15 Kerjasama

***

"Paman, apa kau punya rencana untuk menemukan ayahku?" Pembicaraan mengenai informasi yang di dapat membuat mereka menghabiskan dua jam diskusi. Sedangkan malam semakin larut ketika mereka dalam perjalanan di mobil.

"Kau tidak perlu memikirkan hal ini. Serahkan saja semuanya pada paman."

"Tetapi, aku juga ingin membantu..." murung Lua, menunduk sedih.

"Kau mengerti apa yang dikatakan Henry? Hari senin kita pergi ke Argentina," kata Gilbert memperjelas tujuan mereka berikutnya. "Apakah besar kemungkinan kita akan bertemu orang itu?" tanya Lua sambil menoleh ke samping di mana pria itu sedang mengemudi. "Sangat besar peluang kita bertemu dengannya. Itu pun jika dia tidak absen ke acara itu." Ucapan Gilbert memberi sedikit harapan bagi Lua.

"Bagaimana dengan teman satu timmu? Apa mereka juga akan ikut serta?" tanya Lua. "Tentu saja. Mereka anggotaku. Kemana pun mereka pergi, di situ ada aku," jawab pria tampan itu. "Paman benar." Lua tersenyum senang. "Itu artinya mereka belum tahu urusanku ikut denganmu, ya?" Dugaan Lua segera diangguki Gilbert. "Ya. Aku belum menceritakan semuanya dari awal. Bagaimana menurutmu?" kata pria bermarga Hill.

"Mm, Menurutku tidak masalah jika mereka tahu tujuanku mencari ayah," balas Lua tidak berbanding lurus dengan pemikiran sang paman menawan di sisinya ini. "Sebenarnya, aku hanya tidak ingin mereka dibebankan oleh tugas pribadi dariku. Hanya Henry yang tahu hal ini," ucap Gilbert dengan tatapan fokus ke jalanan.

Akhirnya Lua menurunkan bahunya saat mendesau pasrah. "Aku tahu, aku belum diterima oleh mereka dengan baik," keluh Lua muram. "Perlahan saja. Ini juga karenaku yang tidak menceritakan tentangmu sebelumnya kepada mereka. Jadi mereka, sedikitnya masih merajuk padaku. Tapi kau jangan khawatir, mereka takkan berani menyakitimu." Gilbert berpaling sejenak untuk melempar senyum manisnya, lalu mengacak rambut sang ponakan cantik itu dengan gemas. "Ayo tersenyum!"

"Ah paman! Rambutku jadi berantakan!" protes Lua memajukan bibirnya sambil melihat ke atas alisnya. Dengan jahil sebelah tangan Gilbert berpindah turun dan mencubit pipi Lua. Gadis itu seketika memekik sebal. "Kau manis sekali seperti gulali. Paman jadi ingin menggigit pipimu tahu!" canda Gilbert diiringi tawa renyahnya.

***

Gery tidak bisa menerka apa yang ada di pikiran pria tua berjas mahal itu. Setelah dia mengatakan tentang Matrix, pria tua di hadapannya bereaksi tidak terduga. Karena sekarang Gery duduk berhadapan sambil bermain catur dengan pria tua itu.

Hanya meja persegi memisahkan jarak mereka. "Aku ingin mendengar ceritamu tentang Matrix," katanya memulai permainan sambil menggerakan satu bidak hitam dua langkah ke depan.

Gery pun menceritakan kronologinya mulai dari awal dia mengenal salah seorang executive hingga dirinya berakhir menjadi gelandangan akibat ditipu habis-habisan. "Sampai sekarang aku tidak bisa melepaskan mereka," geram Gery saat membayangkan orang-orang Matrix begitu kejam membantingnya ke tanah.

Senyum miring terukir di bibir keriput lelaki tua. Dia mendengarkan seksama cerita itu dan mendapatkan satu kesimpulan. "Mainlah, aku akan bicara seraya bermain," protes lawannya. Lantas, Gery menggerakan menteri ke depan.

"Aku tidak bisa mati dalam waktu dekat sebelum dendamku terbalaskan." Gery tidak mau mati dibunuh. Gelora dendamnya sangat panas di dalam dada.

Menit demi menit, satu per satu bidak catur lawan diambil, pria berjenggot itu berkata tenang. "Apa kau pun ga rencana untuk menghancurkan Matrix?" Pertanyaan tersebut bagai tombol pause bagi Gery. Karena pergerakan tangannya berhenti tiba-tiba sambil memegang bidak kuda yang hendak maju.

"Mereka bukan perusahaan kecil yang mudah digulingkan, lho" katanya lagi seolah-olah mengingatkan Gery pada satu fakta mustahil.

"Bagaimana caraku membalas mereka kalau kondisiku saja seperti ini." Gery kembali menggerakan budak caturnya.

"Aku bersedia membantumu." Lelaki tua itu memiliki tujuan terselubung, Gery meyakini asumsinya. "Aku tidak mengerti," balas Gery mencoba mengikuti alur si lelaki tua yang belum juga mengenalkan dirinya itu.

Seketika seringai tinggi terbentuk. "Aku berada dipihakmu," pungkas pria tua itu puas. "Dengan kata lain kau ingin kerjasama denganku? Untuk itulah kau menculikku dengan cara kampungan begini?" Sebelah alis Gery naik saat bicara demikian, seolah-olah merendahkan lelaki tua itu yang terlalu banyak basa-basi.

"Aku hanya melakukan sesuai status korbanku." Lelaki tua itu membalas santai sambil meletakan kuda dua langkah ke depan dan mengambil bidak milik Gery. Sementara Gery merasa geram di balik sikap tenangnya. "Begini kah sikapmu terhadap seseorang yang ingin kau mintai bantuan?" sungut Gery menahan kesal.

"Tenang lah. Aku akan mengerahkan seluruh timku untuk membantumu membalaskan dendam."

"Apa keuntungan yang kau peroleh dari membantuku?" Tentunya Gery percaya bahwa tidak ada makan siang gratis di dunia ini. "Aku memilikimu untuk bekerja di perusahaanku. Jangan khawatir, kau pasti akan kugaji. Sehingga dalam setahun kau bisa mempunyai rumah sendiri yang lebih layak. Kau masih punya seorang puteri, bukan?" Kalimat terakhirnya itu terdengar sensitif bagi Gery yang kontan wajahnya mengerutkan emosi. "Jangan sentuh puteriku!" marahnya.

"Aku takkan menyentuh keluargamu, kok!" Lelaki setengah abad lebih itu tersenyum. "Apa kau bisa dipercaya?" ragu Gery. "Tentu saja. Karena kita berada dipihak yang sama. Sejak dulu aku ingin menghancurkan Matrix," tekan lelaki tua itu.

"Aku akan pergi ke Argentina lusa. Di sana mungkin bisa bertemu anak buah Matrix, dan aku ingin menjalin kerjasama palsu dengan mereka," tambahnya memberitahu Gery. "Apakah sekarang kita menjadi rekan?" heran Gery tidak mudah percaya.

"Tentu saja." Dia tersenyum ramah. "Checkmate," tandas lelaki tua itu, puas memenangkan permainan catur mereka. Gery mendengus dan berkata dengan nada monolog. "Aku kalah, ya?" Raut wajahnya seakan kecewa menatap papan caturnya.

Kemudian lelaki tua yang belum juga mengenalkan namanya itu meraih tongkat dan berdiri. "Tunjukan dia ke tempat tidur yang nyaman," titahnya sambil menengok dari balik bahu kepada para bawahan. "Sampai kerjasama ini selesai, kau tidak kuizinkan pergi menemui keluargamu."

"Apa? Bagaimana dengan puteriku? Dia pasti akan cemas dan mencariku!" kaget Gery merasa tertipu. "Kau tidak perlu khawatir, puterimu sepertinya aman bersama seorang pria," sahutnya berwajah kaku. Menatap dingin ke bawah di mana Gery masih duduk mendongakkan kepalanya.

"Seorang pria?!" Pikiran Gery mendadak kacau. Segala perkiraan mengelilingi otaknya tanpa menemukan jalan lurus. Siapa? Pria macam apa dia? Apakah pacar Lua? Tapi seingat Gery, Lua tidak pernah mengenalkan seorang pemuda pun kepada dirinya.

"Tunggu, mau kemana kau?" tahan Gery kala menyadari lelaki tua itu beranjak pergi. "Aku belum tahu namamu," kata Gery yang secara tak langsung pun memintanya untuk memberitahukan nama.

"Panggil saja Theodas," katanya dingin, tanpa menoleh lagi dan kemudian melanjutkan langkah yang sempat tertunda.

***

IG: kastilrinata94

avataravatar