17 Berbeda Dari yang Lain

"Kamu pasti bercanda, kan, Dik?" tanya Leony sambil menaikkan sebelah alisnya.

"Buat apa aku bercanda? Aku serius, loh. Aku pikir-pikir dengan cara itu ayahku bisa melepaskanmu bersamaku."

"Jadi, kamu yang enak, bukan aku dong." Leony masih berada di atas tubuh Dika. Seakan enggan untuk turun dari situ.

"Bukankah kita sama-sama enak nanti? Bisa terus begini?" Dika mulai terlihat jail pada Leony.

Mendadak saja, Dika menjadi pria yang agresif, yang selalu ingin bersama dengan Leony. Secepat ini perasaannya tumbuh untuk wanita itu. Lagi pula, Leony pun menikmati permainan mereka saat ini.

Tiba-tiba, ponsel Dika berdering di dalam saku celana. Leony tersentak dan turun dari atas tubuhnya. Kedua bola mata Dika melebar ketika melihat nama sang Ayah yang sedang memanggilnya saat ini.

"Ayah?"

Leony menatap serius ke arah Dika. Ia menyuruh pria itu untuk mengangkat panggilan Arif.

"Angkat aja. Gak apa-apa, kok."

"Tapi, kamu diam, ya, jangan bicara."

Leony mengangguk patuh, layaknya anak kecil yang polos. "Baiklah."

Dika sedang teleponan dengan Arif. Pria paruh baya itu ternyata menyuruhnya untuk segera pulang ke rumah. Tanpa ingin berlama-lama, Dika langsung memutuskan panggilan itu secara sepihak.

"Ayah menyuruhku untuk pulang." Dika menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

"Ya udah, pulang aja kalau begitu."

Dika tersenyum manis ke arah Leony. Perasaannya mendadak tak ingin pergi jauh dari sisi wanita itu. Namun, karena tak ingin membuat Arif curiga padanya, ia pun lantas bersiap diri untuk pulang.

Dika membenarkan kemeja panjangnya yang sedikit lusuh. Kemudian, mengenakan jas agar terlihat rapi seperti di awal tadi. Tak lupa, ia gunakan masker duckbill untuk penyamarannya di depan Mira nanti.

"Aku pulang dulu, ya."

"Iya," balas Leony.

***

Dika baru saja sampai di rumah. Pandangannya langsung tertuju pada Arif yang sudah berdiri di depan pintu masuk seraya berkacak pinggang. Ia mengembuskan napas panjang dan berharap agar sang Ayah tak banyak bertanya tentang kepergiannya tadi.

"Dari mana aja kamu?" tanya Arif tanpa basa-basi.

Baru beberapa langkah, Dika langsung dicecar dengan pertanyaan tersebut. Pertanyaan yang membuatnya bingung harus menjawab apa.

"Aku tadi habis ke luar sebentar, Yah, nyari angin."

"Alah! Pasti kamu bohong, kan?"

"Mana pernah aku bohong? Aku memang mencari angin, kok. Pengen jalan-jalan sebentar. Sumpek di rumah terus lihat Ayah selalu nyari masalah sama Ibu," sindir Dika.

"Jaga ucapan kamu, ya! Memang Ibu kamu aja yang lemah mental. Dia sakit-sakitan terus, kapan sih matinya?!"

"Ayah, cukup, ya! Jangan bicara hal seperti itu lagi di depan aku. Atau aku akan–"

"Akan apa, hah? Dasar bocah ingusan. Berani kamu sama aku, ayahmu sendiri?" Arif memajukan langkahnya dan bertatapan tajam dengan sang anak.

Namun, Dika tak pernah merasa takut dengan ayahnya sendiri. Ia tak mau, kalau Rani dikata-katai seperti itu terus. Alhasil, ia mendorong bahu Arif agar dirinya bisa melewati pintu masuk. Terlalu lelah untuk ini semua, pikir Dika.

"Dasar anak gak tau diuntung kamu, ya! Awas aja nanti." Arif merasa geram sekali dengan sang anak. Melihat anak semata wayangnya seperti itu, tak hormat sama sekali membuatnya kesal.

Dika terus saja berjalan, menaiki anak tangga dengan langkah cepat. Walaupun, ia masih bisa mendengar teriakan Arif dari luar, tapi dirinya sama sekali tak peduli. Terpenting sekarang adalah Rani, ibunya yang berdiam diri di kamar.

Saat hendak membuka kenop pintu karena sudah berada di depan, tiba-tiba saja terlintas wajah cantik Leony. Dika pun memejamkan mata dan mengembuskan napas secara perlahan. Mencoba membuang jauh bayangan wanita itu dari dalam pikirannya.

"Gak usah mikirin Leony sekarang!"

Ia langsung membuka kenop pintu dan mendapati bahwa Rani sepertinya sudah tidur. Dika duduk perlahan di tepi ranjang tanpa ingin mengganggu wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu. Ia amati setiap lekuk wajah Rani yang setiap hari, semakin terlihat keriput karena usianya.

"Ibu harus sembuh seperti sedia kala, ya. Aku gak mau kehilangan Ibu."

***

Leony sedang mematut dirinya di depan cermin rias yang besar. Duduk sambil menghapus bekas make-up yang sedari tadi ia gunakan. Kapas putih pun kini sudah penuh dengan bekas riasan make-up serta sisa lipstik merah merona.

Namun, sesaat kemudian, Leony mendadak memikirkan Dika. Pria yang bersamanya sejak tadi. Pria yang baru pertama kali membuatnya begitu nyaman.

"Dia minta aku jadi pacarnya? Gak salah tuh?" tanya Leony.

Leony telah berganti pakaian dengan baju tidur. Wanita itu siap-siap ingin naik ke atas ranjangnya. Malam semakin larut saja, tapi ia masih belum tidur.

"Apa aku harus jadi pacarnya supaya Mas Arif bisa melepaskan aku?" Leony naik perlahan ke atas ranjang dan merebahkan tubuhnya.

Perasaannya semakin bimbang saja. Ajakan Dika untuk menjadikan kekasih, membuatnya begitu ragu. Ia seharusnya tak melayani pria itu malam ini. Hatinya mendadak sedikit meluluh dan menghangat. Baru kali ini, Leony merasakan perasaan yang seperti ini.

"Aku kenapa, ya?" Leony bertanya-tanya pada diri sendiri tentang kejadiannya malam ini bersama Dika. "Apa aku mulai ada rasa sama Dika?"

Sedetik kemudian, Leony langsung menggeleng-gelengkan kepala. Mustahil perasaan itu datang secara tiba-tiba. Baru beberapa kali bertemu, tapi sudah menumbuhkan rasa. Dan, bagi Leony itu semua mustahil.

Ia tak mungkin memiliki rasa pada Dika, anak dari Arif yang merupakan pria hidung belang dan tipikal suami yang tidak setia. Bagaimana bisa, Leony harus masuk ke dalam dunianya Dika?

"Hmm, gak mungkin aku suka sama dia. Gak mungkin!"

Leony dengan cepat menghilangkan bayang-bayang Dika dari dalam pikiran. Ia lebih memilih untuk tidur saja sekarang. Ia tarik selimut hingga batas dagu dan menutup kedua matanya perlahan.

***

Malam semakin larut dan jam terus melaju dengan cepat. Namun, Dika masih tak bisa tidur juga. Saat ini, ia malah memikirkan Leony di tempat prostitusi itu. Entah kenapa, wanita itu malah menceburkan diri ke tempat terkutuk tersebut.

"Dia cantik dan seksi. Aku mulai tergoda padanya. Pantas saja si Ayah menyukai Leony." Dika mengembuskan napas panjang dan matanya menatap ke langit-langit kamar.

Malam ini menjadi malam yang terindah baginya. Di tempat prostitusi itu, ia bisa bersama dengan Leony dalam satu kamar, berdua. Ia juga melihat kemolekan tubuh Leony yang membuat kedua matanya seakan tak henti berkedip melihat keindahannya.

"Kok, dia gak mau jadi pacarku, ya? Biasanya para wanita selalu mendambakanku." Dika mengerutkan kening seraya berpikir keras. Apa yang membuat Leony menolak untuk jadi kekasihnya.

Dika menganggap Leony adalah wanita yang berbeda dari kebanyakan. Banyak dari kaum hawa yang ingin menjadi kekasihnya. Namun, berbeda sebaliknya.

avataravatar
Next chapter