webnovel

01. Kenangan Masa Lalu

01. Kenangan Masa Lalu

"Setetes rasa beriak mengulum pekat dalam keabu-abuan. Lekat menyentuh pedih, tersulut disenyum hujan." -JAI

Tatapannya riang menatap sisa kepingan masa kecil. Di balik sebuah foto lama yang terpajang di kamar, waktu seakan menyedot pikirannya jauh ke dalam ruang masa. Betapa indahnya masa kecil itu. Ia tak butuh teman yang banyak. Hanya senyuman kecil dari bocah ingusan dapat memberikannya hari yang tak berujung.

Tangan kecil itu menggapai ujung pundak Kelly. Terlukis selapis senyum di sela bibir tipis bocah di sampingnya. Senyumnya terang bagai membelokkan cahaya senja pada saat itu. Bermandikan keringat yang menyesap, baju kaos yang lusuh membungkus tubuh mungilnya. Ia berjinjit untuk menggapai ujung pundak kanan Kelly.

Senyum Kelly tampak lebar pada foto usang di dinding. Kadang ia tertawa saat tersadar betapa kumal dirinya dahulu, bahkan melebihi bocah laki-laki di sampingnya. Kulitnya lebih coklat daripada bocah itu. Kaki tak bisa disebut kaki lagi, kotor direngkuh oleh sensasi bermain lumpur kubangan yang terik.

Dentingan jarum jam membuatnya sadar, itu hanyalah secercah masa lalu yang tak akan pernah kembali lagi. Sekuat apapun ia berharap, sebesar apapun suaranya untuk merintih doa, masa itu tidak akan datang menghampiri.

Memang pedih menagih sebuah janji yang tak kunjung ditepati. Tak terhitung lagi berapa kali air mata yang tumpah oleh perpisahan yang menyakitkan. Ia kehilangan, hampa, dan sepi. Sahabat dengan senyum manis bermata sayu itu pergi hanya pamit dengan sebuah surat. Bukan surat yang ia inginkan, tetapi wajah dan pelukannyalah yang tak bisa ia tinggalkan.

Bocah itu pernah berjanji untuk mengetuk rumahnya lagi sembari memanggil nama Kelly. Memanggilnya dengan keras seperti di masa itu, berteriak kuat bagai tak ingin ketinggalan senja yang merangkak tenggelam. Tetap saja itu hanyalah janji anak kecil dan bahkan mungkin bahwa ia tak sadar bahwa itu adalah sebuah janji. Bocah itu tak pernah datang. Menghilang seperti ditelan bumi, tanpa kabar dan berita.

"Kamu bohong, Nathan," ucap Kelly kepada foto usang di dinding kamarnya.

Tak cukup waktu pagi ini untuk terus bernostalgia. Biarlah kenangan itu terkubur selamanya. Kelly menatap wajahnya sendiri di cermin. Betapa cantiknya wanita berhati sepi walaupun hanya selapis bedak yang melapisi. Ia mengerjapkan mata untuk memamerkan bulu mata yang melentik bagai gulungan ombak itu. Tampak cantik dan sempurna.

"Mama, Kelly pergi ke sekolah dulu." Kelly mencium paksa tangan Mama.

"Eh, tidak boleh ke sekolah kalau tidak sarapan. Kelly makan dahulu rotinya," ujar Mama sambil menahan tangan Kelly. Ia menunjuk menu sarapan di atas meja.

"Iya, Kelly makan, kok." Tangan Kelly meraih roti selai kacang yang sudah dipersiapkan oleh Mama. Susu di gelas hanya setengah ia minum. Kelly sudah tak sabar untuk menikmati hari pertamanya di SMA. Langkahnya terburu-buru saat melambai pada Mama. "Kelly pergi dulu ya, Ma."

"Kelly ...," panggil Mama.

"Iya, Ma?" jawab Kelly. Di mulutnya masih tergigit selapis roti kacang. Tangannya tak sempat menyuapi karena sedang sibuk mengikat tali sepatu.

"Cari teman yang baik-baik. Jangan salah pergaulan. Masa SMA itu masa yang─"

"Iya, Kelly tahu, Ma. Kelly bisa jaga diri, kok." Kelly tersenyum pada Mama. Ia memberi keyakinan pada Mama bahwa dirinya bisa menjaga diri.

"Hati-hati di jalan, ya. Jangan kebut-kebutan pakai sepedanya."

"Tidak, Kelly mau balapan sama pengendara lain." Kelly tertawa.

Ia mengambil sepeda berkeranjang di garasi, mengayuhnya dengan perasaan gembira. Kelly lebih suka memakai sepeda untuk pergi ke sekolah. Selain menyenangkan, bersepeda juga menyehatkan. Iring-iringan mobil mulai memanjang sepanjang jalan menuju sekolah. Klakson kendaraan tak henti-hentinya berbunyi. Kemacetan pertama yang dilihat Kelly di jalanan menuju sekolah.

"Inilah manfaat memakai sepeda," kata Kelly sambil mengayuh sepedanya di trotoar. Ia memecah kemacetan jalanan dengan mudah. Keranjang di depannya berbunyi tatkala sepeda melewati jalan yang tidak rata.

Terdapat sebuah parkiran sepeda yang sudah hampir penuh. Ia memarkirkan sepedanya di sana. Hanya sepeda Kelly yang terdapat keranjang di depan. Selebihnya adalah sepeda olahraga yang banyak digunakan sama murid laki-laki.

Kebingungan melanda dirinya. Kelly tak tahu harus ke mana. Kelas yang akan dimasuki belum ditentukan. Ia mengekor ke mana saja murid baru berjalana. Ia malu untuk sekedar menyapada dan bertanya. Maklum, ia baru saja melakukan adaptasi dengan sekolah barunya.

"SELURUH MURID BARU SMA CENDANA BERKUMPUL DI AULA SEKOLAH!" Pengumuman itu berbunyi di setiap sudut sekolah.

Mata Kelly menangkap murid-murid yang sedang digiring ke aula sekolah. Ia mengikutinya hingga menuju ke sebuah gedung. Kakak-kakak OSIS berdiri di pintu utama untuk menyambut kami. Mereka berseragam OSIS SMA Cendana.

Setiap pasang mata menangkap hadirnya Kelly saat memasuki gedung. Tampil sederhana, tapi masih terlihat begitu cantik. Mata bulatnya mencari kursi yang akan ia duduki. Ia mendapatinya di bagian tengah deretan tempat duduk.

Acara dimulai. Seorang murid sekaligus pembawa acara berhasil mendapatkan perhatian kami. Ia mempersilahkan orang nomor satu sekolah untuk memberikan sambutannya.

"Sekali lagi, selamat datang di SMA Cendana. Semoga kalian dapat berprestasi di sini," ucap Kepala Sekolah di bagian akhir sambutannya. Seluruh murid riuh oleh tepukan tangan. Semuanya bangga telah berhasil memasuki sekolah yang bisa dibilang terfaforit di Kota Pekanbaru.

"Kurasa kita tidak salah memilih sekolah ini. Benar tidak?" tanya murid perempuan di samping Kelly. Ia melirik perempuan itu.

"Aku?" Kelly menunjuk dirinya sendiri. Tingkahnya terlihat kaku terhadap orang baru.

"Iya, kamu. Benar, kan?" tanya perempuan itu lagi.

"Aku rasa benar juga. Dari dulu aku memang ingin masuk sekolah ini."

Perempuan itu mengangguk. Kelly memperhatikan detail wajahnya. Wajahnya cantik, tapi tak seputih Kelly. Matanya berkelopak lebar dengan sedikit rona merah hasil polesan make up yang ia kenakan. Sudut bibirnya melebar membentuk senyum pada Kelly.

"Pertama aku mau sekolah di luar kota, tempat nenek aku di Bandung. Tapi, tidak diizinkan. Jadinya aku sekolah di sini," ucap gadis itu tiba-tiba.

Kelly mulai merasa nyaman dengan wanita di sampingnya. Wanita itu cukup akrab walaupun baru berjumpa.

"Aku Alena. Kamu?" Ia menyodorkan tangannya pada Kelly.

"Kelly, Kelly Vanesa. Nice to meet you."

"Nice to meet you too. Semoga kita bisa sekelas, ya," balas Alena dengan menyimpulkan senyum.

***