webnovel

Pengakuan Adi.

"Aaaaa...."

Sheila dan Adi menjerit bersamaan, ketika dengan tiba-tiba kain itu terjatuh ke tanah.

"Di, coba lo liat," titah Sheila sebari mendorong kecil tubuh sahabatnya.

"Bentar. Lo tunggu sini dan jangan ke mana-mana."

Sheila mengangguk dan menuruti perintah Adi. Sedangkan Adi, laki-laki itu berjalan pelan menuju kain putih yang sudah berada di lantai.

"Gimana, Di?," tanya Sheila.

"Ah, She. Ini mah cuma kain putih biasa."

Adi berbalik, kembali mendekati Sheila yang terlihat sedang menghela napas lega.

"Syukurlah. Gue kira tadi setan."

Pletak!

"Awshh.. Adi, sakit." Sheila mengusap keningnya yang baru saja pukul pelan oleh Adi dengan mwnggunakan jari telunjuknya.

"Lagian, iman lo cetek banget sih. Mana ada setan," ucap Adi sewot.

"Ye.. Kan siapa tau."

"Udah kita balik."

Mereka berdua kembali ke tempat semula yang mereka duduki.

"Di, jam berapa?," tanya Sheila yang kembali merebahkan tubuh.

"Jam 2 pagi," jawab Adi singkat.

"Nggak kerasa, ya. Bentar lagi subuh."

"Mending lo tidur, She. Supaya besok pulang badan lo seger."

"Gue nggak bisa tidur. Di sini dingin banget," keluh Sheila sebari lebih mempererat jaket milik Adi yang menempel di tubuhnya.

"Namanya juga di luar rumah. Suruh siapa lo pake kabur segala." Adi mencibir, namun ia ikut merebahkan tubuh di samping Sheila.

"Terserah gue, lah. Lo sendiri, apa emang sering tidur di sini?."

"Gue nggak segila lo. Baru kali ini doang, dan ini juga karena gue kasian sama lo."

"Ututututuuuu... Thank you, Adi. Lo emang sahabat gue yang terbaik."

Sheila memeluk tubuh Adi dari samping. Tanpa rasa canggung dan malu.

Menurutnya, Adi adalah seorang sahabat yang baik. Untuk itulah, Sheila sama sekali tidak merasa canggung saat bersentuhan langsung dengan tubuh Adi.

Begitu pun dengan Adi. Meskipun usia Sheila lebih tua satu bulan di atasnya, tapi ia selalu memperlakukan Sheila seperti adiknya sendiri.

Mereka bersahabat sejak usia 15 tahun. Terhitung sudah hampir 7 tahun.

Adi selalu memanjakan Sheila. Karena ia tahu, Sheila tidak pernah mendapat semua itu di dalam rumahnya.

"Mending lo tidur. Biar gue yang jagain."

Sheila mengangguk di dalam pelukan Adi. Tanpa menjawab sampai akhirnya tidak terdengar suara milik Sheila.

Kini suara itu berganti dengan dengkuran halus. Wajah Adi melihat ke bawah, Sheila sudah tertidur.

"Gue kasian sama lo, She. Lo anak orang kaya, tapi kenapa harus hidup dengan kekangan dan aturan?," gumam Adi sambil mengusap rambut Sheila.

Sesekali lelaki itu menyingkirkan anak rambut yang tidak sengaja menutupi wajah cantik milik sahabatnya itu.

"Lo tenang aja, She. Gue bakal terus jagain lo."

Sebari menjaga Sheila yang sedang terlelap, Adi mencoba mengambil ponsel yang sedari tadi berada di dalam saku celananya.

"Astaga, ternyata banyak sms dari tante Ratna."

Adi memainkan jarinya di atas layar. Membaca satu persatu pesan yang dikirim oleh mama Sheila.

"Lo salah menilai kedua orangtua lo. Mereka masih peduli," gumam Adi.

"Sheila ada sama Adi, tan. Dia baik-baik aja, dan sekarang lagi tidur."

Adi membalas pesan dari Ratna yang mungkin dikirim beberapa jam yang lalu.

"Alhamdulillah. Makasih, Adi. Tante titip Sheila."

"Astaga. Tante Ratna nggak tidur? Dia pasti khawatir sama Sheila."

Laki-laki itu tidak lagi membalas. Kini ia sibuk memperhatikan wajah Sheila yang tengah terpejam.

"Andai gue normal, mungkin gue udah suka sama lo."

***

"Ma, udah dong jangan mondar mandir terus. Ini udah tengah malem, lho. Mama hsrus tidur, istirihat."

"Nggak, Pa. Mama khawatir sama Sheila. Dia nggak angkat telpon dari Mama."

Farel menghela napas berat dan meminum secangkir kopi hangatnya. Ini adalah cangkir ke sembilan yang ia minum.

Ratna sedari tadi terus saja berjalan di depan ruang tamu. Berharap Sheila akan segera pulang.

"Mama udah coba hubungi Adi?," tanya Farel.

"Udah, Pa. Tapi nggak di bales sama dia."

Farel dan Ratna memang sangat akrab dengan Adi. Karena Adi adalah sahabat satu-satunya yang Sheila miliki.

Laki-laki itu seringkali berkunjung ke rumah Sheila, untuk hanya sekedar mampir atau pun menginap.

"Mama tenang dulu, ya. Papa yakin kalau Sheila baik-baik aja."

"Mama juga berharap seperti itu, Pa."

Farel melirik jam dinding yang sudah menunjukan angka 2 dini hari.

Ponsel Ratna tiba-tiba saja berbunyi, ada pesan masuk di tengah malam seperti ini.

"Sheila ada sama Adi, tan. Dia baik-baik aja, dan sekarang lagi tidur."

"Pa, ada sms dari Adi!," seru Ratna dengan semangat.

"Apa katanya, Ma?," tanya Farel yang beranjak dan mendekati Ratna.

"Katanya Sheila ada sama dia, dan dalam keadaan baik."

"Alhamdulillah. Kata Papa juga apa, Ma. Dia pasti baik-baik aja."

"Ya namanya juga seorang Ibu, Pa. Rasa cemas pasti ada." Ratna memanyunkan bibirnya, berharap Farel tidak menyudutkannya lagi.

"Iya-iya. Udah jangan manyun gitu. Atau minta Papa cium?," goda Farel sebari memanyunkan bibir dan mendekati milik Ratna.

"Ih, si Papa. Udah tua masih aja genit."

"Biarin. Mumpung gak ada Sheila."

"Eh.. Papa bentar. Mama mau bales sms Adi dulu," ujar Ratna sebari melepas pelukan Farel yang tiba-tiba menyambar.

"Alhamdulillah. Makasih, Adi. Tante titip Sheila."

"Dah, yuk. Kita ke kamar," ujar Ratna setelah mengirim balasan untuk sahabat dari putrinya itu.

Ratna dan Farel bersikap seperti pengantin baru lagi. Mereka tengah menikmati masa-masa berdua dan asyiknya bercumbu sebagaimana yang mereka lakukan ketika pertama kali menikah.

"Sayang, tubuh kamu masih kenceng aja. Kayak dulu," bisik Farel di samping telinga Ratna.

"Gombal kamu, Pa. Aku udah melahirkan Sheila, mana mungkin bisa kayak dulu," sahut Ratna yang merendah, namun dalam hatinya merasa senang karena Farel memuji bentuk tubuhnya.

"Papa nggak bohong, Sayang. Kamu bener-bener menjaga tubuh buat Papa."

"Ishh.. Minggir dulu deh, Pa. Mama mau ngomong." Ratna menyingkirkan wajah Farel yang sedari tadi menciumi ceruk leher miliknya.

"Ngomong apa?."

"Gimana kalo kita liburan ke New York," usul Ratna.

"Kenapa? Kok tiba-tiba Mama pengen ke sana?."

"Nggak apa-apa, sih. Mama cuma pengen kita punya momen bertiga dengan Sheila. Itung-itung memperbaiki hubungan dengan Sheila."

Farela terlihat berpikir sebari menyandarkan punggung di ranjang.

"Hm.. Ide bagus. Papa setuju. Kalo gitu, lusa kita ke New York."

"Makasih, Papa sayang."

Ratna memeluk sang suami dan menelungkupkan wajahnya di atas dada bidang milik Farel.

Meskipun mereka sudah tidak lagi muda, tapi Farel senang karena Ratna masih saja bersikap manja terhadapnya.

"Tapi Papa minta tolong, Mama jangan lagi jodoh-jodohin Sheila. Biarin dia hidup dengan kemauan dia sendiri."

"Iya, Papa. Mama nggak akan lagi jodohin Sheila."

Keduanya berpeluka. Menikmati masa yang sudah lama hilang sejak kehadiran Sheila dan usia mereka semakin bertambah.

"Kalo gitu, Papa mau main satu ronde lagi."

Next chapter