13 Topik Tentang Gilbert

"Perusahaan kita akan menghadapi krisis besar," pungkas Nathaniel dingin, ucapannya bak mengandung misteri yang membuat tiga rekannya terdiam seketika dan menatap tak mengerti. "Apa ... Maksudmu?" Tony bertanya. Baik Tony, Willy dan Margaret tidak melihat gurat candaan di balik pernyataan barusan. Apalagi mengingat Nathaniel bukan tipe manusia yang lihai melucu.

"Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kalian bekerja bersama pamanku?" tanya Lua tiba-tiba begitu polos, seakan menengahi keheningan suasana meja. Menatap para rekan pamannya sambil memegang milkshake. "Coba tebak," ajak Willy menyeringai lebar, dan membuat mata Lua menatap intens pada pria periang di hadapannya ini. "Lima tahun?" ragu Lua.

"Benar!!!" sorak Willy heboh. "Kalau aku?" tunjuk Margaret kepada dirinya sendiri. "Lima tahun juga?" Lua tidak begitu yakin saat memperkirakan angkanya. "Kenapa jawabanmu tepat?" Keheranan Margaret dituturkan penuh tanya. "Aku hanya asal menebak saja," kata Lua meringis.

"Nah, coba kau tebak dua pria judes itu," arah Willy dengan lengan melipat di bawah dada. Kemudian diperhatikannya Tony dan Nathaniel dengan sedikit lama oleh netra biru Lua. "Aku tidak bisa menebaknya, tetapi aku merasa, mereka lebih senior dari kalian," ucapnya memegang dagu.

"Kau benar jika mengenai umur. Nathaniel dan Tony lebih tua dariku, begitu pun dengan Margaret. Tetapi kalau persoalan bekerja satu tim dengan Gilbert, mereka juniorku." Dengan wajah bangga Willy berkata demikian.

"Hey, kita hanya beda empat bulan lebih lama bergabungnya!" protes Nathaniel tidak suka dianggap junior dari Willy yang notabene rekan seperjuangan. Mata Lua memperhatikan interaksi keduanya lantas berkomentar. "Kulihat, sepertinya kau tidak menyukai Willy..."

"Jelas! Orang ini sembrono dan menyebalkan!" Jari telunjuk Nathaniel pun menunjuk ke depan hidung Willy dengan sengit. Bahkan dahinya sempat berkedut kesal. "Tapi, Henry lebih senior di banding kita di sini," kata Margaret mengingatkan mereka pada sosok dingin si Henry. Seketika saja wajah iris ekspresi Henry dengan kekejaman di balik sikap diam-diam menghanyutkan itu terbayang di benak mereka. Willy sampai bergidik ngeri, meringis kala teringat kembali ancamannya sewaktu perjalanan di Denmark.

"Kami semua rekan sejawat sejak kecil. Aku baru bergabung dengan perusahaan ini di usia tujuh belas tahun, sedangkan mereka di usia lima belas tahunan. Dengan kata lain, aku lebih junior di antara tim ini," ungkap Margaret. Masih remaja... Lua berpikir ini kurang masuk akal. Yang dia tahu, masa remaja itu masa yang sibuk sebagai anak sekolahan dan tugas-tugas rumah lainnya, lantas bagaimana bisa mereka bekerja di perusahaan besar ini? Bukankah terlalu muda untuk dikatakan sebagai pegawai tetap di perusahaan Matrix?

"Sebenarnya Matrix Corporation itu apa?" bingung Lua.

"Karena kau adalah ponakan Gilbert, maka kami akan memberitahumu," balas Margaret. "Matrix adalah perusahaan yang bergerak di bidang teknologi dan konstruksi. Satu-satunya perusahaan yang paling berjasa dalam pemberian pajak negara. Seperti itulah yang diketahui oleh publik."

"Kami memiliki pekerjaan ilegal. Kau tahu, menjual senjata dan pelabuhan di Canary Wharf adalah milik perusahaan. Semua karyawan di bar ini dikelola oleh orang Matrix."

"Sebagian dari kami adalah orang yang tidak memiliki keluarga, yatim piatu, anak jalanan, yang mencari kesejahteraan. Bos kami sangat berjasa dalam hidup kami.

"Menurutmu bagaimana Gilbert di matamu?" Margaret bertanya penasaran. Langsung membuat Lua menjadi pusat tatapan mereka.

***

Ruangan teknisi berada di bawah tanah.  Berbagai jenis mesin-mesin robot beserta kecanggihan teknologinya mendominasi pandangan. Kedatangan mereka yang terlihat melalui layar CCTV membuat gadis berkacamata bulat besar yang duduk berjaga itu sontak bangkit. Dia berjalan tergesa ke luar ruangan sempit ini. Tepat di bawah sana netra cokelatnya dibalik lensa, secara nyata melihat Gilbert.

"Astaga, Gilbert!" pekiknya terkejut. Merasa namanya dipanggil, Gilbert menolehkan wajah. Gadis berpenampilan nerd yang diketahui bernama Emilia itu bergegas menuruni anak tangga besi. Langkahnya tampak terburu-buru hingga ia berhenti di hadapan Gilbert.

"Lama tak berjumpa. Aku tak menyangka akan melihatmu di sini. Tumben sekali. Apa ada yang kau butuhkan?" tanya Emilia ramah.

"Wah, Emilia. Kau mendapat rekan baru." Gilbert berpaling pada Miki. "Dia baru saja direkrut oleh bos."

"Namaku Miki Hallinois." Sedatar papan ekspresi Miki saat memperkenalkan diri. Emilia menatapnya dengan pandangan menilai. Tinggi mereka nyaris sejajar, sekitar dua atau tiga senti pria itu lebih tinggi darinya, dengan rambut berponi cokelat muda dan wajah berfitur datar. Emilia menebak jika usia Miki lebih muda di bawah dirinya. "Aku Emilia Spear. Kita menjadi rekan setim sekarang," sambut Emilia.

"Baiklah, aku sudah mengantarkan rekanmu. Aku pergi," kata Gilbert. Kontan saja gadis berkucir dua itu mengerjap kaget. "Eh??! Hanya itu saja?" pekik Emilia, merasa agak kecewa kepada Gilbert yang akan langsung pergi. "Kenapa, Emilia?" tanya Gilbert tidak mengerti. "Tidak jadi. Kupikir aku hanya akan mengganggu pekerjaanmu. Pergi lah," ucap Emilia sambil menggeleng pelan dan menelan semua kata-kata yang ingin disampaikannya. Terlalu malu untuk diucapkan secara langsung pada pria itu hingga tidak menyadari pipinya yang memerah menjadi atensi Miki.

Mata Miki memicing aneh ke samping selagi Gilbert berjalan keluar. Meski warna merah muda itu terlukis samar di pipi putih Emilia, Miki masih dapat melihatnya dengan jelas. "Apa kau menyukai orang itu?" celetuk Miki.

***

avataravatar
Next chapter