10 Anggota Baru

***

"Aku punya ide," ucap Gilbert tiba-tiba. "Aku berencana merekrut orang ini ke perusahaan kita," umumnya yang serentak mencuri perhatian rekan-rekannya di dalam mobil, termasuk Tony di kursi kemudi dan harus tetap fokus menatap jalan. Mereka terkaget, hampir tidak mempercayai pendengaran sendiri kala ketua tim mereka memberi pengumuman tunggal. "Apa maksudmu? Kau ingin membawa dia ke markas besar? Kenapa? Dia menculik ponakanmu, lho," desak Margaret. Dia duduk di sisi Willy di kursi bagian paling belakang, sedangkan Gilbert berada di kursi bagian tengah mobil bersama Henry, dua di depan diisi Tony dan Nathaniel.

Willy menjulurkan kepalanya guna dapat melihat layar tablet di pangkuan si ketua tim. "Miki... Hallinois," baca Willy pada data diri seorang pria. "Jadi pelakunya adalah Miki Hallinois?" simpul Willy bergumam.

"Justru itu lah benang merahnya," kata Gilbert misterius. Semua orang tertarik mendengarkan, dan senyum tipis terbentuk di bibir pria itu. "Dia bukan ilmuwan biasa. Benda yang dia ciptakan bermanfaat untuk kepentingan militer," jelasnya yang membuka titik terang di kepala rekan-rekannya. "Aku percaya. Kau takan merekrut orang sembarangan," tutur Margaret setuju setelah sepertinya detik diam berpikir.

Nathaniel tidak banyak bicara selain memperhatikan diam-diam anggota timnya, yang sekarang ditambah kehadiran Miki Hallinois bersama mereka berlayar di kapal Dobby. Rencana Gilbert berjalan dengan mulus; si pelaku penculikan Lua, Miki Hallinois, tanpa perlawanan mengikuti Gilbert. Permasalahan pria blasteran itu juga sudah beres dalam sehari dengan Gilbert mengungkap pelaku pembunuhan sebenarnya yang mengkambing hitamkan si Miki.

Cukup lama Nathaniel menatap punggung Gilbert yang berjalan di depannya bersama Lua di samping. Tampak tertawa kecil. Sebuah ekspresi tulus yang jarang terlihat di wajah Gilbert. Sebagai rekan kerjanya selama bertahun-tahun, Nathaniel merasa ada perubahan jelas pada pria itu. Apa yang membuat pria itu berubah walau hanya sedikit?

"Apa kau tahu, selama dunia berperang, kita tidak perlu khawatir akan kekurangan dana, hahah!" Willy tergelak puas di balkon kapal. Sementara di bawahnya berdiri seluruh anggota tim Gilbert yang memandang ke laut lepas. "Baiklah~ kita lihat apakah benda itu dapat meluncur licin atau tidak," gumam Gilbert menjilat bibir bawahnya.

"Sistem sudah diaktifkan," ucap Miki menekan tombol laptop sambil duduk di anak tangga. Dalam hitungan tiga detik kemudian, air laut di kejauhan menunjukan gelombang kecil, hingga satu buah roket meluncur dari kurungan menara besi di tengah laut yang menahannya.

"Wuah! Luar biasa!" takjub Lua sambil memegangi topinya. Tiupan angin yang kencang hampir menerbangkan topi boater dari kepala gadis itu. Mata biru cerah Lua berbinar-binar, memandang kagum ke langit, di mana rudal itu bergerak cepat menembus birunya langit musim panas.

"Gilbert, bos ingin bicara denganmu," tegur Nathaniel sembari menyerahkan ponsel. Gilbert yang tengah bersandar di pagar dek kapal, menyaksikan peluncuran roketnya, segera menoleh ke samping.

"Bos, ya?" Seringai kecil terbit di bibir Gilbert saat mengambil benda pipih dari tangan Tony. Kemudian dia menempelnya ke daun telinga dan menghilang ke dalam ruangan. Karena suara di luar cukup bising berkat gemuruh rudal, Gilbert memilih masuk ke dalam kapal agar dapat mendengarkan pesan sang bos.

Selagi Gilbert sibuk bicara dengan Big Bos di dalam, Lua bertanya heran. "Rudal itu menuju ke arah mana?" Khawatir jika rudal itu tiba di pemukiman penduduk, bisa terjadi perang nanti.

"Merobek atmosfer, nona. Kami menguji coba senjata kami di laut, dan lihat lah, hasilnya mengagumkan bukan?" jawab Willy.

"Dan kami tidak berencana membuat peperangan dengan negara mana pun, tapi hanya sebagai pendukung mereka perang," tambah Margaret menyeringai.

Tidak bisa Lua percaya jika pamannya bekerja sebagai penjual senjata secara ilegal pula. Setelah terpisah begitu lama dari Gilbert, Lua merasa banyak hal yang tidak dia ketahui tentang pria itu.

Cukup lama Lua berdiri memandangi laut, akhirnya dia menyingkirkan diri, mencari tempat tenang, dan di ujung dek kapal langkahnya berhenti. Dia menarik napasnya dalam lalu menghembuskannya perlahan. Apa yang akan dia lakukan untuk mencari ayahnya sekarang? Gilbert mungkin akan lebih disibukkan dengan pekerjaannya. Tidak ada petunjuk mengenai hilangnya ayah, ini buntu.

"Apa yang harus kulakukan?" gumam Lua merasa tak memiliki jalan keluar.

"Ceritakan saja, mungkin kau mendapat ide nanti," kata seseorang menimpali. Mendengar suara pria, Lua tersentak dan mengarahkan pandangan ke sumber suara. Dapat dia temukan seorang pria duduk membaca buku di bawah. "Henry?" panggil Lua kaget. Sejak kapan pria itu di sana? Ah iya, selama di kapal dia jarang melihat Henry.

Lua mendekat dan duduk di sampingnya. "Buku apa yang sedang kau baca?" tanya Lua basa-basi. "Hanya novel," jawab Henry dengan fokus pada halaman buku.

Novel? Jenis buku yang disebutkan itu bagai menarik Lua. "Baru pertama kali aku melihat seorang pria suka membaca novel," komentarnya, kemudian dia mengintip ke bawah tangan pria itu untuk membaca judul novelnya, dan membuat anak rambut pirang itu terjuntai ke bawah.

Tetapi Henry menyadari tingkah aneh Lua, lantas bertanya. "Kau sedang apa?"

Lua menarik tubuhnya lagi. "Aku ingin tahu judul dan tema novel ini," ucap Lua.

"Kenapa tidak bertanya saja?"

"Aku tidak mau mengganggumu membaca, jadi aku mencari tahu sendiri."

Senyuman terajut di bibir Henry. "Tanyakan saja apa pun itu padaku. Aku akan menjawabnya sebisaku," kata Henry, nadanya terdengar lembut.

Untuk pertama kali Lua bisa melihat pria ini dari jarak dekat. Rambut cokelat gelapnya sedikit panjang sampai telinga dengan poni menutupi sebagian dahi, mata beriris madu yang terkadang terlihat seperti kilauan berlian, kelopaknya kelihatan agak sayu tetapi juga tatapan teduh itu menyimpan ketegasan berani. Hidung tegak dengan pipi tirus hingga turun ke dagu yang sedikit lancip. Lalu bibir itu... Setiap kali bibir tipis itu mengukir senyuman, jantung Lua selalu berdegup aneh. Secara visual, Henry memiliki perangai kalem nan tenang.

"Apakah kejadian penculikan tadi membuatmu syok?" Henry bertanya.

"Hm? Ah, awalnya begitu, tetapi selama aku disekap, aku baik-baik saja. Aku tahu kalau dia bukan seseorang yang tega melukai orang lain."

"Kenapa kau tahu hal itu?"

"Ini hanya naluriku."

"Syukur lah kalau kau baik-baik saja. Lalu, mengapa wajahmu tampak mendung tadi? Apakah ada sesuatu mengganggu pikiranmu?"

"Ya. Ini soal ayahku. Ayahku hilang, tidak meninggalkan jejak apa-apa, membuat buntu dalam pencariannya," sedih Lua. Henry menyingkap anak rambut Lua ke belakang telinga agar dapat melihat wajahnya dengan jelas. Seperti yang sudah diduga, raut itu kelihatan mendung.

Sentuhan lembut dapat Lua rasakan tiba-tiba di punggung tangan. Ketika menoleh, Henry menaruh tangannya di sana sambil menatap dirinya teduh. "Pasti ayahmu baik-baik saja meski kalian terpisah."

"Kuharap begitu." Lua paksakan mengukir senyum di bibirnya. Dia tidak begitu yakin bisa menemukan ayahnya segera. "Aku tidak akan menyerah untuk mencari ayahku," tegas Lua. "Itu terdengar bagus," puji Henry.

"Gilbert tidak pernah bercerita apa pun tentang keluarganya termasuk dirimu. Jadi, saat tahu kau adalah ponakannya, aku terkejut sekali."

"Sudah berapa lama kau kenal dengan pamanku?"

"Sejak aku remaja."

"Kudengar semua anggotanya sudah bekerja di Matrix saat remaja?"

"Ya."

"Itu luar biasa!"

avataravatar
Next chapter