1 Julukan Venesia Di Utara

***

Langit di atas pasar Bloemen tampak mendung seperti biasanya. Pasar yang sudah ada sejak tahun 1862 itu berlokasi di antara Koningsplein dan Muntplein yang menjadikannya sebagai central canal belt. Beragam jenis tanaman bunga hingga bibit mendominasi perdagangan pasar Bloemen yang berarti bunga. Bagi pecinta bunga maupun yang suka berkebun di sini lah surganya menurut Lua. Langkah-langkah sepatu marry jane cokelat muda miliknya sudah keluar masuk toko bunga maupun berhenti sejenak di lapak kaki lima yang berderet di street market untuk melihat-lihat. Di keranjang belanjaan yang menggantung di tangan telah terisi sejumlah lembar sachet biji-bijian, seikat bunga anyelir sampai pupuk tanaman dalam kemasan satu kilo.

"Hei, bagaimana kalau gadis itu? Dia terlihat cantik, pasti kita akan dapat untung besar," usul pria itu sambil matanya terpaku pada gadis pirang sekuning pisang yang terlihat mencolok di antara kepala-kepala pengunjung pasar. Sementara rekannya yang duduk-duduk nganggur di samping langsung memindai pandangan. "Mana? Ah, matamu cukup berbahaya," katanya kemudian setelah menemukan objek yang dimaksud sang teman berkepala plontos tersebut.

"Maka, jangan buang-buang waktu lagi." Mereka cepat beranjak dari tempatnya nongkrong di pinggir jembatan. Keempat kaki berbalut celana hitam panjang mereka berayun sedikit dipercepat dengan menyalip bahu-bahu orang sembari mata terkunci pada objek pirang lima-enam meter di depan. "Hubungi si bongsor untuk bersiap."

Lua terlihat melewati pertunjukan dansa oleh pelaku seni setempat yang menggunakan gaun khas di tengah alun-alun. Ia hanya melihatnya sambil berlalu. Ingat jika ia harus memasak makan siang begitu tiba di rumah untuk ayahnya. Setelah berbelok ke jalan gang yang dihimpit bangunan berbatu kokoh, keramaian di belakangnya semakin lenyap seiring langkahnya masuk ke dalam. Akan tetapi saat sedang asik memikirkan menu masakan yang akan ia buat, tungkai jenjangnya berhenti tiba-tiba ketika iris biru laut itu melihat seorang pria berisi menghadang jalan.

Secara naluriah pun Lua bersikap waspada. Ia berbalik arah ke belakang namun napasnya tercekat seketika ketika mendapati seorang pria lain sudah memblokir jalannya, sehingga Lua terjebak di tengah mereka sejauh dua meteran. Tidak ada orang lain lagi di sekitar selain dirinya seorang, maka sudah pasti kedua orang itu memiliki tujuan kepada Lua. Dan saat mereka melangkah maju, kaki Lua bergetar mundur. "Mau apa kalian?" bingungnya panik.

"Kami hanya ingin membawamu. Kau tidak akan terluka jika tidak melawan," sahut pria botak itu, mencengkram seketika pergelangan tangan Lua ke depan punggung dan kantong belanjaannya jatuh begitu saja. Lua memberontak namun teriakannya sigap dibungkam kain yang membuat penglihatannya memberat. Tubuh Lua diangkat mundur, kakinya yang tidak berpijak lagi serta tampak bergerak menendang-nendang udara kini mulai melemah seiring kelopak mata itu mengatup, dan tubuhnya melemas.

"Hey!" Suara dalam itu berhasil menghentikan mereka sebelum benar-benar membawa Lua pergi dari gang di mana teman mereka yang lain sudah menanti di dalam mini van diujung gang terpencil. Di depan mereka berdiri gagah seorang wanita bersurai blonde pias. Raut wajahnya tampak tegas dan sekilas sosoknya seperti bukan wanita lemah walau dengan penampilan kasual berupa blouse dan rok rample sebetis. Mata wanita itu menyipit mengamati gadis tak sadarkan diri di seberangnya seraya membandingkan dengan selembar foto di tangan. Lalu ia membeliak.

"Kau mau apa, wanita?" Pria itu mendekat dengan langkah pongah sedang rekannya yang membawa Lua terlihat merayap mundur perlahan. "Hey kau! Lepaskan gadis itu!" teriaknya murka sambil menunjuk ke depan, mengabaikan pria di hadapan. Ia sontak berlari, tapi pria berbadan besar di hadapannya tentu tidak membiarkan ia lewat. Wanita itu sigap berkilah, dan lawannya terkejut. Karena keadaan, terpaksa ia harus menggunakan ototnya untuk melawan pria ini.

Aksi beladirinya mengejutkan pria plontos yang sudah semakin jauh itu. Dia mengumpat lantas menggendong Lua ala karung beras di punggungnya agar mudah dibawa lari. Di detik itu suara tembakan menggema di gang. Dia langsung ambruk saat timah panas tertanam di kakinya. Ia kemudian menengok ke belakang, matanya membelalak terkejut melihat wanita itu berdiri tenang sambil mengacungkan pistol ke arahnya, lalu mata pria itu turun dan menemukan rekannya sudah terkapar di bawah kaki. Sungguh kesialan baginya karena tidak membawa senjata. Tanpa pikir panjang lagi ia bangkit dengan gemetaran dan berlari tergesa-gesa meninggalkan Lua yang terbaring di tanah.

Ketika itu alis Lua berkedut pelan. Ia mengerutkan dahi karena silau saat matanya membuka perlahan dan pemandangan langit biru terlihat sangat jelas dari posisi berbaringnya. Sedetik kemudian ia tersentak begitu teringat aksi penculikan itu. Ia beringsut bangun dengan raut bingung. "Nona, apa ada yang terluka?" Lua menatap wanita itu yang sudah menumpukan sebelah lututnya ke tanah.

"Ya, aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing," lirihnya. "Apa kau yang menolongku?" tanya Lua. Wanita itu tidak menjawab. Mereka terdiam beberapa detik sampai manik Lua mendapati segaris luka sayat pada lengan atas wanita itu. "Oh! Kau terluka!" pekiknya kaget. Wanita itu menoleh ke arah lengan kirinya. Ah ia ingat, itu bekas sayatan pisau pria tadi saat ia mencoba berkelit.

"Ayo kita obati lukamu sebagai balas budiku padamu," ujar Lua. "Baiklah," final wanita asing itu menurut. Setelah melewati gang-gang sempit dengan lingkungan cukup kumuh, mereka memasuki sebuah bangunan kecil yang tampak usang dari luar. Netra hazel wanita itu berpendar ke seisi ruangan. Memperhatikan setiap objek yang tertangkap mata. Ruangannya sedikit gelap, bisa dikatakan remang-remang, ada sederet lemari kaca berisi buku-buku hingga beragam tabung kimia mendominasi, kesan vintage terasa di dalam ruangan yang Lua sebut sebagai klinik tempat ayahnya melakukan praktik.

Lalu, pintu diujung lorong itu dibuka oleh Lua. "Ayah, aku datang bawa pasien yang perlu diobati," kata gadis ini. Lantas pria bersnelli itu memutar kursi putar berodanya untuk menghadap sang puteri. Dapat dia lihat di belakang Lua telah berdiri seorang wanita tinggi. "Oh? Duduk lah di sana," ujar ayah Lua yang diketahui bernama Gery. Sebuah buku tampak terbuka di meja pria kurus berumur lima puluhan itu sebelum dia bangkit dan meninggalkan meja untuk menghampiri pasiennya.

Mata Gery memperhatikan intens segores luka sayat di lengan wanita itu. "Lukamu cukup dalam. Aku akan menjahitnya," kata Gery. Sementara wajah wanita itu datar-datar saja seperti tidak terluka. "Ayah, wanita ini telah menyelamatkanku dari seseorang yang berusaha menculikku. Oleh sebab itulah dia sampai terluka begini." Lua menceritakan aksi heroik wanita itu. "Oh ya?! Oh Tuhan, aku sungguh beruntung," kata Gery merasa lega saat melapisi tangannya dengan sarung tangan karet, dan mempersiapkan alat medis. Kemudian dia beralih dengan menyuntikkan anestesi di lengan wanita itu sebelum memulai operasi kecilnya.

"Sangat jarang ada seseorang yang peduli pada penderitaan orang lain," kata Gery sambil menjahit luka wanita itu. "Kalau boleh tahu, siapa namamu nona?" tanyanya. "Parker. Itu namaku," jawab Parker datar. Gery tersenyum. "Terimakasih nona Parker. Berkat dirimu, puteriku terselamatkan. Kau bisa datang kapan saja ke klinikku jika butuh pengobatan, aku bisa memberikan perawatan secara gratis sebagai seorang dokter berpengalaman," ucapnya.

"Aku melihat dirimu merupakan ayah yang protektif terhadap puterimu, ya. Ah, di mana istri anda?" Parker bertanya. "Dia sudah tiada dua tahun lalu," jawab Gery yang kontan membuat Parker merasa iba karena telah menanyakan hal sensitif. "Aku turut berduka," tutur Parker menurunkan kelopak matanya menjadi sayu seakan bersedih mendengar kabar tersebut. "Ngomong-ngomong, Gil mencarimu," bisik Parker yang hanya bisa didengar pria paruh baya itu.

Gery langsung terkesiap. Untuk beberapa detik gerakan menjahitnya terhenti. Lalu dengan pembawaan tenang, dia berbicara pada Lua yang terlihat sedang melihat-lihat ruangannya. "Lua, bisa kau belikan teh herbal di toko Bryce?" pinta pria yang rambutnya memutih itu. "Toko Bryce? Bukankah itu terlalu jauh?" keluh Lua.

"Bukankah akan lebih bagus jika kita menyajikan teh terbaik untuk tamu?" Perkataan ayahnya tidak bisa Lua bantah, maka sebagai anak yang berbakti dia menurut dengan beranjak pergi ke luar rumah. Tidak lama setelah mendengar pintu terdengar ditutup kembali, raut wajah Gery berubah jadi serius sekali. "Siapa yang mengirimmu?" tanya pria tua itu sembari melanjutkan jahitannya.

"Kau sudah bisa menebaknya, bukan?" balas Parker santai.

***

avataravatar
Next chapter