6 Menuju Denmark

***

"Apa kau percaya dia punya ponakan secantik itu?" celetuk Willy. Ia menghisap cerutu dan angin malam melenyapkan asap tipis dari celah bibirnya. "Memangnya kenapa? Kau mau menjadikannya pacar?" timpal Tony.

"Dia cantik sekali tahu! Seperti puteri bangsawan. Bagaimana aku tidak terpesona?" Willy membayangkan kembali sosok Lua yang begitu menarik di matanya. "Dasar fuckboy! Aldhen masih lebih baik," sindir Tony sinis.

"Pria rambut panjang itu selalu sensitif seperti wanita ya." Willy balik membalas sebuah fakta.

"Mungkin memang benar dia ponakannya. Aku pernah mendengar kalau Gilbert punya saudara perempuan yang sudah lama terpisah. Dan kemungkinan gadis itu lah saudara yang dimaksud." Nathaniel menambahkan dengan santai. Ke tiga pria itu sedang berkumpul di dek kapal. Jika Willy asik menghisap cerutunya sambil bersandar pada pagar pembatas balkon, Tony memandang laut di tepi dek, maka Nathaniel duduk di tangga pendek sembari mengelus anjing puddle hitam milik Margaret di mana wanita itu tampak sudah tidur dengan damai di kamarnya. Kapal mereka berlayar menuju arah barat, semakin menembus bentangan samudera luas yang gelap di kejauhan sana.

"Ngomong-ngomong, aku tidak melihat adanya perbedaan di antara Willy dan tuan muda Aldhen," singgung Nathaniel datar. Tony langsung menoleh seakan tidak terima akan pernyataan rekannya itu terhadap Aldhen. "Tidak, mereka individu yang berbeda!" sergahnya membela. "Willy itu mengencani semua wanita yang dilihatnya dalam sehari. Sedangkan Aldhen meskipun ia suka wanita cantik, tapi dia tidak pernah tidur dengan wanita!"

"Oya? Kenapa kau tahu?" heran Nathaniel, sementara Willy mendengus geli.

"Ini intuisi seorang pria berambut panjang," tandasnya mutlak dengan dahi mengerut kesal.

"Oh ya, apa Henry sudah tidur?" tanya Nathaniel tiba-tiba.

"Tidak. Sebelum aku ke sini, dia sedang sibuk membuat laporan," kata Willy sebagai rekan sekamarnya.

***

Hari sudah terang ketika sepasang mata itu terbuka pelan. Ia beringsut bangun. Tidak menyadari penampilan yang berantakan dengan wajah bantal dan rambut acak-acakan, Lua membuka pintu untuk ke luar. Ia menengok ke kanan kiri dan mendapati keadaan di sekitar kelihatan sepi. Tapi belum sempat ia beranjak, suara pintu terbuka di lorong membuat Lua harus bersitatap dengan sosok misterius yang ia ketahui bernama Henry.

Pria itu muncul dibalik pintu dan terkejut sekilas melihat Lua yang mematung di pintu kamar. Wajah mulus tanpa cela itu tiba-tiba mengukir senyum. "Selamat pagi, Puteri Tidur," ucapnya dengan tatapan teduh. Lua tertegun.

Seketika dia menjadi kikuk. "Selamat pagi juga." Lua berusaha tersenyum manis, walau dia tidak yakin seperti apa ekspresinya sekarang di tengah gugup ini.

"Nona, kau tetap terlihat cantik meskipun baru bangun tidur," ucap suara pria dari lain arah yang membuat kepala Lua tersentak menoleh. Lua menemukan Willy di tengah lorong. Tapi sedetik setelahnya Lua buru-buru masuk lagi ke dalam kamar. Perkataan Willy membuatnya tersadar.

Lua menatap pantulan wajahnya di cermin kamar mandi. Rupanya ia terlihat seperti penyihir dengan rambut mengembang bak kapas dan wajah yang masih belekan. Teringat senyum manis Henry membuat Lua mendadak malu. Dia pasti terlihat konyol tadi.

Ini adalah hari ke dua ia berlayar. Dan ia belum bisa mengangkrabkan diri terutama pada Tony dan Nathaniel. Dua pria itu sama-sama dingin kepadanya. Lua jadi kesulitan beradaptasi dengan mereka.

Dobby, nama kapal mereka, sudah mulai mendekati pelabuhan Hvide Sande. "Klien kita kali ini kelompok mafia. Meski negara ini terbilang bebas dari senjata, kita harus tetap waspada di setiap situasi." Gilbert memimpin rapat paginya. Tidak perlu waktu lama dalam memaparkan rencana kepada mereka untuk misi kali ini di Denmark.

Willy berseru riang karena negara yang sangat ingin ia kunjungi akhirnya terwujud. Namun kesenangan pria pirang itu disambut kerutan masam dari Margaret. "Hey! Kita ke sini bukan untuk berlibur! Jadi persiapkan dirimu."

"Aaah! Kau ini jangan terlalu kaku nanti cepat keriput loh. Aku bahkan sudah bisa melihat garis halus di matamu," ejek Willy menyeringai jahil. Sementara Margaret mengangkat cermin di depan wajah dan mengamati bagian matanya. "Margaret, jangan dengarkan Willy, kau masih terlihat mulus meski usiamu mendekati kepala tiga. Jangankan kau, Gilbert saja masih tampak muda walau lebih tua darimu." Tony menimpali dengan santai sambil menyomot keripik kentang asin dalam kemasan di tangannya.

Pernyataan tersebut sontak membuat Margaret menggeram kesal pada Willy yang telah membodohinya. "Willy~!!!" Kekehan geli keluar dari mulut Willy yang sudah menjauhi jangkauan kemarahan Margaret. Sedang Nathaniel hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Sudah biasa telinganya mendengar kehebohan dari mereka berdua. Terkadang ia sendiri heran terhadap Willy yang suka sekali menjahili Margaret. Apakah karena pria itu butuh perhatian ataukah karena dia yang paling muda di antara anggota ini? Yah, kemungkinan yang ke-dua itu berpotensi lebih tinggi sebagai alasannya.

"Apakah karena wanita Denmark sangat menarik di matamu?" tegur Henry kalem, sembari mengelap pistolnya dengan penuh perhatian ketika Willy berdiri di sampingnya. "Wah! Aku salut padamu karena bisa menebak dengan tepat," kaget Willy membelalak riang. "Tapi, aku suka wanita yang nakal." Ia mengedipkan sebelah matanya dan Henry mendegus.

Sejujurnya Henry tidak terlalu peduli pada ocehan bocah Willy itu. "Tapi, jika kelakuanmu menghambat pekerjaanku, akan kutembak bijimu," pungkas Henry menipiskan bibirnya. Mendengarnya saja sudah membuat punggung Willy merinding disko. Wajah Willy muram seketika saat membayangkan benda kebanggaannya hilang. Dan Henry mengatakan itu dengan ekspresi kalem seperti biasa. Membuat Willy tidak bisa menebak apakah asisten Gilbert itu serius akan melakukannya atau hanya gertakan saja.

Akan tetapi kejadian yang pernah berlalu, ketika ia berada di night club bersama haremnya dengan Henry yang tiba-tiba datang membuat kegaduhan, masih terekam jelas di ingatan. "He-hey Henry, kau hanya bercanda kan?" Dibanding Tony yang selalu menjadi lawan debatnya, Henry lebih mengesalkan dengan sikap tenang yang tak terduga isi otaknya.

"Berhati-hati lah." Henry memperingatkan bersamaan dengan kapal mereka yang menepi di pelabuhan. Mereka bersiap untuk turun.

***

avataravatar
Next chapter