9 Set dan Aritmetika | Part 1

0

Bila kita menutup mata terhadap fakta pendapatmu sepenuhnya salah, kau sebetulnya benar.

1

Aku membangunkan Kunagisa yang tertidur, memaksanya membasuh wajah, dan mengikat ekor kuda rambut birunya. Kemudian, masih setengah tertidur dan aku setengah menggendongnya, kami pindah ke ruang makan, di mana semua orang dari mansion sudah berkumpul.

Meja bundar, dua kursi kosong.

Aku bantu Kunagisa ke kursinya dan kemudian duduk di sebelahnya. Saat duduk di kursi, kulihat sekilas sekeliling meja, mata tertuju pada setiap orang.

"…"

Dari dua belas orang yang hadir, orang yang paling menarik perhatian─dan aku tidak yakin apa ini perlu dikatakan atau tidak─tidak lain nyonya rumah megah ini, Iria Akagami. Konsep kecantikan sepenuhnya subjektif, bervariasi dari satu orang ke orang lain, jadi mengatakan Iria cantik mungkin tidak berguna. Jika kusebut dia cantik, itu hanya kurasakan secara pribadi dan tidak lebih. Selain itu, Akari si maid jauh lebih sesuai seleraku, selama kita bicara soal preferensi pribadi. Tidak, kurasa itu tak relevan.

Sungguh.

Untuk memberi sesuatu yang lebih objektif, Iria Akagami itu wanita berkelas. Rambut hitam cantiknya digulung indah, ditambah gaun yang tampak mahal. Dia sebenarnya agak kurang cocok, namun sifat mewah nan berlebihan lebih dari cukup untuk menutupi. Dia tampaknya seumuranku, masih berusia dua puluhan, tapi sobat, pola asuh dan garis keturunan benar-benar berpengaruh pada seseorang. Tentu saja, selalu ada faktor lain pula, tapi hal itu mestilah memainkan peran penting. Selalu begitu.

Iria Akagami.

Cucu Yayasan Akagami sekaligus kambing hitam.

"Kalau begitu, sebab Kunagisa sudah tiba, ayo kita mulai bagian terbaik hari ini?" Dia menyatukan tangannya seperti anak kecil dan berkata, "Terima kasih untuk makanannya." Sepertinya dia agak kurus. Mungkin disebabkan dia kurang mementingkan hal itu, tapi sama saja pada akhirnya.

Kebetulan, pulau ini, di mana sebagian besar orang bebas melakukan apa saja, terdapat satu aturan: "Kita semua makan malam bersama." Aturan sederhana yang seharusnya tak sulit untuk diikuti oleh siapa pun, tapi pada kenyataannya, beberapa pria dan wanita berbakat gagal mengikuti aturan itu dan akhirnya dipersilakan meninggalkan pulau. Ada banyak kesamaan antara seorang jenius dan orang yang kurang berbudi pekerti, tak kenal sopan santun.

Iria duduk bersama dua pelayan di kedua sisinya: Teruko dan Rei di kiri, Akari dan Hikari di kanan. Tidak ada cara untuk membedakan antara Akari dan Hikari, jadi aku tidak bisa membedakan keduanya. Secara teori seseorang dapat membedakan mereka melalui ekspresi wajah dan gerak tubuh mereka dan sebagainya, tapi untuk tipe non-pengamat sepertiku, hal itu terbukti menantang. Kunagisa tampaknya bisa membedakan keduanya (bukan misteri, sebab dia Tomo Kunagisa), namun dari apa yang kudengar, nyonya mereka Iria pun tidak mampu. Tapi para kembar itu kelihatannya tidak keberatan.

"Sekarang, semuanya angkat gelasmu… Bersulang!" katanya dengan suara nyanyian, gelas terangkat tinggi di udara. Semua orang, termasuk diriku, melakukan aksi serupa. Perlu dicatat gelasku dan gelas Kunagisa diisi bukan anggur, melainkan jus.

Kami masih di bawah umur.

Sejumlah hidangan ditata apik di sekeliling meja. Deretan sajian itu merupakan mahakarya membanggakan dari koki jenius Yayoi Sashirono. Aku akan mulai dengan hidangan paling dekat denganku dan berurutan dari sana:

Daging domba panggang, sup kentang manis berbahan dasar cappucino, foie gras terrine dengan truffle gnocchi, kerang biru kukus, belut rebus saus hijau à la berge, acar ikan haring, sashimi daging paus. Ravioli dilapisi saus, carpaccio daging burung unta. Salad buah, salad kentang dengan telur, dan terakhir tumis jamur minyak.

"…"

Ya, aku tidak bisa menghafal setengah nama hidangan tersebut.

Mungkin Yayoi memasak begitu banyak agar selera belasan orang terpenuhi tanpa rima atau alasan, namun bahkan setelah mendengar namanya, aku tidak tahu. Menurutku, nama tak memiliki pengaruh begitu mendalam pada benda (atau makanan, pada kasus ini) itu sendiri.

Kupikir.

Setelah semua ini, ternyata disediakan pula makanan penutup. Jika dipikir baik-baik, jumlah makanannya benar-benar berlebihan. Dan dengan Yayoi sebagai maestro kuliner, saking lezat makanannya sampai-sampai aku sama sekali tidak memperhatikan berat badanku. Memang, Yayoi rupanya telah memperhitungkan hal itu pula pada masakannya.

"Meski memperhitungkan nilai gizinya, ini masih luar biasa. Dia sungguh-sungguh jenius," gumamku pada diriku sendiri, dan bukan pertama kali.

Omong-omong, aku sudah mengobrol sebentar dengan Yayoi saat makan siang. Ketika pergi ke ruang makan, dia kebetulan satu-satunya orang di situ, jadi kugunakan kesempatan itu untuk menanyakan gosip populer tentang dia.

Dengan kata lain, kekuatan rahasia apa yang memungkinkan hidangan apa pun buatannya terasa lebih baik dibanding buatan koki lainnya?

Itulah pertanyaannya.

Mendengar itu, Yayoi tertawa terbahak-bahak.

"Aku khawatir kenyataan tak seindah legenda. Tidak seperti Himena, aku tidak memiliki kekuatan super liar. Pada dasarnya, hanya usaha dan disiplin. "

"Betulkah?"

"Yah, kurasa aku bisa membayangkan apa pemicunya hingga rumor semacam itu tersebar. Indra perasa dan penciumanku sedikit, yah, jauh lebih kuat daripada orang kebanyakan." Dia menjentikkan lidah. "Sebagai contoh anekdot, ah, oke, seperti Helen Keller. Dia buta, tapi mereka bilang dia bisa membedakan orang hanya dari baunya. Aku kurang lebih seperti itu. Penciumanku tidak terlalu luar biasa, tapi, misalnya…"

Dia meraih lenganku dan, tanpa peringatan, menjilat punggung tanganku. Aku tidak pernah memimpikan ini dan nyaris menjerit namun entah bagaimana berhasil kutahan.

Lidahnya masih terjulur keluar, dia mengernyih bak Einstein. "Golongan darahmu AB, bukan?" tebak dia. "Negatif, kan?"

Dia tepat sekali. Ketika aku mengajukan paspor, seorang dokter kesmas bilang padaku, "Kamu punya golongan darah langka." Jadi Yayoi memang benar, tapi…

"Kamu benar-benar bisa tahu semua itu hanya dengan menjilat kulitku?"

"Nah, menjilat keringatmu, lebih spesifiknya. Lidahku sanggup membedakan antara sekitar dua puluh ribu rasa, masing-masing dibagi dua puluh tingkat intensitas. Indra penciumanku mungkin sekitar setengah dari itu, kukira." Dia memiringkan kepalanya sambil berpikir. Tingkah laku yang lucu. "Aku tak pintar seperti Sonoyama; Aku buruk dalam seni, tidak seperti Ibuki; Aku tidak terlalu ahli dengan mesin seperti Kunagisa; Aku pastinya tidak memiliki kemampuan psikis seperti Himena; dan tidak banyak lagi yang bisa kukuasai, namun aku hanya memiliki satu kemampuan ini sejak kecil. Kupikir berkiprah sebagai koki satu-satunya cara untuk memanfaatkan bakatku."

Rasanya sempurna, begitulah sebutannya.

Ini bagaikan versi pengecap dari nada sempurna (perfect pitch), kecuali pengecap sempurna bukanlah sesuatu yang bisa kau peroleh melalui latihan saja. Dengan kata lain, terus terang Yayoi Sashirono itu salah satu dari sedikit orang beruntung dikaruniai langsung oleh Tuhan. Di antara mereka yang amat terampil, ada dua jenis orang: mereka yang dipilih, dan mereka yang memilih diri mereka sendiri—mereka yang memiliki nilai, dan mereka yang menciptakan nilai. Tentu saja, Yayoi disiplin dan ulet, tapi dia jelas seorang jenius dari tipe pertama.

Jadi karir seorang koki sebenarnya bukanlah sesuatu yang dia pilih. Dia dilahirkan membawa bakat ini, dan karena alasan itu dia lanjut mempelajari gastronomi, berkelana keliling dunia, dan mengasah bakat bawaannya lebih dalam.

'Rasa' pada akhirnya berasal dari kemampuan individu untuk membedakan rasa. Seberapa baik kau buat sebuah rasa jadi kepunyaanmu sendiri dan seberapa pintar kau mengolahnya adalah poin utama dari keahlianmu sebagai koki. Jadi, masuk akal Yayoi unggul pada hal itu.

Nah, mungkin itu bukan logika terbaik, serta tak berarti banyak secara praktis. Singkatnya, masakan Yayoi lezat luar biasa.

Jika kau anggap meja bundar sebagai jam dan Iria duduk pada pukul dua belas, maka Yayoi Sashirono berada pada pukul tiga di sebelah Akari atau Hikari.

Pukul empat ada Shinya Sakaki. Seperti diharapkan dari pria yang telah lama bekerja sebagai pengurus Kanami, dia tak terlihat sedikit pun terintimidasi, dan sebenarnya tampak agak congkak.

Di sebelahnya duduk Kanami Ibuki pada posisi jam lima. Di belakangnya kursi roda terparkir, yang pasti dia gunakan untuk mencapai ruang makan. Kiranya dia tidak sedang dalam suasana buruk, tapi dia juga tidak terlihat ceria.

Pukul enam Tomo Kunagisa. Ini berarti dia duduk tepat di seberang nyonya rumah dan pulau ini, Iria Akagami. Hal itu lebih dari cukup untuk membuatku gugup, tapi perasaan gelisah itu tidak penting; bagi Kunagisa, kata gamang bahkan tidak mempunyai tempat dalam bahasa Jepang.

Kemudian di kursi keberuntungan nomor tujuh di situlah aku duduk.

Di sebelah kiriku pada pukul delapan ada Akane Sonoyama dari Tujuh Orang Gila. Dia benar-benar terhanyut melahap masakan Yayoi. Nafsu makannya lebih besar dari dugaanku. Tentu saja, dia seorang manusia sebelum dia meraih titel cendekiawan─tak peduli dia mengakuinya sendiri atau tidak─dan kau tidak dapat hidup tanpa makan, namun bahkan jika kau mengabaikan itu, dia masih pemakan rakus. Hanya menonton dia makan saja sudah menyehatkan. Menurutku Yayoi tidak bisa berharap lebih.

Di samping Akane, pada pukul sembilan peramal jenius duduk di sana. Dia memiliki kekuatan super ESP, Maki Himena. Rupanya dia telah berganti pakaian, dandanannya berbeda dari sebelumnya, pada pagi hari. Dia mengenakan kemeja bergaris berkerah halter dengan kardigan merah muda pucat dan celana Capri bermotif domba. Rambut diikat sepasang ekor kuda. Mungkin karena dia melihatku memandanginya, dia balas menatapku diiringi senyuman kurang mengenakkan dan membenamkan giginya pada sepotong daging domba panggang. Ekpresi Maki seolah mengatakan, "Aku tahu segalanya, tapi aku tidak mengatakan apa-apa," dan itu membuatku sangat tidak nyaman.

Tidak pernah berakhir.

Pada pukul sepuluh, diduga memiliki gen serupa dengan Akari dan Hikari, Teruko duduk di sana, kacamata bingkai hitam menghiasi wajahnya. Dia benar-benar diam dan selalu tanpa ekspresi dan menaruh makanan di mulutnya seolah-olah dia berniat menyingkirkannya. Kau akan penasaran apa indra perasanya sama sekali tidak hadir sehingga dia bisa makan hidangan ini tanpa bereaksi apa pun.

Pukul sebelas ada Rei Handa, kepala pelayan dan tangan kanan Iria. Berbeda dengan penampilan remaja secara keseluruhan dari tiga bersaudara, di mana Rei atasan langsung mereka, Rei membawa gambaran seorang wanita karir dewasa dan berperilaku tajam. Aku belum banyak mendengarnya berbicara, namun dia tampak seketat penampilannya, dan aku telah mendengar cerita isak dari Hikari pada beberapa kesempatan.

Jadi begitulah.

Selusin cantik.

Nomor keberuntungan?

Dengan barisan seperti itu?

Omong kosong. Apa artinya itu? Aku jelas bukan orang yang pantas berada di sini. Aku tidak mungkin lebih asing lagi. Kembali lagi, selama sembilan belas tahun, tidak pernah ada tempat yang kuanggap pantas buatku. Bukan Kobe, bukan Houston, bukan Kyoto, tentu bukan pulau ini.

Di dunia luas ini, hanya ada aku seorang.

Tidak apa-apa.

Aku suka kesendirian.

Aku tidak menggertak.

Atau bahkan bila betul aku menggertak.

"Oh omong-omong, izinkan aku mengganti topik pembicaraan..." lontar Iria, membuat percakapan yang sedang berlangsung segera terhenti. Kekuatan untuk mengarahkan pembicaraan di atas meja berada pada genggaman Iria sendiri. Keistimewaan egois cocok untuk gadis kelas atas.

Dia pun sambung, suara ditinggikan, "Sepertinya sudah ada rumor beredar, jadi aku akan langsung membuat pengumuman. Ini soal tamu berikutnya. Jenius teranyar yang akan menyemarakkan rumah ini."

Semua mata tertuju pada Iria. Nah, semua kecuali Kunagisa, yang terus melahap daging ikan paus. Sengaja mencoba menarik perhatian Kunagisa bukan perkara enteng.

"Aku ingin menekankan tamu baru kita itu pemilik bakat luar biasa dan agung, bahkan sebanding dengan kalian semua. Aku ingin sekali menyambut orang ini sebaik mungkin, jadi tolong kerja samanya, kalian semua."

Kami bereaksi dengan cara kami masing-masing. Bagian soal 'setara kalian semua' tampak lumayan berpengaruh. Semua orang memeriksa satu sama lain, hanya Shinya si biasa-biasa saja yang berani angkat bicara.

"Pertanyaan. Siapa orang ini? Aku tidak tahu banyak dari rumor yang kudengar, tapi tampaknya orang ini ahli segala hal, banyak hal."

"Bisa dibilang begitu. Kami hanya bertemu sekali sebelumnya… tapi ya, sekali sudah cukup. Orang ini pahlawanku." Dia menatap rindu. "Seseorang yang benar-benar gagah, bagiku. Seperti seorang detektif ulung pada novel misteri atau monster film kaiju."

Kaiju?

Aku bisa merasakan alisku terangkat sendiri. Iria baru saja merujuk referensi film monster, tapi apa deskripsi itu benar-benar akurat? Kosakata itu biasanya tak kau gunakan untuk mendeskripsikan manusia, dan jika kau melakukannya, pasti tidak akan terdengar seperti pujian.

"Yah, sepertinya kamu menghormati orang ini. Harapanku membubung tinggi," kata Shinya, tertawa riuh. "Jadi, seorang jenius serba bisa… Apa termasuk melukis?"

"Aku belum pernah melihatnya, tapi seharusnya bukan apa-apa. Sesuatu sesederhana melukis gambar seharusnya bukan tantangan untuknya."

Seperti dugaan, harga diri Kanami telah dilukai. Dia tampak sedikit tercengang dan jengkel. "Apa boleh kita tahu siapa spesimen unggul ini, Iria?" Kanami bertanya dengan nada tajam.

Kurasa Kanami sangat bangga terhadap dirinya sendiri. Tak melulu buruk, namun juga tidak sepenuhnya baik. Biarpun aku tidak mempermasalahkan cara hidup yang dipilih Kanami, aku tahu aku tidak akan pernah bisa hidup begitu.

Iria, yang ekspresinya menunjukkan dia tidak mengerti mengapa Kanami begitu marah (dan dalam kenyataannya mungkin itu masalahnya), menjawab ringkas.

"Aikawa."

Jawaban datar. Pada titik ini, Kanami tampak seperti orang bodoh.

"Akibat jadwal padat, Aikawa hanya akan tinggal di sini selama tiga hari, tapi perhatian semuanya, mohon bersikap ramah. Aikawa sosok penting bagiku. Bahkan bisa disebut cinta."

Pipi Iria memerah. Tingkah laku kekanak-kanakan ini makin meredakan ketegangan. Iria membawa aura di mana dia bisa membuat permintaan apa pun, betapa pun suka memerintah, dan dimaafkan pada akhirnya.

Mungkin gara-gara garis keturunannya lagi.

"Meskipun begitu, Aikawa, ya?"

Aku belum pernah mendengar nama itu. Aku memandang Kunagisa untuk melihat reaksinya, namun bila dia tahu, dia takkan terganggu dan terus makan. Gadis itu selalu begini soal hal-hal kurang menarik baginya. Lebih sulit diperbaiki daripada anak kecil dan lebih sulit ditangani daripada binatang. Yah, sekali lagi, setidaknya dia tetap duduk manis.

"Ah, aku menantikannya," kata Iria. "Tak kusangka Aikawa mengunjungi pulau ini lagi. Aku senang aku tidak menyerah dan terus mencoba. Ini bagaikan mimpi. Oh tidak, bagaimana jika benar-benar mimpi─ "

Menilai dari kondisi Iria, dia terpincut oleh pria bernama Aikawa ini. Mirip seseorang sedang membicarakan pria yang telah dicintainya selama bertahun-tahun.

Seolah-olah menyebut namanya setara dengan menyembahnya.

"Ah, omong-omong, Tomo," kata Iria, mengalihkan pembicaraan ke arah Kunagisa. "Kamu akan pergi sebelum itu, kan?"

"Hmm? Oh, yap yap," gadis itu menjawab, tidak berhenti memainkan sumpit di tangannya. Kunagisa memegang satu sumpit di masing-masing tangan. Kelihatannya memang tidak mungkin memaksa Kunagisa menampilkan tata krama. Ya, empat hari lagi.

"Disayangkan sekali. Ini kesempatan bagus. Aku ingin kamu bertemu Aikawa. Benar-benar tidak mungkin?"

"Sayangnya tidak mungkin. Aku tinggal di domain di mana setelah merencanakan sesuatu, kamu tidak dapat mengubahnya. Mereka bahkan memanggilku Reklame Jadwal Berjalan. Iichan juga memanggilku begitu, tentu saja."

Jangan ikut menyeretku, pikirku. Sedari awal, datang ke pulau ini tidak pernah kujadwalkan.

Iria mengangguk, ekspresi kecewa terpampang di wajahnya. Kemudian, melihat Kunagisa dengan penuh perhatian, nyonya rumah bertanya, "Begitukah? Kamu bersenang-senang di sini? Sepertinya kamu tidak sering meninggalkan kamar."

"Aku tinggal di domain di mana orang tidak banyak meninggalkan kamar mereka. Tapi tenang saja, aku bersenang-senang. Aku bisa bersenang-senang di mana saja, kapan saja, tak terbatas. "

"…"

Kata-katanya membuatku agak kaku. Perkataan Kunagisa sejatinya tidak berlebihan. Untuk seseorang yang benar-benar tenggelam pada dunianya sendiri, tidak pernah ada waktu tidak menyenangkan. Dan tidak terbiasa mengeluarkan emosi "lain"? Seberapa tragis bersenang-senang di mana saja, kapan saja?

Aku sudah tahu ini.

"Ah, begitu." Iria mengangkat bahu. "Tapi Tomo, bertemu Aikawa akan berdampak padamu juga. Kamu pasti menemukan inspirasi."

Kanami merangsek masuk percakapan seolah-olah dia sedang menunggu waktu yang tepat. "Dipengaruhi oleh orang lain itu bukti seseorang biasa-biasa saja. Bukti ketidakmampuan seseorang. Konyol sekali. Aku tidak tahu orang macam apa Aikawa ini, tapi aku benar-benar ragu ada untungnya bertemu orang ini."

"Apa itu sebuah fakta?" Akane Sonoyama kemudian sengaja memprovokasi Kanami. "Aku telah menghabiskan lebih dari lima tahun dikelilingi oleh pikiran-pikiran terbaik di dunia, dan aku tahu pasti tanpa pengalaman, aku tidak akan berada di tempatku hari ini. Kamu bisa membuat dirimu sendiri lebih baik hanya dengan menghabiskan waktu bersama orang-orang brilian."

"ER3 itu? Bodoh sekali. Bodoh. Mengapa ada orang yang ingin terkekang oleh organisasi seperti itu?"

"Aku tidak menganggap diriku terbelenggu. Kami cukup bebas melakukana berbagai hal dan kami saling membantu mengasah keterampilan satu sama lain."

"'Bebas?' Jangan seenaknya memakai kata itu. Organisasi tanpa batasan bukanlah organisasi sama sekali. Pada akhirnya, bahkan kau tidak lebih dari anggota sebuah hierarki, bukan? Benar-benar tempayan. Aku sudah berada di sini di pulau ini bersamamu cukup lama, tapi tentu saja aku tidak merasa lebih beradab. Malah, nilaiku menurun."

Mereka saling memelototi satu sama lain. Bertingkah begini di depan banyak orang, mereka betul-betul belum dewasa. Aku sedikit terkejut.

Para pelayan resah dan nampak ingin melerai, namun Iria justru terlihat gembira, jadi mereka terpaksa menahan diri. Situasi seperti ini sebenarnya tak begitu kusukai. Sementara itu, Yayoi juga terlihat acuh tak acuh, Maki sama sekali tidak tertarik, dan Shinya sepertinya menganggap perselisihan itu sesuatu yang wajar, sebatas rutinitas sehari-hari. Wow, begitu banyak orang, dan tidak ada yang mau menengahi…

Sebenarnya, ada seseorang.

Satu orang lagi.

"Pada akhirnya, manusia itu spesies yang hidup berkelompok, Ibuki. Bagi orang-orang sepertimu yang mengaku tidak bergantung pada apa pun selain rasa berhak melakukan sesuatu, mungkin tidak ada salahnya memikirkan kembali gaya hidup mereka, menurutku."

"Bukankah itu berarti, pada akhirnya, kau tidak dapat berfungsi tanpa dikelilingi oleh orang lain? Manusia bukanlah ikan yang bermigrasi, tahu. Dan aku tidak merasa berhak apa-apa. Mencela diri sendiri bukanlah kegemaranku. Aku hidup jujur ​​dan menilai segala sesuatu sebagaimana adanya."

"Hmm, aku ingin tahu."

"Hmm, aku ingin tahu? Ah, itu lagi. kau pikir dirimu terlihat pintar dengan bersikap ambigu tanpa pernah menyatakan utuh pendapatmu. Ya, lakukan saja caramu. Alangkah pintar. Hmm, aku ingin tahu, katanya! "

"Mendengar semua ini rasanya menyebalkan."

Suara.

Suara Kunagisa.

Dia mengerutkan bibirnya seperti anak kecil yang merajuk dan menatap Kanami.

"Ini sedikit mengganggu telingaku, Kanami, Akane."

Serentak─semua orang tampak terkejut.

Tidak ada yang mengira Kunagisa, dari semua orang, akan mengatakan hal seperti itu.

Aku berpengalaman menangani dia di masa lalu, jadi masih bisa dibayangkan. Dia, Tomo Kunagisa, tidak suka melihat orang berkelahi. Normalnya lembut hati, mungkin sedikit sulit melihat dia begini, tapi bukan tak masuk akal. Dia gadis penikmat bersenang-senang, yang berarti dia tidak menyukai situasi tidak menyenangkan. Logikanya sesederhana itu.

"Maafkan aku. Aku bertindak kelewatan."

Agak mengherankan, Kanami-lah yang meminta maaf lebih dulu. Sebaliknya, Akane, sebagai wanita terkemuka berstatus terhormat, mau tidak mau mengakuinya.

"Aku juga salah," katanya, menghindari kontak mata dengan canggung.

Mereka berdua menundukkan kepala. Meskipun suasananya masih canggung, setidaknya pertikaian tampak mencapai fase penghujung…

Sampai Maki merusak sepenuhnya.

"Ini bakal berubah lebih buruk sebelum nantinya jadi lebih baik…"

Tersenyum berani, dia menggumamkan kata-kata itu dengan suara sedingin es. Sesungguhnya, peramal ini sedang mencoba apa, kini setelah semuanya beres? Sementara itu, mata Iria berbinar-binar kegirangan.

"Apa itu ramalan?" dia bertanya. "Apa maksudmu ini akan 'jadi lebih buruk sebelum jadi lebih baik'? Menarik. Maukah kamu memberi tahu kami?"

"Aku takkan, tidak akan mengatakan apapun. Ya…" Mengatakan ini, Maki Himena melirik ke arah Kunagisa. "Aku tidak terlalu sombong untuk mencoba mempengaruhi dunia."

"Maksudmu apa?" Kuprotes tanpa berpikir. Adapun Kunagisa, dia sudah mengalihkan perhatiannya kembali ke asupan nutrisi. Seolah-olah dia hanya menganggap obrolan itu terlalu berisik. "Maki, apa yang kamu maksud dengan itu?" Aku menuntut.

"Tidak berarti apa-apa. Sama seperti tindakanmu, tak berarti apa-apa. Kamu tahu, kamu… Wow, jadi kamu tipe pria yang akan marah demi orang asing. Itu tidak terlalu bagus. Tidak buruk, tapi tidak baik."

"Ya ampun, mengapa begitu?" kata Iria, melangkah masuk pada perbincangan kecil kami. Atau lebih tepatnya, mungkin akulah yang berada di pinggir. "Kupikir hal luar biasa bisa marah atas nama orang asing. Itu tidak umum di dunia belakangan ini."

"Begini, orang yang mengatur emosinya demi orang lain adalah orang yang sama yang menyalahkan orang lain ketika terjadi kesalahan," jelas Maki, lalu berkata, "Aku benar-benar membenci orang sepertimu."

Ini pasti pertama kalinya setelah sekian lama seseorang berbicara kasar tepat di depan wajahku. Perlahan, dia mengalihkan pandangannya ke mataku.

"Kamu membiarkan dirimu terbawa oleh orang lain. Kamu orang yang mengabaikan lampu lalu lintas hanya karena semua orang melakukannya. Kamu manusia setengah hati. Orang-orang sering melontarkan istilah 'menyelaraskan tanpa setuju,' namun pada kasusmu, anak muda, kamu itu bagaikan setuju tanpa harmonisasi. Aku tidak akan bilang itu buruk. Aku tidak akan mengatakan apa-apa soal itu. Berhak memilih tidak selalu mengarah pada nilai individu. Kereta yang berjalan di sepanjang rel lebih baik daripada kereta yang mogok. Jadi aku tidak akan mengatakan apa-apa soal itu. Tapi aku benci orang sepertimu. Aku membenci mereka. Orang sepertimu selalu menyalahkan orang lain dan tidak pernah bertanggung jawab."

Hanya terbawa arus.

Yang pasti, begitulah caraku hidup.

Namun.

"Ada urusan apa…"

Aku membencinya.

Setelah bertemu Kunagisa, aku benar-benar jijik karenanya.

"Ada urusan apa Maki Himena sampai mengatakan itu padaku?"

"Oh, apa kamu tersinggung? Wah, titik didihmu jauh lebih rendah dari bayanganku. Apa kamu tipe orang yang suasana hatinya selalu berubah-ubah?"

"Demi─"

Demi apa.

Demi Tuhan.

Demi Tuhan─

Demi Tuhan, kamu─

"Lupakan, Iichan." Kunagisa menarik lengan bajuku. "Tidak ada gunanya marah."

Tomo Kunagisa.

"… Dimengerti."

Aku merasakan hawa dingin di sekujur tubuhku. Daya pun seketika terkuras. Aku tidak merasa begitu kecewa, melainkan lebih seperti aku kelelahan. Aku hampir saja bangkit tapi terkulai kembali di kursiku.

"Maaf. Aku hanya bercanda, oke?" Maki berkata pada Kunagisa dengan senyum manis.

Jadi makan malam hari itu dibumbui sedikit bencana. Tentu saja, dua hari sebelumnya juga tidak berjalan mulus, tapi sesuatu tentang "si ahli segala hal" ini telah menimbulkan malapetaka. Kunjungan Aikawa ke pulau ini jadi sesuatu yang ditakuti. Memang, aku tidak akan berada di sana ketika itu terjadi, sehingga tidak terlalu banyak sangkut pautnya denganku.

Meskipun demikian, aku tidak tahu mengapa Maki begitu gigih mengusik diriku. Tentu saja aku tidak memberi kesan pertama yang baik padanya, tapi itu bukan satu-satunya penyebab. Kentara sekali dia tidak menyukaiku, tapi alasan itu belum cukup untuk membuatnya bersikap begitu agresif.

Kebalikan dari cinta bukanlah kebencian, melainkan ketidakpedulian. Jika dia tidak menyukaiku, dia tidak akan berusaha keras untuk menggangguku. Mengapa, dari seluruh orang-orang brilian ini, Maki Himena secara khusus menargetkan orang biasa membosankan sepertiku? Kami tidak punya hubungan apa-apa satu sama lain.

Aneh.

Merenungkan masalah ini, sebaliknya aku tidak menghiraukan ramalan Maki soal segala sesuatu akan jadi lebih buruk sebelum berubah lebih baik. Jika aku sungguh-sungguh memikirkannya, sepertinya tidak akan ada perbedaan berarti, tapi melihat ke belakang, aku tidak bisa tidak menyesali itu. Walaupun cuma sedikit.

Kukira aku tak punya pilihan.

Lagi pula, satu-satunya orang di pulau itu yang bisa menyesali sesuatu sebelum itu terjadi cuma Maki seorang.

avataravatar
Next chapter