3 Bukan Awal Dari Segalanya

rombongan preman menyerbu klinik dan membuat percakapan Gery serta Parker harus terhenti. Parker sempat melawan mereka, dan untuk beberapa saat terjadi perkelahian satu lawan lima. Kelihaian Parker saat berkilah dari serangan, agaknya membuat mereka kesal sekaligus tercengang. Tidak disangka seorang wanita mampu melawan balik mereka yang merupakan pria. Hingga layangan benda tajam yang menghantam kepala belakang Parker, membuat aksi kacau di dalam ruangan sempit itu terhenti. Parker lalai sehingga tak menyadari adanya serangan dari belakang. Kini wanita itu tergeletak di lantai, sementara Gery diikat tanpa bisa berkutik di kursi.

"Cih dasar dokter gadungan!" maki seorang pria bertato penuh pada sebelah lengannya.

"Mengobati orang terluka dengan bayaran seadanya dan mendengarkan obrolan semua pasien, membuat orang ini mengetahui kelemahan setiap organisasi," sambung sang rekan ketus. "Secara tidak langsung dia menjadi agen mata-mata tanpa agensi." Pria bertindik di telinga kanan itu menatap pongah. "Tanpa perusahaan yang melindungimu, kau tidak bisa ditolong lagi," lanjutnya bernada mengancam. "Bawa dia!" perintah pria bertindik itu pada dua rekannya.

Terhitung belasan anggota telah berjaga di luar dengan beragam penampilan sangar dan senjata terselip di pakaian masing-masing. Ketika seorang pria dengan kedua tangan di dalam saku berjalan keluar klinik diikuti sisanya membawa sandera, kelompok geng itu melenggang pergi tanpa ada hambatan.

***

Ternganga ekspresi Lua kala mendapati klinik ayah berantakan, dan ia semakin kaget ketika menemukan Parker terkapar di lantai dengan kepala digenangi darah. "Miss Parker!" panggil Lua panik. Mendekati wanita itu, memeriksa denyut nadinya. Parker tidak sadarkan diri, tetapi Lua masih merasakan denyutan itu walau lemah.

Kemudian netranya bergulir gelisah ke sekitar untuk mencari keberadaan ayah. "Ayah... Dimana ayah?" racau Lua meringis cemas.

"Lua!" Gilbert datang menyusul. Ia membelalakan mata melihat Lua bersimpuh tak bertenaga di dekat Parker.

"Lua..." Gilbert menghampiri ponakan kecilnya. Matanya memandang nanar Lua yang tampak syok. Lalu dihampirinya seorang wanita di lantai. Memeriksa apakah masih punya harapan hidup atau tidak. Begitu jemari Parker bergerak, dan berayun memegang tangan Gilbert, dia berusaha menyampaikan pesan dengan susah payah. "Jangan bicara dulu. Aku akan panggil ambulan," kata Gilbert tergesa.

Tidak berselang lama polisi berserta ambulan datang, memeriksa seluruh rumah, paramedis mengangkat dua tubuh bergantian ke dalam ambulan, aparat memasang garis polisi, mewawancarai mereka berdua namun karena Lua masih syok berat, hanya Gilbert yang bisa diwawancarai. Gilbert menceritakan kesaksiannya.

Tangis Lua terseguk. Bibirnya bergetar, ia memebenamkan wajahnya di lipatan kedua lengan di atas lutut yang ditekuk. Paramedis mengangkat tubuh Parker ke tandu dan memasukannya ke ambulans. Cukup singkat polisi berada di klinik saat memeriksa TKP. Lalu menyimpulkan bahwa Gery dibawa oleh pelaku karena mereka tidak menemukan jejak kematian Gery di sekeliling klinik.

Air mata Lua sudah kering meskipun matanya merah dan sembab. "Paman, aku takan bisa tidur nyenyak sebelum berhasil mendapatkan ayahku!" tekan Lua. Rautnya dingin. Matanya tidak terbaca.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Gilbert. "Mencari ayah," tegas Lua serius. "Bagaimana caramu melakukannya?" tanya pria itu. Lua tidak merespon sesaat. Ia kemudian menghela napas pasrah dan menjawab dengan lemah. "Aku tidak tahu." Jeda sejenak. "Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku harus hidup tanpa ayah dan juga... dirimu. Aku tidak punya keluarga lagi di dunia ini selain kalian berdua." Lua memikirkan dirinya yang hidup sebatang kara, terutama kecemasannya jika aksi penculikan di pasar tadi terulang kembali. Sudah jelas tidak akan ada yang mencarinya apalagi menolongnya.

"Boleh kah aku ikut denganmu?" Hanya satu kesempatan ini saja yang tidak bisa Lua abaikan. Setelah kematian ayah, kini tersisa Gilbert seorang dalam hidup Lua. Sementara pria itu menatap wajah Lua untuk beberapa detik seakan mempertimbangkannya. "Baiklah," putus Gilbert.

Lua segera berkemas untuk bersiap. Barang yang ia masukan ke dalam tas hanya pakaian -tidak terlalu banyak- serta foto keluarga. Sekali lagi Lua menoleh ke belakang, mengedarkan pandangan ke penjuru rumah, merekamnya baik-baik dalam memori bagaimana kehidupannya dulu bersama sang ayah. Kemudian dengan lesu ia menarik langkah maju, membuka pintu, dan tampak Gilbert sudah menunggu di luar mobil. Pamannya itu..., kalau saja tidak bertemu dengannya, mungkin ia tidak bisa melihat masa depan dengan jelas lagi.

Mercedes mereka melaju di lintasannya.

Gilbert duduk di balik kemudi sebagai supir. Tanpa ia ketahui Jeep hitam membuntutinya. Seorang dari Jeep itu nampak menyelinap keluar dan duduk di jendelanya. Ia menodongkan MP4A1 carbine. Begitu pelatuk dilepaskan, letusan tembakan langsung mengenai kap belakang mobil Gilbert.

Lua terperanjat seketika, sedang Gilbert tetap fokus menyetir walau tidak terlihat santai lagi. Ia pun sama tegangnya, ingat ada gadis berharga di dalam mobilnya yang harus ia jaga. Gilbert mengumpat mereka. "Tony! A-1!" teriak Gilbert, segera disahut Tony di lain tempat. Ia mempercepat laju mobil, dan jantung Lua berdebar cepat. Lua gemetaran, masih syok atas tembakan tadi. "Kau tidak perlu cemas. Aku akan melindungimu apa pun yang terjadi." Tangan Gilbert begitu lihai saat memutar stir untuk menyalip kendaraan lain di depan jalan.

Di lain tempat, pria bernama Tony itu mempersiapkan senjata. Ia bersama Henry yang menyetir, berada tepat di belakang Jeep. Tony menjulurkan tangannya ke luar jendela, menembakkan laras panjang ke arah Jeep. Dan orang yang duduk di jendela itu pun jadi sasaran empuk Tony. Seketika timah panas menembus lengan musuh. Tony mendengus puas. Sejenak Jeepnya dengan Jeep musuh terlibat adu tembak, dan hal itu berhasil mengalihkan perhatian mereka dari mobil Gilbert.

Tony masuk lagi, mengamankan diri. "Oh, aku sungguh bosan setiap kali berada di posisi ini." Sempat-sempatnya pria bersurai panjang itu mengeluh di medan perang. "Mereka pihak keamanan di negara ini. Sial, mengapa pula mereka bisa mencium keberadaan kita di daerah ini?!"

"Dan aku bosan mendengar keluhanmu, Tony. Seharusnya sudah sejak dulu kau keluar dari tim ini jika bosan, aku benar bukan?" Tanggapan Henry dibalas decihan bibir Tony yang duduk di belakang. Ia sekali lagi menodongkan senjatanya ke luar jendela. Satu dua tiga tembakan dilancarkan beruntun oleh Tony. Ia ingin secepatnya menyelesaikan pertarungan mereka di dalam mobil yang saling berkejar-kejaran.

Wajah Tony mengeras, serius. Matanya menyorot tajam, ia seakan bersiap dengan serangan telaknya. Dan, letusan besar menghantam Jeep musuh di depan. Mereka keluar jalur dan berakhir menerobos trotoar, menabrak tiang sampai kap depan penyok berat. Kedua orang di dalam nampak cepat keluar, mereka merangkak dengan wajah terluka.

"Sudah beres Gil," lapor Tony. "Semuanya! Kembali ke Dobby! Detik ini juga kita berangkat," perintah Gilbert mutlak.

Lua menegakkan tubuhnya perlahan. Setelah mengumpulkan keberanian, ia bicara. "Paman, yang tadi itu kenapa mereka menembaki kita?"

"Apa kau tahu? Setiap berbisnis kita tidak lepas dari musuh yang menginginkan kejatuhan kita."

"Apa yang paman kerjaan sampai harus berhadapan dengan senjata api?" tanya Lua horror. Gilbert tersenyum manis. Matanya melengkung penuh arti. "Menjual senjata," jawab pria itu.

***

avataravatar
Next chapter