11 Kembali Ke Tanah Air

***

"Hey semuanya! Apa kalian bisa menebak, kemana kita selanjutnya?" teriak Willy.

"Apa kau sedang mencoba bermain tebak-tebakan huh?" sahut Tony. Rambut panjangnya berkibar indah ketika diterpa angin. Lalu, Nathaniel dengan tenang menjawab. "Akan kembali ke markas besar."

"Setelah setahun lebih kita berlayar di lautan," sambung Willy. Margaret dan Lua memandang mereka penuh tanya. Jika Lua terkejut mendengar penuturan Willy, lain hal dengan wanita bersurai curly cokelat itu. "Setahun? Bukannya setahun setengah?" timpal Margaret. Pada saat yang sama Gilbert keluar dari dalam kapal, berdiri di depan pintu dan mengatakan. "Kita akan putar arah dan kembali ke markas besar." Pengumuman Gilbert sontak disambut sorak hingga siulan Willy.

"Perintah bos, kan?" tanya Nathaniel. Gilbert mengangguk. Lalu berpaling kepada Miki yang masih di tangga. "Bos ingin bicara empat mata denganmu," ucap Gilbert.

***

Aroma antiseptik khas tercium indra penciuman Parker saat siuman dari pingsannya. Pandangan wanita itu memindai ke sekitar ruangan. Tidak ada eksistensi seorang pun selain dirinya yang berbaring di ranjang pasien dengan selang infus menempel di lengan kiri. Parker mencoba bangun perlahan.

Berpikir bahwa tidak seharusnya dia berada di tempat ini, dan karena teringat pada misi rahasia, membuat wanita itu beranjak turun sembari mencabut infus dari lengannya. Begitu kedua kakinya bergerak melangkah, rasa berdenyut itu mendera kepalanya. Sehingga Parker harus berpegangan pada benda terdekat sambil terus berjalan menuju pintu.

Ketika tiba di luar gedung rumah sakit, Parker seperti orang linglung yang tidak mengenali lingkungan sekeliling. Jelas saja, dia berada di negeri yang asing. Bingung harus ke mana, getaran ponsel di sakunya dengan sebuah pesan masuk seolah menjawab arah tujuan Parker saat membacanya. Pesan singkat itu berisi: tetaplah di sana. Aku ingin kau menyelidiki kasus di klinik itu dan mencari keberadaan tuan Gery.

Memasukkan gawai lagi ke dalam saku, lantas Parker meninggalkan rumah sakit.

***

Ramai. Melalui kaca jendela mobil sedang hitam, mata biru Lua berbinar layaknya sinar bintang saat merekam seluruh pemandangan historis kota London di matanya. Mulai dari bangunannya yang tinggi-tinggi, gedung-gedung perkantoran maupun deretan etalase toko hingga lalu lalang pejalan kaki dan kendaraan. Sudah lama sekali Lua tidak menginjakkan kaki di tanah airnya lagi. Dan dia melihat semua itu seperti baru pertama kali berada di London. Lua terpukau.

"Kau kembali, bukan?" kata Gilbert. Pria itu duduk tepat di sampingnya, sedangkan dua di kursi depan diisi oleh Margaret dan Henry yang mengemudi. Sisanya berada di mobil lain, tampak menyusul perlahan di belakang. Dengan bersemringah, Lua menoleh pada Gilbert. "Aku tak menyangka akan di London lagi! Aku senang sekali!" pekik Lua bersemangat, akan tetapi, sedetik kemudian raut mukanya termenung sedih sampai membuat Gilbert bertanya. "Kenapa?"

Lua mendongak. "Meskipun aku telah kembali di London, aku tidak memiliki rumah di sini. Ayah sudah menjualnya di agen real estate," lirih gadis manis itu. Pandangannya menurun sayu hingga dia merasakan beban di kepala kala telapak tangan besar itu bertengger di sana. Gilbert mengelus surai pirang emas ponakannya dengan tatapan yang sulit di artikan.

"Kau tidak perlu bersedih akan hal itu. Ingat, kau akan tinggal bersama paman," ucap Gilbert. Intonasinya lembut, hingga Margaret yang mendengar diam-diam di kursi depan pun merasa tercengang melirik dari kaca spion dalam, pasalnya, sejauh yang dia kenal sebagai rekan Gilbert, pria itu tidak pernah sehangat ini kepada siapa pun.

Inikah sisi lain Gilbert yang sebenarnya? Sekali pun, terkadang pria itu merayu wanita dan bersikap manis, Gilbert tak pernah tulus dalam memperlakukan wanita selain demi misinya semata.

"Paman masih tinggal di tempat yang sama?" tanya Lua. Alamat terakhir yang dia ingat. "Kau akan tahu," ucap Gilbert, sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. "Aku jadi tidak sabar," monolog Lua. Lalu dia melihat ke sekitar ketika Audi mereka berbelok mulus, masuk ke basement. "Kita ada di mana ini?" Lua bertanya. "Menemui bos-ku," lugas Gilbert bertepatan ketika mobil mereka berhenti di depan pintu kaca. Pintu kaca yang nampak dijaga dua pria berkacamata hitam di mana salah satunya cekatan membuka pintu belakang mobil.

"Kalau begitu aku akan tunggu di luar," bisik Lua. "Baiklah, dan jangan jauh-jauh dari mereka, mengerti?" sahut Gilbert sedikit merelakan, dan segera melangkah turun dari mobil.

"Aku penasaran, seperti apa bosmu itu?" celetuk Miki. "Dia seorang yang tidak mudah ditebak," sahut Gilbert.

"Pergi kemana teman-temanmu itu?" tanya Miki. "Entahlah. Mereka tak dipanggil bos, selain aku yang wajib melapor."

"Aaah begitu! Jadi kau pemimpin mereka??"

Gilbert mendengus. "Katakan lah seperti itu."

Lorong panjang yang sepi dilalui mereka, beberapa penjaga hanya menjaga di titik-titik pintu dan sesekali berkeliling. Setelah berbelok, pintu ganda kaca berwarna abu-abu transparan terbuka otomatis, dan langkah mereka berhenti sejenak ketika dihadang dua penjaga bersenjata. Memasang wajah datar seperti biasa, Gilbert angkat suara. "Gilbert Viscounti Hill." Disebutkannya nama secara lengkap di hadapan penjaga dengan tenang.

Mengenal nama tersebut membuat kedua penjaga sigap menyingkirkan tubuh besar nan tinggi mereka. Lantas, langkah Gilbert kembali maju bersama Miki. Berjalan lurus di dalam lorong abu-abu yang dilengkapi sensor pendeteksi wajah mereka. Tepat diujung lorong, mereka semakin mendekat ke arah pintu ganda metalik hitam. Kedua tangan Gilbert berayun mendorong pegangan pintu itu ke dalam hingga mereka masuk ke ruangan luas.

Miki mengedarkan pandangan ke sekitar. Terdapat kaca raksasa yang memanjang hingga batas dinding lain, menyuguhkan pemandangan bentangan langit biru. Tidak terlihat banyak perabotan di sekitar kecuali rak buku menjadi background seseorang yang duduk di balik meja tersebut.

"Kau kembali lebih cepat, Gilbert." Suara seorang pria menyambut Gilbert senang. "Aku ingin tahu alasanmu membawa pria blasteran itu, Gilbert." Perkataan pria berkepala lima itu seolah menegur Gilbert untuk menjelaskan apa yang dia bawa ke hadapannya.

Gilbert menyerongkan sedikit bahunya. Baru lah pada detik itu netra cokelat Miki berhenti melihat sekeliling dan memaku tatapan ke depan, seketika bertemu mata dengan seorang pria berwajah keriput yang mengindikasikan tak lagi muda, namun matanya setajam pengalaman hidup yang tak lembut, rambutnya sehitam arang yang telah disemir beberapa kali, tirus wajahnya dengan perangai yang agak sinis, tajam, sedikit gurat keramahan, tidak ingin munafik jika sosoknya masih bisa dikatakan tampan walau tahun menggerus usianya. Sosok itu terlihat duduk di kursi putar kulitnya dengan kedua siku menekan meja, menyatukan jari jemari.

"Dia seseorang yang kreatif untuk mengembangkan persenjataan kita," kata Gilbert.

"Lalu?" Sang bos bertanya. "Aku ingin memasukan dia ke dalam tim teknisi," pungkas Gilbert mantap. "Begitu kah?" Kemudian obsidian gelapnya bergeser, menatap Miki lagi, yang membuat pria itu tersentak, tersadar untuk menjaga sikap dan cepat mengenalkan diri. "Namaku Miki Hallnois," ucapnya.

Mata sang bos menelisik, menilai sosok Miki dari bawah hingga atas. "Namaku Keith," salam sang bos membalasnya. "Apa kau mau bekerja sama dengan kami?" tanyanya.

"Apa yang bisa kulakukan di sini?" Miki bertanya.

"Sebelumnya Gilbert pernah menceritakan tentangmu dan dia merekomendasikanmu, kebetulan sekarang ini kami sedang membutuhkan seseorang untuk membantu pekerjaan tim teknisi. Aku takan menyia-nyiakan kemampuanmu bila bekerja di sini. Bagaimana?" jelas Keith.

"Sebagai balas budiku, aku tidak bisa menolak," jawab Miki mantap dan membuat senyum puas Keith mengembang.

***

Ig: kastilrinata94

Thank you!

avataravatar
Next chapter