5 Perlakuan Manis Gilbert

***

Berlari. Di bawah permadani hitam sang langit, langkah-langkah sepatu itu terus berlari sekuat tenaga, seringan angin gerakannya saat melompati pagar rendah. Kemudian dia berlari memasuki kawasan pasar seafood yang masih sedikit ramai lengang, lalu menyingkirkan tumpukan kardus sampai box ikan ke jalan agar para pengejar terhambat, akibatnya puluhan ikan berserakan ke tanah, dan kemudian dia berbelok ke deretan pertokoan tutup.

Sementara di belakangnya terlihat salah satu aparat keamanan terjungkal ke tanah akibat bertubrukan dengan pedagang dari lain arah sehingga membuat barang dagangan tersebut berserakan. Akan tetapi satu rekannya melanjutkan pengejaran pada sosok berjaket hitam. Dia mengikuti ke arah terduga pelaku berlari. Namun, baru setengah berlari di perkomplekan toko, matanya menyapu ke sekitar yang tampak sepi dengan penerangan remang-remang, mencari ke arah mana dia harus mengejar kala merasa kehilangan jejak. Akhirnya, polisi itu memutuskan untuk memacu kakinya lagi ke arah kiri.

Tepat di antara himpitan dinding toko yang gelap, sosok berjaket hitam dengan tudung kepala menutupi separuh wajah itu merapatkan diri sambil mengamati situasi di luar. Baru lah ketika melihat polisi itu berlari menjauh dari tempatnya bersembunyi, dengan gerakan senyap dia lenyap di dalam kegelapan.

***

Suasana makan malam di kapal berlangsung seperti biasanya dengan diwarnai perdebatan Willy dan Tony. Kedua pria berbeda karakter itu seakan sulit untuk akur. Yang satu suka mengoceh dan yang satunya lagi keras kepala. Topik sesederhana apa pun selalu mereka perdebatkan. Kali ini yang mereka bahas adalah ayam dan telur. "Ayam muncul sendiri! Lalu hamilnya ayam berupa telur!" Bermula dari gumaman Nathaniel yang mensyukuri rasa nikmat telur rebus di piringnya. Kini Nathaniel maupun rekannya yang lain termasuk Lua nampak begitu tenang menikmati hidangan mereka seolah tidak memedulikan ocehan kedua pria yang duduk diujung. Mereka sama-sama keras kepala.

"Tolong hiraukan saja orang-orang idiot itu nona Lua," bisik Margaret. Wanita bersurai curly itu duduk di seberang Lua. Lua hanya meringis menanggapinya. Ia tepat di kiri Gilbert. Aneka menu makan malam mewah telah menghiasi meja makan serta delapan kursi.

"Di sini ada makanan kesukaan Parker. Tapi sayang sekali wanita itu tidak ikut dengan kita," monolog Nathaniel sambil terpaku menatap sosis bakar pada tusukan garpunya.

"Ya mau bagaimana lagi kalau bos sudah menugaskannya di tempat lain." Margaret menimpali. Tersisa satu kursi kosong di antara mereka.

"Oh ya, kenapa kau membawa ponakanmu dalam perjalanan yang berbahaya? Kau tahu resikonya bukan?" tanya Tony sebelum memasukan salad ke dalam mulutnya.

"Dia tidak punya sanak saudara lagi di sana setelah kematian ayahnya baru sekali. Oleh sebab itu aku membawanya bersamaku. Akan jauh lebih berbahaya kalau dia tinggal sendirian di negeri orang," papar Gilbert. "Oh, Henry, aku perlu melihat data-data itu untuk mengecek apakah orang yang membunuh ayah Lua ada dalam daftar itu atau tidak."

Pada akhirnya seusai makan malam, Gilbert sudah duduk di depan laptop. Margaret datang membawa dua cangkir teh hangat, lalu ikut duduk seraya menyilangkan kaki jenjangnya yang terekspos mulus. Sejenak ia menyesap tehnya dengan sikap elegan. "Apa yang kau lihat?" tanya wanita itu kemudian.

"Data pembunuh bayaran," ujar Gilbert, dan Margaret mendorong kursi berodanya mendekat untuk dapat melihat layar laptop tersebut dengan lebih jelas. Dapat ia lihat wajah oriental terpampang di sana. Margaret kembali mengangkat cangkir tehnya. "Kusarankan untuk tidak membawa keluar gadis itu." Ia berkata sebelum menempelkan garis cangkir ke bibirnya.

"Bagaimana Lua?" tanya pria itu. Ia meraih cangkir teh dan meminumnya singkat. "Sudah kuantarkan ke kamarnya. Dia tampak murung. Lebih baik kau temui dia."

"Itu niatku." Gilbert berdiri, meninggalkan Margaret sendirian dengan layar laptop yang masih menyala. Dia kemudian menghela napas dan mencoba memeriksa lagi data diri para pembunuh bayaran. Terlihat lima gambar wajah pria yang diberi tanda silang lengkap dengan biodata. Margaret tahu ke lima pria itu merupakan pembunuh bayaran kelas atas dan menjadi buronan yang sulit ditangkap polisi. Namun, hebatnya Gilbert mampu menewaskan mereka di setiap taktik yang tersusun di dalam otak cerdasnya dalam kurun waktu setengah tahun. Dan hal tersebut membuat Margaret terkagum-kagum. Mendadak ia menyadari ada kejanggalan, Margaret menelengkan kepala. "Apakah itu artinya secara tidak langsung kami membantu pekerjaan polisi?" Ia mendengus. "Astaga."

Setelah diantarkan ke kamar barunya, Lua tidak bisa langsung tidur. Ia kini memandang ke luar jendela kamar beberapa saat lamanya. Tidak ada apa-apa selain gelapnya laut lepas di luar yang terlihat mengerikan. Pantulan dari jendela tiba-tiba memperlihatkan pintu di belakang terbuka perlahan disusul sosok Gilbert masuk ke dalam. Lua masih mematung dengan wajah datar.

"Kau belum tidur? Ini sudah larut," kata Gilbert. Lua tidak membalas. Ia masih terpaku menatap jendela. "Bagaimana makan malammu tadi?" tanya Gilbert, berdiri di samping Lua. "Cukup enak," jawab Lua singkat. Ia masih memandang lurus, tapi kemudian pandangannya menunduk sendu. Gilbert yang menyadari itu menoleh khawatir. "Ada apa? Apa ada yang sakit?"

Lua menggeleng. Rambut panjangnya yang jatuh menghalau sisi wajah. Namun Gilbert segera mengerti bahwa gadis ini masih diselimuti duka atas kematian ayahnya. Ia lantas membawa bahu Lua ke dalam pelukan hangatnya. Dan lengan kurus Lua terangkat untuk balas melingkari tubuh yang terasa keras dan bidang ini. Ia tidak menangis, wajahnya tampak menyendu tenang bersandar di dada berotot Gilbert.

Pria itu berbisik. "Lua, mulai sekarang kau harus membiasakan dirimu dengan suara baku tembak. Namun, aku tidak akan membiarkanmu terluka."

"Bagaimana cara paman melindungiku?" Luar mendongak. Gilbert menunduk dan merasa berempati melihat wajah sayu nan lemah milik ponakannya ini.

"Apa kau mau Margaret menjadi bodyguard-mu?" tanyanya lembut. Lalu memeluk Lua lagi seraya melanjutkan. "Aku bisa meminta salah satu dari mereka untuk menemanimu." Ada jeda keheningan di ruang kamar Lua. "Itu, terserah paman saja. Aku tidak masalah bahkan jika harus ditemani Tony yang membenciku," lirih Lua dan Gilbert tergelak. "Watak Tony memang seperti itu."

Lua terlihat nyaman di dalam pelukan sang paman berparas menawan. "Paman ... bolehkah malam ini aku tidur bersamamu?" pinta Lua.

"Baiklah. Ayo kita tidur."

Gilbert menggendong tubuh ramping Lua ala pengantin. Ia membawanya mendekati ranjang tipe single lalu membaringkannya perlahan. Gilbert menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka sebelum terlelap sambil memeluk Lua posesif. Ia mengecup puncak kepala gadis dalam dekapannya berulang kali seraya mengelus-elus surai Lua. Sementara gadis itu semakin melesakkan kepalanya mencari posisi nyaman di dada Gilbert. "Tidur lah. Matahari menunggu kita esok hari," gumam suara berat pria itu.

***

avataravatar
Next chapter