1 Prolog

<font style="vertical-align: inherit;"><font style="vertical-align: inherit;">Hai, namaku Yanesha Handara Arimurti. Aku di sini untuk menceritakan pada kalian, masalah pribadi yang menggangguku selama hampir setahun belakangan ini. Yakni tentang kelebihan baruku yang membuatku mengetahui secara jelas, apa yang seharusnya tidakku ketahui. </font></font>

<font style="vertical-align: inherit;"><font style="vertical-align: inherit;">-----</font></font>

<font style="vertical-align: inherit;"><font style="vertical-align: inherit;">"Hey Ara, kau sedang apa di sana? Cepat Kesini!" Panggil remaja berambut ikal itu nyaring. Dengan satu lambaian di sisi lain tangannya. Maya hanya berjarak beberapa anak tangga dariku saat kulihat sebuah pondok kayu di puncak sengkedan dengan sisa tangga yang menjorok lurus ke sana terasa begitu panjang.</font></font>

<font style="vertical-align: inherit;"><font style="vertical-align: inherit;">"Iya-iya, tunggu dulu donk kamu jalannya cepet banget sih! Mentang-mentang atlet lari." Desahku membetulkan ransel gunung yang terasa semakin berat. Sedang Maya yang tertawa di atas sana mulai menuruni anak tangga. Wajahnya tampak tersenyum puas saat melihat sahabatnya ini lebih banyak mengibaskan jilbab putihnya ketimbang harus menaiki satu anak tangga lagi untuk menambah rasa ngilu pada kakinya yang serasa hampir patah.</font></font>

<font style="vertical-align: inherit;"><font style="vertical-align: inherit;">Sudah seminggu terlewatkan dan akhirnya aku di sini, mengikuti Maya dalam perjalanannya mengunjungi kampung halaman untuk mencari petualangan baru di separuh liburan akhir semester kami. </font></font><font style="vertical-align: inherit;"><font style="vertical-align: inherit;">Rasanya aku ingin berteriak menyesali keputusanku untuk mengikutinya, ini masih puasa dan dia tidak pernah memberi tahuku akan ada cobaan di prempatan jalan yang mungkin kami lewati.</font></font>

<font style="vertical-align: inherit;"><font style="vertical-align: inherit;"> Seperti saat kami menaiki bus yang penuh dengan kok ayam hidup yang bisa mencakar wajahmu jika tidak sengaja menduduki mereka atau tentang jarak rumahnya yang harus melewati beberapa sengkedan perkebunan teh yang membutuhkan waktu berjam-jam hanya untuk berjalan kaki? Ukh, rasanya kepalaku benar-benar mencair saat matahari siang memanggang kami bagai BBQ hidup secara gratis. Aku ini hanya gadis kota, bagaimana kutahu seperti apa kehidupan di desa.</font></font>

<font style="vertical-align: inherit;"><font style="vertical-align: inherit;">"Gimana? Sekarang percayakan, makanya kalo dikasih tau nurut! Mau ditolongin gak?" Ucapnya menawarkan tangan, yang kutahu sedang menahan tawa kecil di baliknya.</font></font>

<font style="vertical-align: inherit;"><font style="vertical-align: inherit;">Aku hanya mendesah, kuraih tangannya itu yang sesaat sempat membuatku terkejut saat menyadari bekas tali tas dan cakaran tipis berbekas di telapak tangan Maya dengan rona merah yang sepertinya akan terasa pedih. Kupandangi raut wajah gadis itu sebentar, lalu membalas senyunya yang sempat kuacuhkan.</font></font>

<font style="vertical-align: inherit;"><font style="vertical-align: inherit;">"Tenang aja, aku gapapa kok tinggal dikit lagikan? Lagian bentar lagi juga mau buka puasa." Ucapku menatap surya yang sudah berada di langit barat.</font></font>

"Yakin nih! Iya, inggal dikit lagi kok, nyampe di atas udah langsung ada rumah papannya karna emang rumah kita yang paling ujung." Tunjuk Maya membalikkan kepalanya kearah atas sengkedan yang menyisakan belasan anak tangga berurut.

"Maya...!" Panggil seseorang mendadak, daaari arah belakang.

"Kurasa aku mengenali suara itu." Batinku, yang ternyata benar tepat saat kuberbali sosok pemuda sudah berdiri ditangga atas. Menuruninya sambil menatap dengan kesal kearah Maya yang masih belum menurunkan tangannya.

"Kak Bima, kok bisa ada di sini?" Tanya Maya bingung, begitu pula denganku.

"Lha kan tadi kamu yang minta di jemput, kok udah sampai sini aja?" Jawab Bima yang langsung membuatku menatap Maya dengan cepat, berusaha tidak menebak kalimat apa yang akan keluar dari mulutnya.

"Oh-iya-aku-lupa." Ucap gadis itu dengan santainya sembari menggaruki kepalanya. Setelah tau semua yang kami lewati hari ini dan rasa lelah yang kami rasakan sepanjang hari ternyata adalah kesalahan Maya sendiri.

Sesaat kemudian kuperhatikan ia yang terus melirik kearahku dengan rasa bersalah sampai akhirnya kulempar tatapan kearahnya yang sejak tadi terus kusimpan dengan penuh sabar, mencoba memberitahukannya dengan jelas bahwa aku "Kesal!"

BRUK!

"Hoah...akhirnya bisa nyampe kekasur juga." Sahut Maya sembari menguling-gulingkan tubuhnya pada ranjang kayu besar berukiran kuno di kamar kami.

Dan saat kututup musyaf Al-Qur'an yang baru saja kubaca, pandanganku tak henti terpaku padanya menatap sinis kearah teman masa kecilku itu yang kini terlihat makin menyebalkan. "Rasanya pingin nyubit tapi takut dosa." Bisikku dalam hati, paling dalam.

Maya hanya tersenyum malu saat memandangiku dari ranjangnya, seraya bangkit dari tempat tidur gadis itu langsung memposisikan dirinya bersila menghadapku yang sedang duduk di bawahnya. "Maaf ya Maya...aku beneran lupa kalo sebelumnya udah nyuruh kak Bima buat jemput kita. Kamu...gak marah kan?."

"Hah...mau marah juga gak bisa, lagian aku tahu kok kamu orangnya suka teledor! Jadi buat apa aku marah-marah."

"Iya kamu memang paling ngertiin aku, makasih ya Ar..."

KRIEK!

Seseorang tiba-tiba menggeser pintu kamar kami, di tengah pembicaraan. Hanya beberapa saat sebelum Bima menjulurkan kepalanya yang langsung di tepis oleh Maya saat tubuh gadis itu dengan sigap langsung melompat dan mendarat tepat sebelum Bima melihat ke dalam kamar.

"Kakak, gak sopan banget sih! Ketuk pintu dulu kali, kitakan lagi ada tamu." Jeritannya yang terdengar dari luar kamar.

"Aduh! Sakit...lepasin woi, telingaku bisa putus!!!"

Kudengarkan obrolan mereka dari kamar, meski tadi sempat kaget. Sebelum semuanya terasa hening dengan cepat langsung kutarik jilbab yang menggantung pada pintu, dan langsung menyusul mereka keluar takut terjadi pertengkaran serius.

Udara dingin menusuk tulang dengan cepat terasa saat kutapaki kakiku keluar kamar, yang dalam sekejap langsung mengubah niatku untuk menyusul mereka yang sepertinya pergi keluar. Kupeluk tubuhku lembut sambil sesekali mengusapnya sedikit, entah kenapa firasatku berubah drastis tentang tempat ini saat malam hari tiba.

"Gak-gak mungkin di sini juga kan?"

PUK!

Tepukan pelan langsung kuterima dari arah belakang yang sontak membuatku membalikkan badan seketika. Sesosok wanita tua melihatku di sana, tersenyum memperlihatkan separuh giginya yang sudah tak ada dan tampak hitam lalu, dengan tangan keriput itu ia mengarahkan jarinya kemulut. Seolah memberi tanda padaku akan sesuatu.

"Apa maksudnya?" Pikirku yang hanya bisa diam saat menatapnya beberapa detik sampai tepukan lainnya menyadarkanku dari lamunan singkat itu. "Ra, kamu kenapa? Kok bengong di sini?" Tanya Maya dan Bima yang sudah berdiri di belakangku.

"Hati-hati lho kalo keseringan bengong, di sini masih rawan takutnya kamu di ganggu lagi." Ucap Bima yang dengan cepat langsung di hentikkan oleh Maya saat sendalnya langsung mendarat di kaki pemuda itu.

"Gak usah didengar Ara, kakak tuh emang suka ngelantur! Zaman sekarang mana ada lagi yang kayak gitu, Aku aja tinggal di sini lama gak ada apa-apa tuh."

"Aduuuhhh...sakit tau! Lagian siapa yang ngelantur coba, orang emang benar kok. Inikan kampung jadi ya...siapa yang tahu masih ada gak yang kayak begituan, emangnya Jakarta kota metropolitan."

"Ihh...bisa diem gak sih! Kita ini lagi ada tamu, udahlah tadi telat jemputnya sekarang gangguin orang. Udah sana tuh kekamar udah kusiapin film yang kamu minta, katanya mo dengerin Lengser wengi versi horor!"

"Iya-iya cerewet! Taunya nyalahin orang aja, padahal sendirinya yang pikun." Ejek Bima dengan kalimat terakhirnya yang langsung dibisikkan ketelingaku saat pemuda itu berlalu. Sementara Maya yang menyadarinya langsuh kembali berteriak bersamaan dengan tawa Bima yang terdengar di lorong rumah.

Aku masih diam saat gadis itu berkacak pinggang, segara mengeluarkan celoteh kekesalannya tentang sang kakak yang dianggapnya sangat menyebalkan. Bersamaan dengan kalimat terakhirnya ketika sampai ke pintu kamar dan menyadari aku yang masih mematung di tempat yang sama.

"Ra, kamu gak masuk ke kamar?" Tanya Maya bingung dengan sikap anehku.

Aku tidak menjawab pertanyaannya saat kutundukkan kepalaku, dan terus melihat kebawah dengan tangan bergetar. "May, aku mau tanya ini rumah siapa?"

"Hah! Oh ini sih rumah punya ayahku."

"Ayahmu, beneran?"

"Iya, emangnya kenapa?"

"Engga, aku kira ini semacam vila sewaan keluargamu gitu. Soalnya kata Bima tadi..." Aku tidak melanjutkan kalimatku saat kusadari ekspresi Maya yang agak berubah.

"Gak usah dipikirin, kakak itu emang hobinya ngelantur hal-hal horor yang bikin orang takut. Tapi aku sih gak percaya yang kayak begituan, karna keluargaku pernah tinggal di sini setahun yang lalu dan...aman-aman aja kok gak ada yang aneh." Tutur Maya meyakinkanku.

Aku mengangguk dan membiarkannya masuk lebih dulu ke kamar sebelum menanyainya lagi dengan satu pertanyaan yang sejak awal menggangguku dari tadi. "Maya, kamu punya nenek gak? Yang tinggal di sini?"

"Lho, tau dari mana?"

"Iya sih katanya rumah ini, rumah warisan karna dulu sempat di tinggalin sama nenek. Tapi setahun yang lalu aku pindah sekeluarga karna nenek meninggal. Sayangkan kalo di jual, tempat ini cukup luas walau cuma rumah papan. Ayahku juga gak berencana ngejual katanya banyak kenangan di sini sama nenek, apalagi di ruangan tengah." Tutur Maya tepat saat kualihkan lagi kepalaku ke samping tempat yang sebelumnya yang kulihat adalah ruang tengah.

Benar, wanita itu masih ada di sana menatapku dengan kaku sambil berdiri di tengah-tengah ruangan kosong yang sebelumnya membuatku berpikir jika ia manusia. Namun kusadari satu kejanggalan saat kami sempat bertemu tadi, ia tidak pernah bergerak dari tempatnya di sana.

"Oh iya, Ara kenapa kamu bisa tahu soal..."

BRUK!

"Ara, Ara....! Kakak tolong...Ara pingsan kak...!

Tubuhku kaku, dan terasa berat. Aku tidak bisa bergerak namun entah kenapa mataku saat itu tak bisa terpejam, yang sialnya terus mengarah pada sosok nenek-nenek tua yang tadi kulihat. Dan...bersamaan dengan lagu Lengser Wengi yang terputar menggema dari kamar Bima, mereka menggotong tubuhku kembali ke kamar.

Namun, itu bukanlah ending akhirnya. Karna pemandangan terakhir yang kulihat kala itu, bukanlah hal yang mudah untukku lupakan. Ketika wanita tua itu kembali menatapku hangat dengan wajahnya yang perlahan mulai kembali tersenyum, meski kali ini terlihat lebih jelas. Saat kusadari mulutnya yang hitam itu bukan karna gigi melainkan sesuatu. Karna tetesan cair terlihat jatuh dari sana, dan setelahnya semuanya menjadi gelap.

-----

Kau bisa membayangkannya saat, dirimu menjadi tokoh utama dalam sebuah film bergendre horor yang akan berlangsung selama setahun lebih? Tidak karna ini lebih dari itu. Karna hal yang tidak seharusnya kuketahui, hal yang seharusnya tidak kulihat, dan hal yang selama ini selalu tertutupi dariku kini menghantuiku bagai mimpi buruk yang terlihat nyata.

"Lihatlah! Bahkan aku bisa melihatnya sekarang, di sana dari tempatmu membaca. Lihat di sana! Dia ada di sana di sampingmu. Bisakah kau menolongku? Katakan dan beritahu padanya, dia sudah punya boneka baru untuk di ganggu sekarang."

"Sudah?"

"Bagus!"

"Kau bisa membaca lebih banyak cerita ini, dan mencari tahu lebih dalam kenapa Dia Mengikutiku? Karna sekarang...dia punya mangsa baru, yaitu orang yang sudah membaca tulisan ini tapi tidak melanjutkannya."

"Kuharap kau menikmati waktumu, kawan! Bersabarlah karna ini baru permulaian."

avataravatar