada kesedihan, tidak ada alasan untuk kembali lagi". Seorang pemuda tampan berdiri dengan pandangan dingin penuh kebencian di depan pria paruh baya yang terbaring lemah tak berdaya.

*** 17 Tahun sebelumnya ***

Malam Jumat nan sunyi, suara petir terselimuti angin kencang memecah rintik air kala hujan, seorang pria paruh baya duduk di bangku ruang tunggu dekat pintu rumah sakit, lorong rumah sakit cukup ramai, namun pria paruh baya itu hampir tidak mendengar apa pun, dia terlalu fokus pada pikirannya sendiri, menunggu kabar dari sesuatu di balik pintu.

Dia adalah Marvin, dengan raut wajah cemas bercampur bahagia, tak sabar menyambut anaknya yang akan segera lahir.

Marvin adalah orang genius terpandang dan tak mau kalah dengan orang lain, iya sangat mengharapkan anak laki-laki hebat seperti dirinya, dan kini malam yang dinantikan telah tiba, dia tidak sabar menyandang gelar seorang Ayah.

Sesaat kemudian, suara tangis bayi terdengar keras hingga luar ruangan, sentak hal itu membuat Marvin terbangun dari tempat duduknya, segera membuka pintu dan berjalan masuk menuju bayi yang baru saja lahir.

"Bagaimana? Apakah dia laki-laki?" Tanya Marvin tergesa-gesa, dalam lubuk hatinya ia sangat mengharapkan anak laki-laki, "Ia pak, selamat bayi bapak laki-laki yang sangat sehat dan tampan." Jawab Dokter perempuan tersenyum lebar menggendong bayi tampan tersebut.

Marvin tersentak, dan langsung berjalan ke arah bayi kecilnya, dia menatapnya dnegan penuh gembira dan harapan, kemudian beralih mendekati istrinya, menatapnya dengan lembut, "Kamu hebat sayang". Ucapnya membelai rambut istrinya dengan penuh kasih, sambil tersenyum lega, "Aku akan memberi nama anak kita, "Leo ... Leoris Marvin". Sambungnya dengan penuh semangat dan tertawa bahagia.

Beberapa tahun kemudian Leo sudah berusia 3 tahun, dia tumbuh menjadi anak genius seperti yang diharapkan ayahnya, Leo selalu lebih unggul dari teman-teman sebayanya, berjalan, berbicara bahkan pisiknya lebih kuat dari teman-temannya.

Pagi itu Leo sangat bosan, menghadap ke luar jendela, dia melihat banyak anak-anak yang lebih tua darinya memakai seragam sekolah, menurutnya itu sangat menarik.

Dengan sifat kekanak-kanakan nya, Leo kecil mendekat ke arah Ayahnya yang sedang santai membaca koran dengan secangkir kopi hitam di atas meja, ia merengek memaksa Ayahnya agar bisa bersekolah seperti teman-teman yang di lihat sebelumnya.

"Pak, aku mau sekolah! Aku bosan di rumah." Marvin mendengar anaknya yang masih kecil dan sadar anaknya masih terlalu kecil untuk pergi ke sekolah. Namun Marvin adalah salah satu pejabat sipil yang berpengaruh di kotanya. Jadi dia berpikir bisa melakukan sesuatu.

Keesokan harinya Marvin datang ke salah satu sekolah dasar populer yang tidak jauh dari tempat tinggalnya dan menyampaikan perihal keinginan Leo kepada pihak sekolah.

"Anak ku Leo ingin segera bersekolah, katanya dia bosan belajar sendirian di rumah". Kepala sekolah yang secara lansung menerima kedatangan Marvin sedikit terkejut.

"Bukankah belum waktunya Leo untuk sekolah?" Jawabnya sedikit kebingungan, kepala sekolah dengan rambut yang sudah beruban itu mengenal keluarga Marvin dengan baik.

"Hahaha, tidak apa-apa, Leo pasti mampu, karena sebelumnya saya sudah mengajarkan beberapa hal dasar kepadanya dan tentu dia juga sangat cerdas." Marvin tertawa dengan sikap sedikit arogan.

Setelah berdiskusi beberapa saat, kepala sekolah akhirnya menyetujuinya, karena yang meminta adalah Marvin yang sudah tersohor akan kegeniusannya.

"Baiklah saya akan segera pergi untuk memberitahu Leo, dia pasti akan sangat senang." Marvin lansung keluar dengan penuh semangat.

Keesokan harinya, Leo memulai hari pertamanya berangkat sekolah dengan ceria, berjalan kaki diantarkan oleh Laren ibunya yang saat itu sedang mengandung, di saat yang sama para guru sudah bersiap menyambut kedatangan Leo.

Mereka sangat berharap kepada Leo yang merupakan anak seorang Marvin yang dikenal sangat cerdas.

Sesampainya Leo dan Laren di gerbang sekolah, Leo mencium tangan ibunya dan segera berlari masuk ke sekolah, "Da ... dah ... ibu". Kata Leo yang berlari sambil mengayunkan tangan ke arah ibunya.

Saat kelas pertamanya Leo sudah mulai menunjukkan potensinya dengan mengungguli teman-teman kelasnya, dia selalu mengerjakan tugas dengan sempurna dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di lontarkan oleh gurunya dengan cepat dan benar.

Hanya berlangsung beberapa Minggu, kecerdasan Leo menjadi topik hangat para guru, mereka berdiskusi, mungkin sebaiknya Leo berada di kelas yang lebih tinggi.

Dan setelah diskusi panjang antar guru dan para komite sekolah, Leo pun naik tingkat ke kelas 3.

Namun sebelum itu kepala sekolah harus mengkonfirmasi prihal tersebut kepada orang tua Leo yang tidak lain adalah Marvin.

Selamat siang Pak Marvin, suara yang keluar dari telpon genggam Marvin, "Ya pak, ada perlu apa?" Jawab Marvin dengan singkat, "Maaf mengganggu aktifitas bapak, tapi ini sangat penting untuk saya sampaikan." Sambung kepala kepala sekolah yang menghubungi Marvin.

"Tidak masalah, kebetulan saya sedang istirahat". Jawab Marvin dengan santai.

Kepala sekolah menceritakan semua tentang Leo beserta tawarannya untuk menaikan kelas Leo lebih cepat, mendengar hal tersebut, Marvin tersenyum lebar, Leo telah melebihi harapannya, dan tanpa pikir panjang Marvin langsung menerima tawaran itu dan berharap akan meningkatkan status sosialnya karena memiliki anak genius seperti Leo.

Dikelas barunya Leo tetap menjadi perhatian akan prestasinya yang dengan mudah mengungguli kakak kelasnya dan semakin menjadi murid kebanggan guru-gurunya.

Keesokan harinya para guru mengadakan rapat untuk memilih calon murid yang akan dikirim untuk lomba bergengsi ditingkat nasional, tentu saja Leo adalah salah satu murid yang terpilih.

Para murid pun di pulangkan lebih awal, Leo yang biasanya di jemput sepulang sekolah, kini harus pulang sendiri karena ibunya yang belum datang untuk menjemput.

Dia berjalan sendirian di trotoar pinggir jalan, namun naas musibah itu pun datang, kecelakaan antar kendaraan roda dua terjadi di depannya dan salah satu kendaraan tersebut menghantam tubuh Leo, hingga ia terbanting beberapa meter.

Kepalanya membentur pohon besar di belakangnya hingga membuatnya berlumuran darah dan tidak bergerak sedikit pun, orang-orang yang berada tidak jauh dari lokasi kecelakaan dengan cepat membawa Leo ke rumah sakit.

Di rumah sakit air mata dan suara tangis Laren pun tak terbendung, dengan detak jantung dan napas yang tak beraturan melihat Leo yang terbaring diselimuti darah di dalam ruangan UGD, kini Laren hanya bisa berdoa untuk keselamatan Leo.

"Pa, Leo pa!". Tangis Laren di pelukan Marvin, sedang Marvin tidak bisa berkata apa pun, hanya membelai rambut istrinya agar sedikit lebih tenang, dalam hatinya dia pun tak kuasa menahan sedih.

Setelah menunggu beberapa jam dokter yang menangani Leo keluar, Laren yang masih histeris dengan air mata berjatuhan tanpa hentinya, mendekati dokter sambil memegang tangan sang dongter yang juga terlihat murung.

"Dokter bagaimana keadaan anak saya?" Laren dengan sendu meraih tangan dokter yang baru keluar dari ruang pemeriksaan, sesaat Dokter itu hanya terdiam dengan wajah masam.

"Leo mendapatkan luka serius di kepalanya dan pendarahan yang luar biasa, untuk saat ini kami sedang berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawanya". Ucapnya lalu menepuk lengan Laren beberapa kali, memberi tanda untuk bersabar.

Laren yang mendengar itu langsung memucat, kakinya mati rasa dan melunak, seketika ia roboh terduduk dengan tangisan histeris.

Marvin segera memeluk istrinya yang sudah duduk berlutut, menangis histeris di lantai, mengangkat tubuh Laren dengan putus asa.

"Ma, Leo pasti baik-baik saja, dia adalah anak yang kuat, dia pasti bisa melewatinya, kita tidak boleh terlihat sedih dihadapannya". Marvin berkata dengan lemas, coba menenangkan dan menguatkan pelukannya kepada Laren.

Keesokan harinya dokter memanggil Marvin dan menuturkan perihal keadaan Leo, "Nyawa anak bapak sudah tidak dalam bahaya, Namun luka di kepalanya sangat dalam, kemungkinan untuk sementara waktu Leo tidak akan mengenali semua orang dan mengalami penurunan mental". Ucap dokter dengan wajah murung dan penuh rasa bersalah.

"Kami akan berusaha yang terbaik, kita berdoa saja, semoga anak bapak mendapat keajaiban dari yang kuasa". Sambung dokter penuh harap.

Mendengar kondisi Leo, Marvin pun tak mampu berkata apa pun, anak yang menjadi harapan dan kebanggaannya kini tak mampu dia bayangkan akan menjadi seperti apa.

"Penurunan mental?!" Mata Marvin terbuka lebar dnegan tubuh yang mematung.

avataravatar
Next chapter