10 Set dan Aritmatika | Part 2

2

Lewat pukul sepuluh aku meminjam kamar mandi Kunagisa untuk menyegarkan diri. Dia duduk di depan PC-nya di kursi putar, tapi ketiga terminal dimatikan. Dia hanya ingin berputar-putar di kursinya. Dia pasti punya perut yang kuat.

"Kamu juga mandi."

"Tidak."

"Boleh bukan malam ini, asal besok kamu mandi."

"Tidak."

"Besok aku akan menelanjangimu, mengikat tangan dan kakimu, dan memasukkanmu ke dalam sana. Jika kamu tidak ingin itu, sebaiknya lakukan sendiri."

"Awww, sungguh merepotkan." Dia setengah bangkit dari kursinya untuk meregangkan tubuh. "Aku iri pada ikan. Mereka tidak pernah harus mandi. Hmm, tapi aku bertanya-tanya apa mereka kedinginan di musim dingin. Oh oh oh, omong-omong, pernahkah kamu mendengar ini sebelumnya, Iichan? Jadi, misalnya, kamu pelihara ikan di sebuah akuarium. Dan anggap secara bertahap suhu tangki dinaikkan. Sedemikian rupa dinaikkan bertahap hingga ikan tidak menyadarinya. Akhirnya air menjadi sangat panas hingga mendidih, tapi tubuh ikan telah terbiasa dengan perubahan bertahap, sehingga ia dapat terus berenang tanpa menyadari betapa panasnya air. Kedengarannya seperti bohong, tapi itu nyata. Sekarang, Iichan, pelajaran apa yang bisa kita petik dari ini?"

"Pemanasan global bukanlah masalah."

"Ding ding ding!" Dia tampak amat geli. Benar-benar gadis yang bersemangat, pikirku, lalu tanpa peringatan, dia pingsan sungguhan. Telungkup, tengkurap, tanpa memperlambat kejatuhannya.

Aku tersentak.

"Owww. Sakit."

Tentu saja. "Kamu sedang apa sih?"

"Aku lapar…"

"Kamu baru saja makan sepiring pesta."

"Bukan itu masalahnya. Aku melewatkan sarapan dan makan siang, jadi aku mungkin belum cukup makan. Aku tidur sepanjang sore, jadi aku tidak perlu tidur lagi sampai besok, tapi kurasa manusia benar-benar harus menghemat waktu tidur dan makanan."

"Tubuh manusia tidak didesain untuk perlakuan semacam itu."

"Kukira aku bukan manusia kalau begitu. Ayo kita makan, Iichan. Maukah kamu ikat rambutku dulu?"

"Kurasa Yayoi mungkin sudah kembali ke kamarnya. Dia bangun pagi, jadi bukankah menurutmu dia sudah tidur?" Kami tidak bisa begitu saja membangunkannya agar Kunagisa bisa makan kudapan tengah malam. Kami harus ingat dia juga seorang tamu.

"Hikari mungkin masih ada. Masakan Hikari juga enak, enak sesuai cara Hikari. Jika Hikari juga tertidur, Iichan, kamu bisa membuatkan aku sesuatu."

Mengapa aku?

"Yah, karena kau terlihat luar biasa dari belakang saat memasak. Eheheh," dia tertawa nakal, masih tertelungkup.

"Oke oke oke. Baik. Dimengerti. Pertama aku akan mengikat rambutmu itu, jadi pergilah ke sini."

"Ya ampun."

Aku mengikat longgar rambutnya menjadi bentuk ekor kuda. Lalu kami meninggalkan kamarnya, menuju ruang tamu.

"Ah, omong-omong, maaf sebelumnya," kataku.

"Soal apa? Ah, masalah Maki. Ya, tidak apa-apa. Aku akan memaafkanmu. Tapi sungguh, dibandingkan dulu, kamu sudah jadi lunak. Aku tidak berpikir kamu akan membiarkan dia hanya dengan satu suku kata seperti itu. Aku ingin tahu apa tinggal di Houston membuatmu tertekan atau semacamnya."

"Ya, hidup di gurun seperti itu selama lima tahun, keyakinanmu mulai bergeser. Aku tidak yakin apa gurun itu ada hubungannya."

"Kamu harus memberitahuku soal itu kapan-kapan. Apa yang terjadi di sana dan seterusnya."

"Kamu juga banyak berubah. Tidak terlalu banyak di luar, tapi di dalam."

"Tidak ada di dunia ini yang tidak berubah. Ini panta rhei. "

"Handa, Rei?"

"Iichan, kamu seharusnya pintar, jadi kenapa kamu tidak tahu apa-apa?"

"Aku hanya memiliki ingatan buruk. Yang kuinginkan hanyalah otak rata-rata."

Cukup supaya aku tidak akan melupakan saat-saat menyenangkan.

Cukup agar aku bisa menyadari dunia ini juga dipenuhi hal-hal baik.

"Ah, lihat, ada Akari," kata Kunagisa, menyerbu lorong. Aku mengecek apa Akari memang ada di sana. Tapi ya, pada jarak ini tidak mungkin aku tahu apa itu Akari atau Hikari. Mungkin juga itu Teruko tanpa kacamatanya. Namun bila Kunagisa mengatakan itu Akari, kemungkinan besar dia Akari.

Pada saat kususul mereka, Kunagisa dan Akari sudah berbincang beberapa hal. Kunagisa kembali ke sisiku dan Akari terus menyusuri aula ke arah berlawanan. Aku bertanya-tanya tentang dia. Dia pasti memiliki pekerjaan yang harus dilakukan, bahkan pada jam selarut ini. Jika itu masalahnya, dia benar-benar melangkah jauh di depan.

"Kamu bicara apa?"

"Dia bilang Hikari ada di ruang tamu."

"Oh ya? Kebetulan sekali."

Tentu saja, tidak semua hal di dunia ini berjalan mulus.

Setibanya di ruang tamu, tidak hanya Hikari, tapi juga Shinya dan musuh bebuyutanku Maki Himena ada di sana. Mereka bertiga duduk di atas sofa berbentuk tapal kuda dan nampak sedang berdiskusi ringan.

Di atas meja beberapa gelas dan alkohol berjejer, ditambah sepiring besar keju yang disiapkan sebagai camilan. "Ah, Tomo," Hikari segera menyadari kehadiran kami dan memanggil, lengannya terangkat. Setelah diperhatikan, tidak ada yang bisa kami lakukan. Kami pun menghampiri, bergabung dengan mereka di sofa.

Dengan canggung, Kunagisa mengambil tempat duduk di sebelah Hikari, gerakannya gesit, memaksaku duduk di sebelah Maki. Meski begitu, aku tidak mungkin berbalik dan berlari sekarang. Tak terhormat melarikan diri di hadapan musuh. Maki, sepertinya bisa melihat batinku, menyapaku diiringi ekspresi nakal.

"Selamat datang di klub," candanya. "Maaf soal tadi. Kukira aku menyinggung topik sensitif. Sungguh, maafkan aku. Siapa pun akan marah pada topik sensitif seperti itu," dia minta maaf tak tulus sama sekali.

"Itu bukan subjek sensitif."

"Oh, benar. Itu sangat menyedihkan."

Dia mencibir lagi. Apa dia sedang mabuk? Tidak, kelakuannya sama sepanjang waktu. Faktanya, dia mungkin bersikap lebih baik saat mabuk. Dia menenggak anggurnya sekali teguk, lalu menyodorkan gelasnya padaku.

"Sekarang minum, nak. Alkohol itu bagus, tahu. Kamu bisa melupakan semua hal buruk."

"Tidak ada hal buruk yang ingin kulupakan."

"Dan tidak ada hal baik yang ingin kamu ingat," dia terkikik. "Menurutku, ingatan burukmu tidak bisa disalahkan hanya karena kamu tidak memiliki kenangan indah. Ada beberapa hal bahagia dalam hidupmu, dan sedikit hal menyedihkan. Tidak banyak. Semuanya hampa. Kekosongan itu bahkan lebih menakutkan daripada kegelapan sekalipun. Ahahaha. Bukankah hidup menyenangkan?"

Retrokognisi, telepati.

Sepertinya desas-desus tentangnya bukan cuma isapan jempol. Dia sungguh-sungguh seorang peramal sialan.

"Hentikan, Maki. Sekarang ini cuma aksi mem-bully."

"Yup, aku merecokimu. Sekarang minumlah."

"Aku tidak minum alkohol. Masih di bawah umur."

"Membosankan! Ya ampun, kamu begitu dingin. Oh, Iichan, kamu sangat keren! Itukah yang ingin kamu dengar? Aneh. Aku harus memanggilmu Pria yang Dingin Bahkan selama Musim Panas."

Dia meletakkan gelas kembali di depannya. Wajah menunjukkan ekspresi jemu.

Lapar, Kunagisa menyantap hidangan keju tadi. Dia makan memakai dua tangan, tak menghiraukan tata cara makan yang baik. Tentu saja, aku tidak ingin memarahinya sebab itu akan sia-sia saja.

"Ini namanya Supreme, Valencay, dan Maroilles, keju dari hutan," papar Hikari, ramah. Rupanya semua itu keju lezat dan dapat dinikmati sambil minum anggur. Makan satu, kuakui memang enak, tapi mungkin hanya Kunagisa yang bisa melahap beberapa potong tanpa air.

"Bagaimana Kanami?" Shinya bertanya padaku setelah beberapa saat, sepotong keju digenggamnya. Dia tampak cukup tertarik. "Apa sesi modeling berjalan baik?"

"Ya, kurasa. Tidak ada masalah, kok. "

"Kepribadiannya mengerikan, ya?" Dia bicara soal bosnya sendiri tanpa menahan diri.

"Oh tidak, dia tidak…"

"Apa begitu? Yah, setidaknya aku belum pernah bertemu wanita berkepribadian lebih buruk dari dia."

Aku pernah.

Dia duduk tepat di sampingku, sedang asyik minum.

"Tidak, dia baik-baik saja, sungguh… Oh, tapi dia tiba-tiba menghancurkan salah satu hasil lukisannya sendiri, dan aku terkejut."

Shinya menyeringai. "Oh, itu… Ya, ya. Ketika aku kembali ke studio, dia bilang, 'Shinya, buang sampah ini.' Aku pikir, 'Siapa kamu, Picasso?' Maaf soal itu. Itu cuma tabiatnya. Jangan dimasukkan ke hati. Wanita itu terlihat cukup sukses tanpa perlu banyak berusaha, jadi dia keras kepala minta ampun. Dia tidak bisa hidup tanpa bertindak seperti orang hebat."

"Tabiatnya?"

"Ya, kamu tahu. Jika dia bertingkah begitu, dia nampak seperti artis kelas dunia, bukan? Bukankah dia membahas berbagai macam hal artistik padamu? Semacam ocehan sombong? Begitulah dia, kamu tahu."

"Yah, tapi, itu hanya sifat aslinya, kan? Maksudku… Kupikir begitu."

"Oh tentu. Tidak diragukan lagi itu sifat aslinya. Tapi dia sebenarnya tidak harus mengatakan hal-hal semacam itu, bukan? Jika dia seniman sungguhan, dia tidak akan berbicara seperti itu. Kanami memang seorang jenius, tapi dia jauh sekali dari sifat seorang seniman. Dia hanya bersikap sok. Setidaknya, itulah pendapatku. Aku akan senang jika tingkah lakunya bisa lebih baik lagi, tapi kamu tahu keadaannya." Dia tampak sedikit sedih. "Serius," lanjutnya, menyesap anggur. Segelas anggur amat cocok untuknya, aku sedikit iri padanya. "Itulah alasanku memintamu menjadi modelnya juga. Dia tidak sering melukis potret."

"Oh ya? Tapi dia bilang dia tidak pilih-pilih subjeknya."

"Yah, memang tidak, tapi… Ini masalah selera. Dia membenci orang. Tak peduli bagaimana pun hasil gambarnya, mereka pasti mengeluh. Ditambah lagi, kamu tahu, karena dia dulu buta, dan kakinya masih buruk, dan di atas segalanya karena dia memiliki kepribadian seperti itu, dia tidak akur dengan siapa pun."

"Begitulah jenius."

Satu-satunya jenius yang baik-baik saja dalam hubungan antarmanusia cuma Gauss. Paling tidak, di antara jenius yang pernah kudengar. Michelangelo, misalkan, rupanya tidak banyak disukai. Ah, tapi dalam kasusnya, orang-orang tidak menyukainya sebab dia seorang yang antipati.

"Kamu tidak harus menjadi jenius dulu sebelum jadi canggung secara sosial," sela Maki dengan ekspresi polos nan palsu.

Yap, dia benar.

"Dia bangga bisa mencapai posisinya kini," kata Shinya. "Jadi tidak heran dia tidak cocok dengan Sonoyama."

Memang, Akane, yang telah mengasah bakatnya dalam suasana kebersamaan di Sistem ER3, dan Kanami, yang merupakan seorang individualis akut, secara praktis pandangan mereka pasti berlawanan. Wajar bila mereka tidak pernah cocok.

"Akulah yang mengajari Kanami soal seni," kata Shinya pada kami. "Matanya menjadi lebih baik, dan… kamu harus mengerti, saat itu dia tidak punya apa-apa. Tidak ada keluarga, tidak ada bekal pengetahuan khusus. Jadi aku memberinya kuas. Aku hanya mencoba untuk menghiburnya, namun sebulan kemudian, dia telah melampauiku."

"Oh, kamu juga melukis?" Aku tidak tahu itu.

Shinya mengangkat bahu kanannya, sedikit malu. "Setelah Kanami mengungguliku, aku berhenti. Ketika Verrocchio menyadari da Vinci telah melampaui dirinya, dia mematahkan kuasnya sendiri. Aku, juga, semakin paham perasaan Verrocchio pada saat itu. Selama orang berbakat luar biasa ini berada di sampingku sepanjang waktu, aku tidak perlu melukis."

Pagi itu, Shinya memberitahuku hal yang sama. Aku tidak tahu apa maksudnya sampai sekarang.

Hubungan antara Shinya Sakaki dan Kanami Ibuki.

Relatif mirip Tomo Kunagisa dan aku.

Meskipun dia berbicara buruk tentangnya, jelas bagiku sekarang Shinya memiliki kasih sayang tanpa syarat untuk Kanami.

"Jadi kamu pun termasuk tipe pria yang rela melakukan sesuatu untuk orang lain, Shinya?" tanya Maki, seolah membaca pikiranku (kiasan macam apa itu). "Tentu saja pada kasusmu, ada daya tarik lain, tidak seperti orang lain. Tidak seperti seseorang."

"Dan mengapa begitu?" Aku bertanya.

"Dia tidak seenaknya menyalahkan orang lain."

Dia terus mendaratkan pukulan demi pukulan.

"U-Uhm…" Hikari menyela, khawatir. "Kamu mau minum apa?"

"Soda boleh juga."

"Tentu, akan segera kuambilkan." Hikari mengeluarkan sebotol kecil ginger ale dari lemari es ruang tamu dan segera kembali. Tersenyum cerah, dia meletakkannya di sampingku. "Silakan dinikmati."

"…"

Dia benar-benar perhatian. Kupikir tidak sopan untuk terus bertengkar begini di hadapannya, jadi kupaksakan sarafku yang terluka rileks.

Gah, lagi-lagi aku menyalahkan orang lain.

Sial…

Maki menggenggamku di kepalan tangannya erat-erat.

"Hikari, aku juga mau," kata Kunagisa.

"Baik!" Hikari menghampiri Kunagisa, masih membawa minuman jahe.

Melihat ini, Maki berkata, "Kalau dipikir-pikir, kamu juga masih di bawah umur, kan, Kunagisa? Tapi tidak apa-apa, bukan? Bagaimana? Satu minuman saja."

"Tolong jangan menggodanya."

"Ya ampun, bermain jadi wali, ya?" Maki mencibir. "Ah, betapa indahnya masa muda."

"Tapi kamu juga masih muda."

"Tidak, aku sudah dua puluh sembilan." Dia berbicara seolah-olah itu bukan masalah besar, tapi aku sedikit terkejut. Dia selalu berpenampilan awet muda, kupikir dia mesti seumuran dengan Iria.

"Wow. Jadi itu artinya kamu sebaya dengan Kanami," kata Shinya. "Kalau begitu Maki, kamu masih muda. Kamu tahu, aku sudah berumur tiga puluh dua tahun. Setelah melewati usia kepala tiga, kamu benar-benar mulai merasakan usiamu. Kamu mudah kehabisan napas dan semacamnya."

"Hikari, berapa umurmu?" Aku pun memanfaatkan kesempatan ini.

"Aku dua puluh tujuh."

"Jadi, Akari juga dua puluh tujuh tahun?"

"Yah, bagaimanapun juga kami kembar tiga."

Dua puluh tujuh… Aku mengumandangkan angka itu beberapa kali di kepalaku. Dua puluh tujuh tahun. Akari dan Hikari, keduanya dua puluh tujuh... Mungkin ini tidak sopan, tapi mereka benar-benar tidak terlihat berusia dua puluh tujuh. Aku hampir bertanya-tanya apa ada semacam sihir yang memperlambat usia mengambang pada udara di pulau itu.

"…"

Tidak, sepertinya tidak.

Ini bukan Neverland.

"Akane umurnya tiga puluh, kan? Dan kupikir Yayoi juga berumur sekitar tiga puluh tahun. Wah, ketika kamu sejenak memikirkannya, semua orang ternyata masih muda. Iria pasti menyukai para gadis muda jenius."

"Kecenderungan itu cukup angkuh..."

Kunagisa mengangguk setuju sambil menjejali wajahnya dengan keju. Menelan sebuah keju pedas, dia segera mengambil ginger ale dan menenggaknya, tapi kemudian sepertinya dia tersedak, dan dia pun mengeluarkan rentetan batuk-batuk. Apa-apaan dia ini?

Shinya menghela napas. "Kupikir bila kubawa Kanami ke sini untuk hidup menyendiri dengan orang lain, dia mungkin akan berubah sedikit. Seperti saat kamu mengirim anak yang membolos ke kamp disiplin. Namun strategi ini tampaknya tidak tepat sasaran. Ini lebih mirip pilihan terakhir… Pada titik ini, dia mungkin akan hidup begitu selama sisa hidupnya."

Disalahpahami oleh semua orang.

Tidak berharap dipahami oleh siapa pun.

Tidak mengandalkan siapa pun kecuali dirinya sendiri.

Menggerogoti dirinya sendiri sepanjang waktu.

"Nah, kurasa itu salah satu bentuk gaya hidup."

"Lihat siapa yang bicara."

Kurasa aku bahkan tidak perlu menyebutkan baris siapa yang terakhir itu.

"Uh, omong-omong, Maki, kenapa kamu ada di sini di pulau ini?" tanya Shinya. "Aku sudah lama ingin tahu. Ini bukan hanya liburan, bukan?"

"Memang itu, aku sedang berlibur. Tempat ini menyenangkan buatku. Kamu bisa hidup gratis, dan kamu bahkan memperoleh uang. Di sini bagaikan Xanadu. Jika aku menggunakan internet, aku bahkan masih bisa meramal. Dunia ini nyaman. Saat-saat indah tanpa henti."

Benar-benar alasan buruk rupa untuk orang dewasa.

Amat jelek.

"Aku tidak ingat pernah mendengar ceritamu," Maki menujukan itu padaku. "Lalu kenapa kamu ada di pulau ini? Dan tolong jangan beri tahu aku sesuatu seperti kamu datang ke sini hanya karena Kunagisa bilang dia akan datang."

Oh, wanita ini, bertingkah seolah dia tidak tahu ...

Sungguh, kenapa dia menggangguku? Mungkin dia benar-benar hanya mengolok-olokku tanpa tujuan atau alasan apa pun.

Tidak terpikirkan.

"Salah," katanya, lalu menatap Kunagisa. "Baiklah, asumsikan orang sepertimu tidak berarti apa-apa, kenapa kamu ada di sini, Kunagisa?"

"Hanya iseng, hanya iseng. Aku tidak mencari alasan untuk setiap hal kecil yang kulakukan."

"Aku penasaran." Maki menyeringai mencurigakan. Aku tidak tahu apa kepribadiannya bermasalah, tapi dia sepertinya cukup akur dengan semua orang selain aku, termasuk Kunagisa.

"Dia pintar, tidak seperti kamu."

"Ah, muak? Oh, kamu sudah menyerah? Heheh, tapi aku tidak akan berhenti. Aku akan terus mempermainkanmu sampai aku bosan."

Dia tersenyum sadis. Aku merasa seperti sudah kalah dalam permainan.

"Telepati, eh? Luar biasa, Himena, tapi hentikan itu," potong Shinya seolah tak punya pilihan. "Kamu telah mengusik banyak orang brilian dari pulau ini dengan cara itu. Dia akan segera pergi, jadi tidak perlu membuatnya pulang lebih cepat, kan?"

"Setiap orang yang kuajak bersenang-senang membenciku. Ini namanya diskriminasi terhadap orang-orang berkekuatan super, asal kamu tahu."

Kekuatan super…

Mereka membicarakannya seolah itu kejadian sehari-hari, tapi apa hal seperti itu benar-benar ada? Sistem ER3, yang menggembar-gemborkan dirinya sebagai "komprehensif", secara alami melakukan penelitian tentang parapsikologi, yakni kekuatan super. Psikokinesis, ESP, DOP, aksi melayang (levitation), dan teleportasi. Aku telah melihat sejumlah makalah tentang subjek yang tidak dapat dijelaskan dan tidak dapat diamati selama aku mengikuti program ER3 dan bahkan bertemu dengan seseorang yang mengaku sebagai orang berkekuatan super sungguhan (ternyata palsu).

Tapi kesimpulanku tidak peduli bagaimana kamu memikirkannya, hal itu omong kosong. Tak satu pun dari makalah itu benar-benar menjelaskan apa pun, meskipun mereka berusaha keras untuk menjejalkan fakta pada kesimpulannya.

Itulah yang mereka sebut "cinta gersang". Tesis ini dipenuhi cinta gersang, dikerjakan oleh ilmuwan palsu, sejujurnya menghibur, tapi hanya itu saja, dan sama sekali tidak memiliki dasar apa pun agar dapat meyakinkan orang lain.

"Itu hanya gara-gara kamu berpikiran sempit."

"Pernahkah kamu mendengar kata privasi?"

"Itu bukan salahku. Aku melihat apa yang kulihat dan aku mendengar apa yang kudengar. Dan omong-omong, mencoba kabur itu sia-sia. Ke mana pun kamu pergi, aku akan mengenal kamu seperti aku mengenal diri sendiri."

"Jadi, kamu juga memiliki penglihatan jarak jauh dan clairaudience!" kata Kunagisa. "Aku kenal banyak orang dengan kekuatan khusus, tapi ini pertama kalinya aku bertemu seseorang berkemampuan begitu banyak. Multimulti. Luar biasa."

Meskipun masa lalu, masa depan, dan pikiran kami semua mungkin sedang dibaca sekarang, Kunagisa paling tidak peduli sama sekali. Atau mungkin dia tidak punya rahasia untuk disimpan.

"Aku benar-benar menginginkan psikokinesis, sebenarnya, tapi aku akhirnya memperoleh ESP berhubung suatu alasan. Sayang sekali… maksudku, bukankah teleportasi tampak begitu keren?"

Psikokinesis─disingkat PK─dan ESP secara akademis didefinisikan sebagai dua kemampuan yang sama sekali berlainan. Dalam parapsikologi aliran utama, sering dikatakan keberadaan ESP mungkin dapat didukung bukti, meskipun hal serupa tidak dapat dikatakan untuk PK. Ini disebabkan gagasan PK sesuatu yang sama sekali tidak manusiawi, sedangkan ESP hanyalah perpanjangan dari indera manusia.

"Meramal itu satu-satunya yang dapat kulakukan dengan ESP. Itu bukan kemampuan berguna," kata Maki sambil mendesah.

Jelas tidak banyak yang bisa dia lakukan selain meramal, tapi aku masih merasa skeptis tentang keseluruhan gagasan itu.

"Maki, bisakah kamu membuktikan kamu memiliki kekuatan khusus ini?"

"Kupikir tak perlu. Bagaimana kamu, misalnya, membuktikan 'kamu itu kamu sendiri'? Apa kamu akan menunjukkan SIM-mu? Apa kamu akan teryakinkan jika aku memiliki Lisensi Kekuatan Super? Tidak ada bedanya. Pikirmu itu benar atau bohong atau sesuatu yang lain, tidak akan berpengaruh apa-apa. Sama seperti aku mengetahui segalanya tidak akan mengubah apa pun."

"Apa kamu yakin soal hal itu?"

"Kamu curiga sekali, ya. Ah, oke, bagaimana kalau aku memberimu ramalan lagi?" katanya mendadak, menyeringai padaku.

Sial, aku tidak memperkirakan ini.

"Kita belum selesai waktu itu, bagaimanapun juga… Ya, ayo kita lakukan. Ini kesempatan bagus untukmu. Aku hampir tidak pernah meramal nasib secara gratis."

"Tidak, terima kasih."

"Jawaban cepat. Kamu benar-benar tidak ingin aku melakukannya, ya? Heheh, mentorku selalu mengajariku untuk 'menyingkir ketika orang lain ragu,' jadi itulah yang kulakukan."

"Mau tak mau aku bertanya-tanya apa maksud mentormu bukan itu."

"Kamu benar-benar suka bohong, ya?" dia memulai sesinya, tak mempedulikan aku. "Kamu tidak suka menunjukkan emosimu, tapi kamu juga tidak pandai mengendalikannya, jadi kamu punya sering menyesal. Meskipun kamu membiarkan dirimu didorong oleh pendapat orang lain, kamu cukup mandiri. Saat dihadapkan pada tantangan, kamu melarikan diri tanpa berpikir dua kali, namun kamu tidak bodoh. Dan, kamu tidak menyukai persaingan. Kedengarannya tepat?"

"Bukankah itu yang disebut 'bacaan kaku/dingin'?" Aku balas menembak. "Kamu boleh saja mengatakan apa pun. Itu semua berlaku untuk siapa pun, sampai batas tertentu."

"Begitukah? Hmm mungkin. Kalau begitu mari kita bicarakan hubunganmu dengan Kunagisa. Ini disebut pembacaan kesesuaian. Hmm, kamu dan Kunagisa tipe yang tidak membutuhkan teman. Namun untuk beberapa alasan kalian tetap bersatu. Dan alasannya? Ya ampun, bagian ini cukup mencengangkan. Kamu tetap di sisinya sebab cemburu padanya. Dan meskipun kamu iri atas kemampuan Kunagisa untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dia entah bagaimana nampak kurang bahagia, terlepas dari apa dia benar-benar bahagia atau tidak. Kamu melihat gadis ini punya semua yang kamu inginkan dan dia dapat melakukan semua hal yang tidak dapat kamu lakukan, namun dia masih, entah kenapa, belum bahagia, dan itu membuatmu merasa lebih baik. Hal itu membuatmu merasa tidak keberatan andai kamu tidak bisa memperoleh keinginanmu."

"Betulkah?" Kunagisa menatapku dengan bingung. Benar atau tidak, tidak baik untuk mengatakan hal semacam itu tepat di depannya.

Aku menggelengkan kepala. "Tidak, Maki, menurutku kamu salah paham. Aku bukan orang yang rumit. Pola pikirku itu paling sederhana."

"Yah, mungkin, mungkin tidak."

"Hei, Maki," kata Kunagisa, mendekati dia. "Jika memang begitu, mengapa aku menghabiskan waktu di sisi Iichan?"

"Maaf, tapi kelihatannya aku tidak sanggup membaca pikiranmu atau masa lalu." Maki mengangkat bahu lembut. "Sesekali aku bertemu seseorang sepertimu. Aku kira ini masalah kecocokan atau semacamnya, namun keadaannya juga menjadi ambigu dan sulit untuk diuraikan. Agaknya aku berada di tempat redup, dan ini sedikit mengganggu. Suasana hatiku jadi memburuk."

Jadi itu sebabnya dia melampiaskan itu semua padaku.

Buruk sekali.

"Maki, mumpung kita bicara soal itu, aku mau mengajukan pertanyaan juga. Bagaimana rasanya bisa melihat masa depan dan membaca pikiran orang dan semacamnya?" Shinya bertanya. "Aku hanya penasaran."

"Hmm. Itu seperti menanyakan bagaimana rasanya memandang dengan delapan mata pada seekor laba-laba. Simpelnya, kurasa bagaikan menonton TV. Seolah seluruh ruangan ditutupi TV, dan aku tidak memiliki remot kontrolnya. Aku tidak bisa mematikannya, dan aku tidak bisa mengganti saluran, jadi yang bisa kulakukan hanyalah menonton. Seperti memiliki lebih banyak otak daripada orang kebanyakan. Bisa kamu bayangkan itu?"

Ya, mana mungkin.

"Sekarang kita sedikit melenceng dari topik, Kunagisa, tapi aku masih belum mendengar mengapa kamu mengunjungi pulau ini."

"Cuma iseng saja, kuberi tahu."

"Tidak. Aku mungkin tidak bisa membacamu, namun aku tahu bukan itu alasannya."

Kunagisa menghela napas. Desahannya aneh. Dia tampak sedikit bermasalah. Aku bukan penggemar berat cara Maki mengajukan pertanyaan, tapi jujur ​​saja, aku sendiri juga bertanya-tanya soal hal yang sama. Untuk alasan apa Kunagisa, yang paling suka diam di rumah, terpaksa melakukan perjalanan jauh-jauh ke sini ke Pulau Bulu Gagak Basah?

"Oke, akan kuberi tahu," akhirnya dia bicara, sepotong keju masih ada di lidahnya. "Aku tertarik dengan insiden yang pernah terjadi di sini."

avataravatar
Next chapter