7 Penyanderaan

Beralih di dalam kapal, ketukan tiga kali di pintu yang kemudian pintu tersebut dibuka dari dalam, segera memunculkan wajah Lua. "Oh, paman, masuklah," ujarnya membuka pintu lebih lebar. Mendapat izin, Gilbert melangkah masuk. "Lua, kapal kita sudah sampai di pelabuhan. Kita singgah sejenak di sini sampai siang hari kemudian ke bandara," jelas Gilbert.

Lua berbalik. "Baiklah," balasnya. Gilbert menatapnya beberapa saat sebelum bertanya. "Apa kau tidak takut atas kejadian kemarin?"

"Bukankah aku harus membiasakan diri?" bela Lua. Bersemringah. Meyakinkan pria itu bahwa dia siap akan resikonya nanti.

"Ya kau benar," kata Gilbert. "Termasuk membiasakan tanganku memegang senjata, benar begitu paman?" Perkataan Lua mengejutkan pria itu. Mata Gilbert mengerjap dua kali lalu mendengus tersenyum tipis. "Apa kau tidak takut hidupmu akan berubah, Lua?"

"Hidupku berubah sejak ibu meninggal." Tapi Gilbert menggeleng pelan merespon ucapan itu. "Tidak, Lua. Hidupmu tidak akan berubah jika kau tidak membunuh seorang pun," kata Gilbert meluruskan.

"Serahkan saja urusan pelaku itu padaku," kata Gilbert memberi bantuan.

"Aku merasa, aku harus menangkapnya sendiri. Maka, paman, izinkan aku turut serta dalam perjalanan berbahayamu. Dan juga," Lua melirik ke mantel hitam pamannya di bagian pinggang, merasa percaya jika di balik mantel hitam itu sudah tersimpan sebuah pistol, kemudian melanjutkan. "Ajarkan aku menggunakan senjata." Kalimat Lua nyatanya tidak berbanding lurus dengan reaksi tubuh gadis itu. Karena mata jeli Gilbert bisa menangkap adanya getaran takut pada jemari Lua di sisi tubuh yang diam-diam disembunyikan di balik sikap ketegaran tekadnya.

"Aku tidak mengizinkanmu," tolak Gilbert serius. Seserius sorot matanya yang juga menyimpan kekhawatiran. "Kau tidak perlu repot-repot mengangkat senjata. Aku hanya mengizinkanmu untuk membunuh pelaku pembunuhan ibumu saja," tutur Gilbert kemudian berbalik. Saat tangannya memegang kenop pintu, ia berkata mutlak sambil memunggungi Lua. "Sisanya, percayakan pada pamanmu ini." Kemudian pintu menelan sosoknya.

***

Langit cerah membentang di atas kota Aalborg. Sebuah kota terbesar ke-empat di mana daerah asal Viking berada. Keramaian pejalan kakinya cukup memadati kawasan komersil, dan di antara beragam orang, pria berjaket hitam itu berjalan menunduk dengan topi menghalau pandangan. Tetapi tatapannya bergerak awas ke sekitar melalui sudut mata hingga singgungan badan orang lain membuat tubuh kurusnya terhuyung seketika dengan topi melayang sebelum jatuh bersama bokongnya ke permukaan beraspal. Secara langsung pun penyamaran jadi tersingkap, kontan saja mata pria itu membelalak kaget.

Pria misterius itu tanpa ancang-ancang sontak beringsut untuk lari ketika wajah polisi terlihat dalam pandangannya sedang berkeliaran. Pada saat yang sama polisi yang mengejarnya kemarin melihat gerakan cepat pria itu sehingga segera mengikuti insting sebagai polisi berpengalaman: yakin kalau pria itu adalah buronan yang mereka cari walau hanya terlihat sekilas dari jarak sedikit jauh. Lalu polisi itu menginfokan kepada rekan melalui walkie talkie.

Di lain lokasi, begitu tiba di kota, tim pedagang senjata dari Matrix yang mereka namakan Blue Ocean, sang paman berserta ketiga lelaki lain memisahkan diri tanpa Lua sadari sehingga tinggal lah bersama Margaret menemaninya jalan-jalan. "Waah! Lihatlah jam tangan ini!" pekik Margaret terpana menatap jam tangan pria di dalam etalase toko. Lua meliriknya yang seketika teringat pada Gilbert. Kemana pria itu? Lua celingukan ke sekitar, tetapi tidak menemukan eksistensi sang paman di antara kerumunan orang pejalan kaki.

"Margaret! Paman hilang?!" kagetnya. "Nona Lua, apa menurutmu aku beli saja jam tangan itu? Aku ingin sekali memberikannya untuk Gilbert," ujar wanita bersurai curly tersebut tanpa mengalihkan tatapan berbinarnya pada jam tangan bergelang perak di dalam kaca, mengabaikan perkataan Lua yang terkejut.

"Margaret, pergi kemana para lelaki itu?" tanya Lua sekali lagi sambil menyapu sekeliling yang ramai. "Tenang saja, mereka tidak hilang seperti anak mamah," balas Margaret, kali ini sembari memeriksa isi dompetnya untuk mempertimbangkan jumlah uang di kartu kredit. "Lalu kemana mereka pergi?" Lua belum puas bertanya. "Bertemu dengan klien," jawab Margaret sekenanya, kemudian telunjuknya mengetuk kartu kredit ke-tiga. Dia merasa masih memiliki sisa yang cukup untuk membeli satu jam tangan indah itu.

"Ayo masuk ke toko, aku mau beli jam tangan ini," ajak Margaret. Akan tetapi Lua bergeming ketika wanita itu beranjak ke dalam toko lebih dulu. Ketika itu dia merasakan tubuhnya terhuyung ke depan sebelum cengkraman kuat menahan pergerakannya. Semua terjadi begitu cepat saat lengan seseorang mendekap tubuhnya dari belakang.

Lua pikir dia tidak akan merasa takut pada sesuatu yang berbahaya, contoh kecilnya saja menjadi korban sandera. Ternyata pemikiran tersebut hanya lah sugestinya semata. Pada faktanya diam-diam tubuh gemetar ketakutan dibalik sikap tegang ketika moncong pistol mengarah ke kepalanya oleh seorang pria yang sempat menabraknya beberapa detik lalu. "Kalau kalian mendekat, akan kutembak kepala ini!" ancamannya.

avataravatar
Next chapter