webnovel

#10 | DEVIL IN WHITE V

"Tidak perlu, kak!" kata Stefani yang serupa dengan teriakan panik, Stefani refleks memegang tangan Angela dan kemudian memungut obat-obatnya yang terjatuh dengan cepat.

Angela mengambil sebuah obat dengan bungkus berwarna ungu di hadapannya. "Apa ini?" tanyanya.

"Itu obat pereda nyeri, kak. Aku sedang datang bulan." Jawab Stefani dengan menelan ludahnya, ia melihat sebuah obat krusial yang sengaja ia sembunyikan dari siapapun penghuni Silver Oak saat ini. Obat itu terjatuh tepat di belakang kaki Angela. Ia melirik ke arah Angela yang terus memegangi kepalanya dan sesekali mengaduh.

"Kakak sedang sakit?" tanya Stefani berbasa-basi.

"Ah, ya. Kepalaku sakit sekali akhir-akhir ini." Jawab Angela tersenyum. "Aku berniat mengambil segelas air untuk minum. Ngomong-ngomong kau sedang sakit? Obatmu banyak sekali."

Stefani menggelengkan kepalanya. "Umm tidak kok, kak. Aku tidak sakit, ini hanyalah vitamin dan suplement makanan, aku tidak nafsu makan akhir-akhir ini."

Angela mengangguk mengerti. Ia kemudian memegangi kepalanya yang masih sakit. Melihat kesempatan itu, Stefani kemudian mengambil obat yang terjatuh itu dan segera menyembunyikannya di balik punggungnya.

"Kak, aku pergi dulu ya." Kata Stefani terburu-buru meninggalkan Angela.

"Ya hati-hati." Jawab Angela menoleh ke arah Stefani yang berlari meninggalkan dirinya.

*

Stefani segera menaiki tangga dan masuk ke kamarnya, tak lupa ia mengunci pintu kamarnya dan segera berlari ke kamar mandi. Nafasnya terengah-engah, dadanya berdebar-debar, hampir saja ia ketahuan.

Ia segera mencuci mukanya dan mengambil sebotol air yang telah disiapkan sebelumnya. Rasanya sangat haus setelah berlarian dari apotek ke kamarnya, apalagi ia bertemu dengan Angela yang selalu teliti memperhatikan sikap seluruh anak-anak Silver Oak.

Stefani membuka isi kresek yang ia bawa. Sebuah test pack dengan bungkus berwarna merah muda berada di tangannya sekarang, ia menelan ludahnya ketika ia membaca petunjuk cara penggunaannya. Setelah itu ia membuka bungkusnya dan mencobanya.

Stefani mondar-mandir di dalam kamar mandi dengan mengigiti kukunya, baginya menunggu hasil selama tiga menit itu terlalu lama. Diliriknya jam tangan yang ia pakai, sudah tiga menit. Stefani segela mengecek hasilnya.

Tangannya gemetaran saat ia memegang alat itu, matanya tertutup rapat, ia masih belum siap melihat hasilnya, tapi dia penasaran. Stefani mencoba untuk menarik nafasnya dan mengeluarkannya perlahan, ia harus tenang.

Stefani membuka satu matanya. Hasilnya satu garis berwarna merah.

"Negatif!" pekik Stefani. "Syukurlah."

Namun, meski begitu, Stefani tetap tidak bisa menyangkal kesedihan dalam hatinya. Ia terduduk di lantai kamar mandi dan mulai menangis.

Beberapa hari yang lalu, ketika ia hendak pulang ke rumah, Stefani di hadang oleh segerombolan teman-teman satu sekolahnya. Teman-teman cewek yang suka membully Stefani itu memaksannya untuk ikut bermain ke tempat karaoke.

Disana Stefani dipaksa untuk melayani salah seorang anak berandalan dari SMA lain agar teman-temannya mendapatkan uang jajan. Ya, Stefani dijual sendiri oleh si tukang bully. Parahnya lagi, yang memperkosanya itu tidak mengenakan pengaman. Oleh karena itu, ia menjadi terus siaga dan ketakutan.

Stefani memberanikan dirinya untuk datang ke apotek siang ini. Ia membeli testpack dan juga beberapa obat pencegah kehamilan. Awalnya ia tidak terlalu mengerti apa kegunaan dua benda itu.

Saat itu Stefani tidak sengaja mendengarkan Angela yang frustasi berbicara sendiri saat ia hendak menemui Angela di kantornya. Angela menyebutkan mengenai test pack dan juga obat pencegah kehamilan, Stefani jadi yakin untuk membelinya.

Setelah ia menangis cukup lama, Stefani memutuskan untuk meminum obat itu sesuai dengan petunjuk yang tertulis pada bungkusnya. Ia berharap, ia tidak hamil karena kejadian itu atau mungkin kejadian-kejadian yang berikutnya.

Berbicara mengenai si pembully Stefani, namanya Irena. Seorang siswa berparas cantik dengan rambut hitam mengkilat dan mata besar berwarna cokelat. Irena terkenal di sekolahnya, tidak hanya karena kecantikannya, tapi juga kebrutalannya membully anak-anak.

Stefani hanyalah sekian dari banyak anak yang menjadi kacung kesayangan Irena. Awalnya, Stefani tidak begitu mempedulikan Irena dan para kacung yang terdahulu. Stefani takut jika ia menyelamatkan kacung-kacung itu, ia akan terkena imbasnya, oleh karena itu ia berusaha untuk tidak menjalin kontak apapun dengan si Irena.

Stefani lebih banyak berlari dan menghindari Irena, namun, hanya karena Stefani sering membuang muka dan menghindarinya membuat Irena semakin tertarik akan dirinya. Bahkan sangking tertariknya Irena kepada Stefani membuat seluruh kacung itu bahagia, karena Irena hanya terfokus kepada Stefani dan tidak memedulikan yang lain.

Dirinya pernah meminta bantuan pada para kacung, namun mereka tidak ingin membantunya. Bagi mereka kebebasan adalah harta yang tidak ternilai dengan apapun. Mereka malah memberikan Stefani kepada Irena agar mereka tidak menjadi kacung lagi.

Kemarin Stefani terlalu lelah karena banyak menangis sehingga ia berlari cukup lambat untuk membelikan Irena dan kawan-kawannya makan siang.

"Lama sekali, lama tidak bertemu denganku membuatmu semakin lambat, siput." Kata Irena dengan menyahut kresek makanan yang di bawa oleh Stefani.

"Ma-maaf." Jawab Stefani setengah ketakutan.

"Pergi sana! Membosankan sekali melihat wajahmu!" kata Dita, teman Irena yang berambut pendek.

Stefani mengangguk, ia memberikan salam dan kemudian berjalan masuk ke dalam kelasnya. Namun, sebelum akhirnya ia masuk ke dalam kelasnya, ia terkejut saat Irena melemparinya kresek yang berisi makanan yang ia beli tadi.

"Hei! Rotinya tidak enak, kau sengaja ya!" kata Irena dengan berjalan cepat ke arahnya. Ia kemudian menarik kerah baju Stefani. "Kau sudah berani ya rupanya!" ujar Irena dengan memukul Stefani tepat pada pipi merahnya.

Banyak yang melihat perudungan Stefani di kelas itu, namun semuanya memilih untuk menutup mata. Lalu peran guru? Mereka tidak berguna. Bahkan seorang guru laki-laki yang hendak mengajar di kelas Stefani hanya melengos, seolah-olah itu adalah tontonan yang biasa dan tidak perlu untuk diatasi.

Stefani berjalan kesakitan menuju ke kamar kecil, ia kemudian mencuci mukanya dan memberikan salep pada lebam-lebam di keningnya sendiri. Ia berharap, lebam-lebam itu akan segera sembuh ketika ia pulang dari sekolahnya, jika tidak Angela akan bersedih melihatnya begini.

Saat Stefani kembali ke kelasnya, ia melihat guru laki-laki itu berada di depan bangkunya dan sedang membongkar isi tasnya.

"Pak, apa yang bapak lakukan?" tanya Stefani dengan menarik tubuh si guru. "Bapak mengobrak-abrik isi tas saya tanpa menanyakan kepada saya dulu!"

"Kudengar dari teman-teman kelasmu, kau selalu membolos kelasku untuk merokok di atap gedung sekolah. Sekarang berikan rokoknya kepada bapak." Kata guru itu dengan dingin.

Apa? Rokok?

Stefani menggelengkan kepalanya. "Pak, saya terlahir dengan penyakit asma, untuk apa saya merokok?"

Bapak guru itu menyeringai tidak percaya kepada Stefani, ia lalu menunjuk ke bawah kaki Stefani. "Kalau kau memang tidak merokok, lalu apa itu?"

Stefani menatap ke bawah kakinya, sebungkus rokok berwarna merah terjatuh di bawah kakinya. Ia terkejut. "I-ini tidak benar, Pak!"

Guru itu kembali membongkar isi tasnya dan menemukan sebungkus rokok lagi dengan merk yang sama. Stefani semakin terkejut, ia teringat dengan rokok itu, itu adalah rokok yang selalu di konsumsi oleh Irena.

Stefani melirik ke arah Irena yang hanya tertawa melihatnya.

"Lalu ini apa juga? Kau mencoba berbohong kepada bapak?" tanya si guru.

"P-pak ini salah paham. Itu adalah rokok Irena, aku tidak pernah merokok!" tanya Stefani membela dirinya sendiri. "Teman-teman tolong katakan yang sesungguhnya, aku tidak pernah merokok, ini adalah rokok Irena, kalian pernah melihatnya sendiri, bukan!"

Stefani mencoba untuk mencari pembelaan kepada seluruh teman di kelasnya, namun yang ada mereka malah tidak memedulikan Stefani. Ada yang membuang mukanya, ada yang berpura-pura membaca buku, ada yang langsung memakai earphone, dan ada yang nyengir melihat Stefani seperti ini.

Tidak ada yang membelanya.

"Ayo ke ruang guru, Stefani! Kau ini sudah salah tidak mau mengaku pula!" kata si guru dengan membawa dua bungkus rokok itu dan menarik tangan Stefani.

Stefani terdiam, ia masih syok dengan cara pandang teman-temannya kepada dirinya. Semua teman-temannya tidak ada yang membelanya. Mereka takut kepada Irena. Apa yang Irena ucapkan adalah perintah. Termasuk memerintah temannya menjadi buta terhadapnya.

*

Angela turun dari taksi dengan terburu-buru, ia berlari kecil masuk ke dalam halaman sekolah sembari memegangi rambutnya yang berkibar di terpa angin. Ia berjalan melewati koridor kelas.

Seluruh teman kelas Stefani terpukau dengan kedatangan Angela yang berjalan melewati ruang kelas Stefani. Tidak ada yang pernah melihat wanita secantik dan seanggun Angela. Mereka tidak percaya bahwa Stefani memiliki wali secantik Angela.

Melihat seluruh teman-temannya terpukau dengan kedatangan Angela, Irena semakin marah, ia kemudian mematahkan pensilnya sendiri.

Dari luar, Angela bisa mendengarkan suara Stefani yang berteriak membela dirinya sendiri. Ia mengetuk pintu dan langsung di persilakan untuk masuk.

"Bukan aku pelakunya, pak! Aku sangat membenci rokok, untuk apa aku membawa rokok jika aku membencinya!" ujar Stefani dengan nada tinggi ditelinga si guru.

"Selamat siang." Sapa Angela.

Sang guru terpukau melihat Angela, ia segera berdiri dari duduknya dan memberikan salam kepada Angela. "Se-selamat siang." Jawabnya.

Stefani memutar matanya, ia heran mengapa si guru memanggil Angela disaat seperti ini? Menjengkelkan.

Angela memegangi tangan Stefani saat si guru mencoba menjelaskan apa yang terjadi. Hal itu sukses membuat Stefani meredakan emosinya.

"Jadi, menurut bapak, adik saya ini sering merokok di sekolah?" tanya Angela lagi dengan melirik ke arah Stefani. Stefani menundukan kepalanya.

Si guru tertawa mengejek, "bukankah itu sudah jelas, banyak teman-temannya yang mengatakan iya dan juga dua bungkus rokok ini ada di dalam tasnya."

"Apakah bapak sudah mencoba untuk menyelidikinya dulu?" tanya Angela lagi. "Seperti mengendus tubuh adik saya untuk memastikannya? Misalnya."

Stefani dan Pak Guru itu terkejut mendengarnya. Tidak ada yang menduga apa yang akan diucapkan oleh Angela. Tidak hanya dua orang itu saja, seluruh guru yang ada di ruangan itu terkejut dan menghentikan aktifitasnya seketika.

"A-apa maksud anda, Bu? Ahahaha apakah anda mencoba untuk menghina saya?" tanya si guru.

Angela menghela nafasnya. "Stefani memiliki penyakit keturunan dari ibunya yang menderita asma. Lalu coba anda pikirkan lagi dengan logika anda, apakah ada orang yang terkena asma akut seperti adik saya ini mencoba untuk menghisap rokok-rokok ini?" tanya Angela dengan nada yang tenang namun sarkas.

"Lalu mengapa benda ini ada di dalam tas adik anda, Bu?" tanya pria itu dengan menyipitkan matanya.

Angela menghela nafasnya lagi. "Sebelum saya datang, apakah kau sudah menceritakan kepada pria bodoh ini siapa pemilik rokok ini, Stefani?" tanya Angela kepada Stefani.

Stefani mengangguk. "Ini milik Irena." Kata Stefani pelan.

"Omong kosong!" guru itu memukul meja kerjanya, membuat Angela dan Stefanie seketika tersentak kaget. "Jika memang benar Stefanie tidak merokok, lalu mengapa benda ini ada di dalam tasnya?"

"Jelas sekali ada yang menjahili adik saya dan yang jelas kejahilannya tidak bisa dianggap remeh, Pak." Jawab Angela santai.

Guru itu memandang Angela dengan tatapan remeh, senyumannya pun terlihat sangat meremehkan Angela, "bu, saya katakan sekali lagi kepada anda," lanjutnya, kedua tangan guru itu sekarang sudah berada di pinggang, "adik anda sering membolos pelajaran saya, seluruh teman-temannya tau jika Stefanie selalu merokok di atap sekolah, bukankah itu sudah jelas? Ditambah dengan rokok yang ada di dalam tasnya dan itu adalah bukti konkret!"

"Tidak mungkin aku merokok, pak! Rokok itu jelas-jelas milik Irena." Bantah Stefanie. "Kak, kau tahu sendiri rasa benciku terhadap rokok, tolong jelaskan kepada guru ini, aku tidak merokok dan rokok itu adalah milik Irena."

Stefanie memegang lengan Angela, meremasnya karena ketakutan. Melihat reaksi Stefanie yang seperti itu, seketika Angela menoleh ke arah si guru. Dirasa tidak perlu banyak basa-basi lagi, ia memiringkan kepalanya, memberikan isyarat kepada si guru untuk meminta kejelasan.

Guru itu kemudian menghela nafasnya, ia lalu menyuruh salah seorang guru yang lain. "Panggil ibu Irena kemari." Ujarnya.

-Bersambung ke Chapter #11-

Jadi, pesan dari chapter ini adalah pecat saja gurunya wkwkwk

Hai, Karlvier disini! Terima kasih telah membaca Shameless hingga chapter 10. Jangan lupa berikan komentar berupa ulasan dan bintang kalian jika kalian menyukai Shameless. Tambahkan Shameless pada daftar baca agar kalian tidak ketinggalan jika ada update selanjutnya.

Cinta dan support kalian adalah kekuatan bagi Karlvier! Uhuy!

Sekedar informasi, kedepannya Shameless akan tetap di update hari Sabtu dan Minggu tiap pukul jam 12 siang dan jam 10 malam.

Sampai jumpa di chapter 11 minggu depan! <3

Karlviercreators' thoughts
Next chapter