9 Tawaran Gilbert

***

Apa yang diperintahkan Gilbert segera Henry lakukan. Seperti sekarang dia menghubungi Margaret yang ditugaskan untuk menjaga Lua selama mereka terpisah. Namun, setelah dia menanyakan tentang Lua, Henry tidak mendengar suara lagi dari seberang sambungan. "Margaret, kau mendengarku kan?" tanya Henry heran.

Sementara di lain tempat itu Margaret tersentak. "Ah iya. Aku dengar kok," jawab Margaret gugup. "Jadi, bagaimana? Apa ada masalah?" tanya Henry lagi. "Mm, begini, maafkan aku sebelumnya. Lua dibawa seorang buronan polisi dan menjadi sandera. Saat ini aku sedang melacak lokasinya, tolong jangan katakan pada Gilbert sampai aku menemukan gadis itu." Margaret menjelaskan sedikit tergesa mendorong benaknya jadi gelisah.

"Apa maksudmu tidak mengatakan hal ini kepadaku?"

Deg!

Bukan suara Henry yang terdengar di telinga Margaret. Dia sontak membeku di tempat. Keringat dingin mulai bercucuran dari pori-pori tubuhnya. Oh sial, dia belum siap menerima hukuman dari pria itu. "Gil...." panggil Margaret gugup. Rasa-rasanya tenggorokannya mendadak kering. "Bukankah kau ada pertemuan dengan klien?" Mencoba membuat Gilbert mengalihkan sejenak topik utama mereka.

"Ya, dan baru saja klien itu pergi," jawab Gilbert. "Aku sudah menjawab pertanyaanmu. Sekarang jelaskan kepadaku apa yang terjadi pada Lua?" Suara tegas Gilbert semakin menyudutkan Margaret. "Mm, itu... Itu..." gagap Margaret. Kesulitan menjelaskan kebenarannya pada Gilbert. Sampai akhirnya Margaret menghela napas berat sebelum berkata. "Lua diculik." Dua kata itu berdampak terhadap reaksi Gilbert di lokasi lain. Kelopak mata pria itu terbuka lebar, benaknya tertegun seakan berhenti bernapas. Diam-diam Margaret memejamkan mata takut-takut menunggu respon lelaki itu. Mempersiapkan telinganya yang mungkin segera disemprot.

"Dimana lokasi kalian terkahir bersama?" tanya Gilbert.

Bola mata hazel Margaret memindai jangkauan pandang ke sekeliling seraya memegang ponsel. "Aku tidak tahu nama jalan ini, tetapi aku melihat ada kasino besar di ujung jalan. Nama kasino itu adalah Ergian," ungkapnya.

"Baiklah. Aku akan menjemputnya," kata Gilbert bernada tenang sehingga Margaret terhenyak heran. Pasalnya apa yang sedang dia bayangkan rupanya tidak terjadi. Helaan napas lega pun diembuskan perlahan dari celah bibir Margaret. Selanjutnya, sambungan telepon mereka diputus oleh pihak seberang.

Masih di dalam kamar hotel, Gilbert berbalik dari arah jendela untuk menatap Henry. "Henry, lacak kamera keamanan sekitar jalan Elmoine!" perintahnya mutlak. Kemudian dengan cekatan Henry mengoperasikan laptopnya. Jemari panjang milik pria itu bergerak gesit di atas keyboard. "Gilbert, ada apa?" Tony yang sedari tadi menonton dan tidak tahu apa-apa akhirnya bertanya. "Seseorang menyandera Lua," balas Gilbert.

"Apa?! Oh nona manis yang malang~" timpal Willy dengan nada sedih.

"Aku menemukannya!" seru Henry yang membuat tiga pria itu merapatkan pandangan ke layar laptop. Tampak menampilkan rekaman CCTV di mana Lua ditolongkan pistol sampai gadis itu diseret masuk ke dalam mobil. "Kita tinggal melacak plat mobil yang membawa Lua," gumam Nathaniel. Kemudian layar berganti ke tampilan lain saat Henry sedang melacak plat mobil sampai muncul tampilan persis seperti peta kota. "Ketemu," ujar Gilbert menyeringai jahat.

***

Sejak bibirnya ditutup lakban, Lua hanya diam memperhatikan pria asing itu yang sedang duduk menenggak alkohol. Meja persegi panjang di sisi ruangan itu kelihatan dipenuhi beragam peralatan mesin. Bahkan Lua melihat ada sebuah benda tiga tabung yang mirip sekali dengan bom ukuran kecil. Siapa sebenarnya pria itu? Apa dia teroris? Bermacam spekulasi menghantui kepala Lua.

Lagi, pria itu menuangkan botol alkoholnya ke dalam gelas kaca. Kemudian mengamati sayu isi gelas kaca yang diangkat sejajar dengan wajah. "Kau telah menjebakku, dan aku berjanji akan memenggal kepalamu," tekannya lantas meneguk kembali, merasakan cairan memabukan itu menggelinding ke dalam tenggorokannya.

"Aku berada dipihakmu." Suara seseorang tiba-tiba terdengar seolah menyahuti racauan pria itu. Seketika membuat mereka tersentak. Jika pria asing itu sempat terkaget melihat seorang pria sudah berdiri di pintu dan kini kembali bersikap santai, berbeda dengan Lua yang terkuak ekspresinya mengetahui Gilbert di sana. "Mmmh!" erang Lua kepada pria tampan yang tak bukan adalah pamannya.

"Apa kau polisi?" tanya pria itu berjalan mendekati Gilbert. "Bukan," jawab Gilbert santai. "Miki Hallinois. Mantan karyawan salah satu pabrik mainan di Denmark. Dipecat secara tidak terhormat karena kasus pembunuhan direktur perusahaan tempatmu bekerja." Gilbert melangkah mendekat dengan seringai penuh percaya diri, dan membuat pria yang diketahui bernama Miki melangkah mundur. "Tidak punya sanak saudara sejak ayah meninggal dan menjadi hidup sebatang kara. Pula tidak punya kekayaan yang cukup untuk meninggalkan negara ini karena ditipu. Keturunan Jepang pada darah mendiang ibumu. Kalau kau sampai tertangkap polisi, habis lah hidupmu dalam kesepian tanpa keluarga membesuk. Dunia ini memang tidak adil bagi manusia lemah. Kau akan membusuk di penjara tanpa kesalahan yang kau perbuat, sedangkan pelaku bebas berkeliaran di luar sana sambil tertawa di atas penderitaanmu."

Wajah tercengang Miki menghiasi pandangan Gilbert. Dalam perjalanannya menuju lokasi, Gilbert menyempatkan diri mencari tahu latar belakang sang pelaku tersebut dengan pelayan AI miliknya.

"Apa maumu?" tantang Miki tersudut. "Aku ingin merekrutmu menjadi bagian dari perusahaan kami. Bagaimana?" tawar Gilbert. "Memangnya apa yang bisa kulakukan pada perusahaan kalian? Jadi cleaning servis?" kata Miki. Namun, Gilbert menggeleng pelan. "Aku melihat potensi pada dirimu sebagai perakit senjata. Kau bahkan memiliki ciptaan senjata versi dirimu sendiri. Jika kau bergabung bersamaku, polisi takan bisa mengejarmu lagi. Itu artinya kau akan terbebas sebagai buronan. Namamu bersih dari daftar perburuan anjing," pungkas Gilbert. Satu sudut bibirnya terus naik dengan tatapan kian mengintimidasi Miki.

Perkataan itu terdengar menguntungkan bagi Miki. Dia berpikir sejenak sambil menimbang apakah pria di hadapannya ini meyakinkan atau justru ada tujuan terselubung. Miki tidak ingin tertipu seperti ayahnya sampai bangkrut. Oh sekarang pun dia tidak punya harta berharga. Menjadi budak tanpa dibayar sampai mati kelelahan bukan kemungkinan yang takan terjadi di dunia gelap. Atau dia akan berakhir di pasar organ manusia. "Apa jaminanmu?" tanya Miki masih meragukan Gilbert. Bagaimana pun dia mengharapkan kehidupan damai.

"Tempat tinggal yang layak, nominal gaji yang bisa membuatmu membeli mobil, keamanan hidup, tugasmu juga tidak menggunakan otot, kau bisa pergi ke klub malam tiap akhir pekan," jawab Gilbert. Seakan-akan menggoda keraguan Miki untuk memantapkan pilihan yang sudah terbayang di depan mata. Orang mana yang tidak akan goyah saat berada di posisi Miki?

Gilbert menarik napas dalam seolah mengerti isi pikiran Miki, dia kemudian berkata. "Katakan saja, berapa yang kau inginkan? Segera aku transfer saat ini juga di depan matamu," tegas Gilbert. Meyakinkan Miki. Kebisuan masih menahan lidah Miki untuk bergerak selama pikiran berotasi terhadap probabilitas. Dia sangat berhati-hati berdasarkan pengalaman. "10.000 dolar kirimkan ke rekeningku," ucap Miki.

"Baiklah," sahut Gilbert, mengeluarkan ponsel dari saku dalam mantel hitamnya. Kurang dari satu menit, ponsel Miki menunjukan notifikasi. Lelaki blasteran itu langsung mengeceknya dengan cermat hingga bibir terbuka sedikit dan sepasang matanya berkedip dua kali membaca ulang tulisan di layar ponsel ini. "Bagaimana?" kata Gilbert menaikkan dagu congkak dengan kedua tangan di dalam saku celana.

***

avataravatar
Next chapter