11 Cemas.

Brama tengah sibuk memainkan ponsel. Lebih tepatnya ia sedang menunggu balasan dari Adi.

Tak tahu mengapa, seharian ini hatinya merasa tidak tenang. Sheila juga tidak ada kabar sama sekali selama semalam itu.

"Adi tau semua tentang gue. Dan gue harap, dia nggak akan bongkar semuanya ke Sheila," gumam Brama sebari merebahkan tubuhnya.

Meski Sheila tidak memberinya kabar seharian ini, tapi Brama tetap bersikap biasa saja. Hanya saja perasaannya sedikit tidak enak, namun bukan karena tidak ada kabar dari gadis yang saat ini bersemayam di hatinya.

Melainkan karena Adi, sahabat Sheila yang ternyata mengetahui sisi lain dari Brama.

"Aji juga nggak ada kabar hari ini. Dia ke mana, ya?."

Lihatlah. Bukan Sheila yang ia pertanyakan keberadaannya, melainkan Aji. Kekasih sesama jenis yang benar-benar menetap di hatinya.

Berulang kali ia mengirim pesan pada Aji, dan tidak ada balasan satu pun dari lelaki itu.

Brama mulai gelisah. Ia sudah merubah posisi tidurnya berulang kali, sebari menatap layar ponsel yang tak kunjung menyala.

Bahkan sudah hampir lima belas menit ia mengirim pesan pada Adi, dan laki-laki itu juga tidak membalasnya.

"Ini semua orang kenapa, sih? Gak ada yang bales sms gue. Nggak itu Aji, Adi, semuanya gak ada yang bales. Apa pada nggak punya pulsa, ya?," ucap Brama yang tengah berbicara seorang diri.

Hanya kedua laki-laki itu yang ia pertanyakan pesannya. Sedangkan Sheila? Jangankan bertanya, berharap mendapat pesan darinya pun tidak.

Selang beberapa waktu, akhirnya ponsel Brama berbunyi. Pertanda sebuah pesan masuk.

"Akhirnya bunyi juga," gumamnya dengan semangat dan segera mengambil ponsel yang sedari tadi ia letakkan di samping tubuh.

"Dari Sheila."

Brama bergegas membuka pesan tersebut. Meski tidak membalas, setidaknya ia harus tahu pesan apa yang dikirim oleh Sheila.

"Jadi dia mau liburan ke New York? Baguslah. Gue bisa punya waktu banyak buat Aji."

Senyum merekah mulai terbit dari kedua bibir Brama. Niat yang awalnya tidak ingin membalas pesan Sheila, tapi setelah tahu isi pesan tersebut Brama menjadi semangat untuk mengetikkan sesuatu.

"Yes! Akhirnya gue bebas. Gue udah kangen banget sama Aji."

Setelah membalas pesan dari Sheila, Brama kembali merebahkan tubuh dengan hati yang berbunga-bunga.

Ia membayangkan waktu berduaan dengan Aji dan melepas rindu dengan kekasih pertamanya itu.

"Gue coba kirim sms lagi deh ke Aji," ujarnya sebari mencoba menghubungi Aji lewat pesan.

Di sana, ia memberitahu tentang kepergian Sheila. Brama yakin, kabar itu akan disambut bahagia oleh Aji.

"Gue tinggal nunggu balesan. Gue yakin, Aji pasti seneng. Karena kita bisa ngabisin waktu berdua."

***

Sheila menggulingkan tubuhnya di atas tempat tidur. Setelah memberi kabar sekaligus meminta ijin pada Brama, dan untungnya laki-laki itu mengijinkan Sheila.

Walaupun Sheila terlihat acuh atas hubungannya dengan Brama, tapi ia adalah kekasih yang sangat patuh dan menghargai sang kekasih.

Kemana pun ia akan pergi, pasti akan meminta ijin pada Brama. Karena menurut Sheila, saling menghargai itu penting.

"Akhirnya, gue ke New York juga!," seru Sheila sambil merentangkan tangan di atas yempat tidur.

Tubuhnya terlentang dan wajahnya menatap langit-langit kamar, diiringi dengan senyum mengembang yang terpancar dari kedua sudut bibir Sheila.

Gadis itu sudah tidak sabar untuk pergi ke New York. Apalagi sebentar lagi di sana akan menghadapi musim salju.

Sheila semakin tidak sabar, terlebih ia ingin mencoba bermain ice skating sekaligus untuk melatih permainan skateboardnya.

"Kalo di Indo, gue main skate di aspal. Sedangkan di New York, gue bisa main skate di salju."

Pikiran Sheila melayang. Ia membayangkan bagaimana rasanya berpacu dengan papan ice skating nanti.

"Gue beres-beres baju dulu, deh. Supaya besok tinggal belanja makanan."

***

"Halo, Bram."

Sheila menyapa kekasihnya dari ujung telpon. Pasalnya lelaki itu tiba-tiba saja menghubungi Sheila.

Padahal selama setahun ini, Brama tidak pernah menelpon Sheila. Entah itu untuk urusan penting atau hanya sekadar basa basi untuk melepas rindu.

"Halo, She. Aku kangen."

Perkataan tabu yang sering digunakan oleh pasangan muda mudi saat memiliki keinginan.

Sheila hanya tersenyum miring. Ia sudah tahu apa maksud dan tujuan Brama.

"Kenapa, Bram? Kamu lagi pengen ketemu?," tanya Sheila sebari mengeringkan rambutnya.

"Enggak. Aku cuma kangen aja."

"Kamu kenapa, sih? Bilang kangen tapi nggak mau ketemu, aneh."

"Kamu kemarin malem ke mana? Kok nggak ngabarin aku?."

"Ah, itu. Aku ketiduran."

Sheila memainkan bibir bawahnya. Ini adalah kali pertama ia membohongi Brama.

"Oh, gitu. Pantes aja, gak ada sms aku."

"Kenapa nggak kamu aja yang sms aku? Atau telpon. Kan ponsel aku nyala," tanya Sheila yang sudah menarik kursi untuk ia duduki.

"Aku lupa. Kemarin aku sibuk," jawab Brama.

Sheila menaikkan sebelah alisnya. Ia bisa mendengar jika suara Brama sangat berbeda.

"Sibuk ngapain?."

"Hm.. Sibuk main ps, hehe."

Gadis itu memutar bola matanya. Kalau jawaban seperti itu yang Brama lontarkan, Sheila sangat percaya dan tidak menaruh rasa curiga apapun.

Karena ia tahu, kalau Brama merupakan anak tunggal dari pemilik perusahaan besar di kota mereka. Selain Aksadana Corp, tentunya.

"Aku udah tebak. Soalnya, mana mungkin kamu sibuk kerja. Kerja apaan," celetuk Sheila sebari terkekeh.

"Haha.. Kamu tau aja. Tapi kata ayah aku, aku udah harus mulai belajar ngurus kantor. Karena aku kan pewaris tunggal."

Sheila tidak menjawab apapun. Ia hanya menganggukan kepalanya berulang kali, walaupin Brama tidak akan melihat hal itu.

"Oh ya, She. Kamu berangkat ke New York jam berapa?," tanya Brama mengalihkan pembicaraan, karena sudah hampir lima menit tidak ada tanggapan dari Sheila.

"Kalo kata papa sih, jam lima pagi," jawab Sheila.

"Mau aku anter?."

"Nggak usah. Aku berangkat bareng-bareng sama keluarga aku, kok."

"Okey. Tapi, kamu hati-hati ya di sana."

"Iya, Brama. Kamu juga baik-baik di sini. Jangan selingkuh."

"She, ini kamu kan?."

Sheila memicingkan kedua matanya, "Iya, lah. Emang kamu pikir siapa?."

"Enggak. Tumben aja kamu bilang jangan selingkuh. Biasanya juga bodo amat."

Gadis itu mengulum senyum. Ia membenarkan posisi rambutnya yang sedikit berantakan.

"Hm.. Gimana, ya? Kayaknya aku makin sayang deh sama kamu."

Sheila merutuki mulutnya sendiri. Ia memukul bibir berulang kali. Bisa-bisanya Sheila berkata seperti itu.

"Hahaha.. Kan, akhirnya kamu ngaku juga."

Tawa Brama terdengar bahagia sekali. Gengsi yang selama ini bersemayam di hati Sheila, akhirnya runtuh.

"Brama, ih! Kamu jangan gitu. Aku ngomong kayak gini malah bikin bibir aku gatel, tau nggak."

"Astaga. Ngomong makin sayang aja ternyata bisa bikin bibir kamu alergi."

Sheila tertawa dengan keras. Brama membuat moodnya sangat baik hari ini.

Kerinduan yang seharian ini ia tahan, akhirnya pecah karena Brama yang menghubungi Sheila lebih dulu.

Karena itu pula, Sheila berani meruntuhkan gengsinya walau sedikit.

"Kamu sendiri, makin sayang gak sama aku? Atau kamu punya gebetan lagi?."

avataravatar
Next chapter