11 #11 | DEVIL IN WHITE VI

Seorang wanita dengan pakaian mewah masuk ke dalam ruang guru. Wanita setengah baya itu berjalan masuk tanpa permisi, ia berjalan cepat ke arah Angela dan kemudian menampar pipi Angela.

"Kak Angela!" Pekik Stefani terkejut.

"Dasar wanita rendahan!" hardik wanita itu langsung. "Aku sudah mendengar semuanya dari putriku. Adikmu itu tidak tahu diri, putriku telah berbaik hati membantunya untuk bisa makan. Bukannya berterima kasih tapi malah memfitnah putriku!"

Angela memegang pipinya, tamparan wanita itu cukup keras, rasanya perih dan berdenyut-denyut. Ia melirik Stefani yang ketakutan sekaligus khawatir terhadap dirinya. Angela menghela nafasnya. Ia harus mengendalikan emosinya, seperti ia sedang berdebat dengan Lucas.

"Pak, kalau sudah jelas bahwa anak itu yang merokok mengapa pula memanggilku?" kata wanita itu.

"Bukan begitu, Bu. Kami harus mendengarnya langsung dari dua pihak yang bersangkutan. Karena kebetulan Stefani menyebutkan nama Irena, jadi kami ingin mendengar langsung dari Irena." Jelas si bapak guru.

"Tidak perlu!" ujarnya dengan mengibaskan tangannya. "Sekarang kutanya, rokok itu ada di dalam tas siapa? Anak itu bukan?"

Guru itu mengangguk.

"Murid-murid juga berpendapat yang sama mengenai anak yatim piatu ini, bukan?" lanjut wanita itu.

Guru itu kembali mengangguk.

"Lalu, apa lagi yang harus dijelaskan! Putriku tidak bersalah, dia sendiri yang salah malah mencoba menyeret putriku! Begitulah jika dibesarkan tanpa orang tua, dia tidak mengetahui apa itu tata krama!" Ejek wanita itu.

Irena tertawa kecil melihat Stefani yang ketakutan di belakang Angela.

Angela menyisir poninya ke atas dan menggaruknya sesekali. Ia menghela nafasnya perlahan, mencoba untuk tidak tersulut.

"Aku juga dengar rumor mengenai anak itu, dia suka berkeliaran di tempat karaoke sembari membawa putriku. Keluarkan saja anak itu dari sekolah ini, dia membawa pengaruh yang buruk untuk anakku." Ketus wanita itu dengan mengusap kepala anaknya.

"Jangan begitu, Ibu. Stefani juga berhak untuk mendapatkan pendidikan layak sepertiku, kau hanya akan membuatnya bersedih." Kata Irena manja dengan mengeluarkan air mata buayanya.

"Oh, Irena anakku, kamu jangan terlalu baik ya, ada banyak orang yang menjadi musuh dalam selimut, kau harus berhati-hati." Ujar wanita itu dengan melirik sinis ke arah Angela.

"Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya." Gumam Stefani kesal dengan meremas rok Angela. Angela mengelus kepala Stefani untuk menenangkan emosinya.

"Stefani, ada baiknya kau meminta maaf kepada Irena sekarang." Kata si guru tegas kepada Stefani.

Stefani membelalakan matanya. "Dia yang menjebakku, mengapa juga aku harus meminta maaf kepadanya?"

*

Saat itu Lucas sedang melakukan kunjungan ke SMA yang dahulu mejadi obyek pertama kakeknya memberikan donasi. Ia berjalan ditemani oleh para komite, rencananya ia akan memberikan dana tambahan agar bisa membangun kelas yang baru untuk bisa menampung seluruh siswa di tempat itu.

"Kau telah melakukan kesalahan, kau tidak memiliki bukti kalau putriku ada kaitannya dengan rokok itu! Minta maaflah karena telah mencoba untuk memfitnah putriku!"

"Apa kau bilang?" ujar Angela.

Lucas menghentikan langkahnya saat ia mendengar sebuah suara yang tidak asing baginya. Ia menoleh ke arah ruang guru. Seorang wanita berambut merah anggur sedang memegangi seorang siswi perempuan di sebelahnya yang ketakutan.

Lucas berhenti dan terus memperhatikannya.

"Hei, bapak guru! Aku baru ingat, aku pernah menuliskan biodata untuk adikku saat dia pertama masuk ke sekolah ini! Aku menuliskan dengan jelas bahwa Stefani Putman memiliki penyakit asma!" bentak Angela dengan tatapan tajam ke arah guurnya. "Aku tanya sekali lagi kepadamu, pak. Apakah logis seorang penderita asma menghisap rokok?"

"Dan apakah mungkin putriku yang melakukannya?" bentak wanita itu lagi.

"Rokok itu milik Irena, kak Angela. Percayalah padaku, aku tidak pernah merokok." Kata Stefani setengah merengek meremas rok Angela.

"Jangan memfitnah putriku!"

"Aku tidak memfitnahnya! Aku mengucapkan yang sesungguhnya!" kata Stefani balik membentak ibu Irena.

Irena yang kesal melihat tingkah Stefani yang semakin berani kepadanya berjalan cepat ke arah Stefani, Irena menampar pipi Stefani. Ia kemudian memukuli kepala Stefani dengan penuh amarah.

Stefani refleks berjongkok di lantai dan melindungi kepalanya dengan kedua tangannya. Ia mencoba untuk menahan sakit atas pukulan Irena.

"Irena, apa yang kau lakukan!" teriak Ibu Irena yang tidak berhasil menghentikan putrinya sendiri. Ia mencoba untuk menghentikan putrinya, namun ia di dorong oleh Irena.

"Aku kesal denganya, Bu! Dia selalu saja menjilat di depan banyak orang! Harusnya aku menjualnya dengan harga penuh saja ke anak-anak berandalan kemarin!" jawab Irena sambil tertawa.

Angela diam menatap perlakuan Irena. Ia melemparkan pandangannya ke seluruh ruangan itu. Tidak ada yang menghentikan kelakukan Irena, bahkan guru yang saat ini berdiri di dekat Irena pun hanya terdiam mematung melihat perlakukan anak beringas ini.

Ia mengerti sekarang, ibu Irena adalah orang berpengaruh di sekolah ini dan Irena adalah putri kesayangannya. Tidak ada yang boleh menyentuh ataupun menegur Irena selain ibunya sendiri. Seluruh orang disini telah menutup matanya rapat-rapat.

Sekolah macam apa ini! – pikir Angela.

Angela berjalan mendekati Irena yang masih saja memukuli Stefani. Saat Irena mengangkat tangannya, Angela menangkap tangan itu, ia menatap mata zamrud Angela yang menajam. Angela kemudian meremas tangan Irena dan segera memutarnya ke belakang punggung Irena. Angela memperkuat pegangannya.

"Aargh!" teriak Irena kesakitan.

"Astaga, putriku!"

Seluruh orang di ruangan itu terkejut melihatnya. Termasuk Lucas yang ada di luar ruangan. Angela melepaskan tangannya dan mendorong Irena ke arah ibunya. Angela meniup poninya tanda kesal.

"Baiklah aku paham sekarang." Kata Angela. "Bunda Irena, aku sangat terpukau atas lincahnya putrimu saat ia memukuli adikku, Stefani. Aku jauh lebih terpukau dengan para hadirin yang ada di sini, kalian diam saja, nampaknya kalian sudah terbiasa melihatnya." Lanjutnya dengan tenang dan sedikit mengejek.

Seluruh guru yang ada di ruangan itu terdiam dan mulai membuang pandangan mereka, menghindari kontak mata dari Angela.

"Aku penasaran, dari mana lebam-lebam pada wajah Stefani berasal. Jangan-jangan itu disebabkan oleh putrimu juga." Angela kembali berucap. Ia lalu meremas tasnya. "Sekolah macam apa ini yang membiarkan muridnya melakukan kekerasan dengan bebas! Kalian ini guru sungguhan atau abal-abal sih?!" bentak Angela dengan keras.

Seluruh guru yang ada di dalam ruangan itu terdiam.

Angela menarik kerah si guru cowok itu dan memaksanya melihat Stefani yang terduduk di lantai dengan menutupi kepalanya dengan tangannya.

"Buka matamu!" kata Angela dengan nada rendah di telinga si guru. "Adikku adalah anak yang ceria yang suka berteman dengan siapapun. Kalau kau memang seorang guru, seharusnya kau mengetahui bagaimana posisi adikku sekarang. Saat Irena menyerangnya, adikku refleks melindungi dirinya seperti ini. Ia tidak pernah melakukannya sebelumnya, bahkan sampai detik ini ia masih saja berada di posisi seperti itu. Kau harusnya tahu apa maksudnya, bukan?" ujarnya lagi.

"Sabar, Bu. Kita bisa bicarakan ini baik-baik." Ujar guru itu dengan mencoba menenangkan Angela. Ia terlihat ketakutan dengan Angela saat ini.

"Aku sudah mencoba untuk berbicara baik-baik kepadamu, namun kalian semua telah melewati batasku. Harus kuapakan orang sepertimu, pak?" tanya Angela lagi. "Kau menutup matamu atas kekerasan yang terjadi pada adikku, sepertinya kau tidak butuh kedua mata itu untuk melihat."

Angela kemudian melempar si guru ke atas meja. Membuat seluruh isi ruangan itu heboh. Ia mengambil bolpoin yang sedari tadi menggelinding di salah satu meja, dilepasnya tutup bolpoin itu, Angela bersiap untuk menancapkan mata bolpoin itu ke mata kanan si guru.

"Waa tolong!" teriak guru itu.

"Gyaa!" pekik yang lain.

"Hentikan, Angela." Ujar sebuah suara yang sukses membuat Angela berhenti.

Ujung bolpoin itu berhenti tepat di depan mata si guru. Sebuah tangan besar memegang tangan Angela, tangan itu kemudian berjalan mengambil bolpoin dari tangannya. Angela menoleh ke arah pemilik tangan itu.

"Tuan Scorgia!" panggil Marcus yang masuk ke dalam ruangan.

Lucas berdiri disebelah Angela dengan memegang bolpoin itu, ia mengambil tutupnya dari tangan Angela dan menutupnya kembali. Lucas kemudian menarik Angela menjauh dari si guru.

Ia lalu mengusap kepala Angela pelan, dipegangnya tangan kiri Angela yang gemetaran akibat menahan emosinya.

"Sshh, tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja, aku ada di sini." Bisik Lucas ke telinga Angela.

Seolah-olah tahu tindakan itu akan membuat Angela tenang dari gejolak emosinya. "Redakan amarahmu, ini perintahku." Bisik Lucas lagi.

Lucas melirik ke arah Stefani yang masih berjongkok gemetaran di bawah sana. Ia menghela nafasnya dengan terus mengusap kepala Angela. Lucas melirik wajah Angela yang masih terdiam dengan menggertakan giginya menatap si guru. Ia lalu menutupi wajah Angela dengan tangan kirinya, agar tidak menjadi pusat perhatian orang lain.

"Tuan Find." Panggil Lucas lagi kepada ketua komite sekolah. Seorang pria setengah baya muncul dari balik Irena dan Ibunya.

"Kami mohon maaf atas kekacauan ini, Tuan Scorgia." Ujar pria itu.

Lucas mengangguk pelan, ia masih mengusap kepala Angela. "Justru saya yang harusnya meminta maaf, maafkan dia yang telah membuat kekacauan di sini."

"Kami akan membereskannya segera, Tuan Scorgia." Ujar pria itu lagi.

"Tidak apa-apa, aku juga sudah mengerti. Marcus." Panggil Lucas. "Tolong urus rencana pemindahan siswi bernama Stefani Putman ke AHS. Aku sendiri yang akan memberinya referensi atas nama Lucas Scorgia."

Marcus mengangguk. "Baik, Tuan."

"Sebelum itu tolong urus Nona Putman dulu. Bawa dia pergi dari sini." Ujarnya lagi yang langsung dilaksanakan oleh Marcus. "Dan oh ya, setelah melihat kejadian ini, aku rasa rencana pembangunan kelas baru sebaiknya di batalkan saja, aku tidak ingin banyak anak berubah menjadi brutal seperti anak itu. Ada baiknya anda membina anak seperti itu, Tuan Find." Katanya lagi. "Benar begitu, Nyonya Find?"

Wanita yang merupakan ibu Irena itu menunduk ketakutan melihat Lucas yang terus menatapnya. Ia tidak menyangka jika Angela memiliki koneksi yang jauh lebih tinggi dari pada suaminya.

Ketika Lucas dan Angela telah pergi dari tempat itu, Irena mulai melemparkan emosinya kepada ibunya. Ia tidak terima saat ia mendengar Stefani akan dipindahkan ke AHS atau lebih dikenal dengan Ascadia High School, sekolah bergengsi yang berisi anak-anak jenius dan kaya raya. Harusnya dia yang masuk ke sekolah itu, bukan si Stefani.

Gadis itu berteriak melampiaskan amarahnya kepada sang ibu, kemudian ia membuang seluruh barang-barang di tasnya. Irena merasa harga dirinya telah hancur.

-Bersambung ke Chapter #12-

avataravatar
Next chapter