7 Savant Biru Laut | Part 6

4

Agar kesempatan tak terlewat begitu saja, aku segera keluar ruang makan dan kembali ke kamar Kunagisa. Seperti dugaanku, dia masih menghadap workstation-nya. Rasanya tidak benar berdiam diri sementara kau sedang bertamu di rumah orang lain, tapi kurasa kami hanya menganut nilai masing-masing.

Kunagisa menatapku.

"Oooh, Iichan. Selamat datang kembali. Bagaimana? Apa kamu bertemu seseorang?"

"Hampir semua orang. Hari ini aku melihat semua orang kecuali Teruko dan Iria. Oh ya, Yayoi juga." Meskipun baru mencicipi makanannya, aku merasa seolah-olah telah bertemu dengannya.

"Hmm, yah, hampir sempurna."

"Apanya?"

"Skormu. Skor Kontes Bertemu Semua Orang di Pulau Bulu Gagak Basah pada Pertengahan Pagi."

Sulit sekali mengucapkannya.

Namun bagaimanapun juga.

Saat ini ada dua belas orang di pulau itu. Artis Kanami Ibuki, Akane Sonoyama dari Tujuh Orang Gila, Chef Yayoi Sashirono, Peramal Maki Himena, dan praktisi teknologi Tomo Kunagisa. Juga Shinya Sakaki dan aku sendiri, para pendamping. Kemudian ada penghuni asli pulau itu, dimulai dari Iria Akagami, pemilik pulau berikut mansion-nya, ditambah kepala pelayan Rei Handa dan tiga pelayan serba guna, Akari Chiga, Hikari Chiga, dan Teruko Chiga. Total selusin.

Di rumah berukuran biasa, segala sesuatu akan jadi cukup sempit, tapi di istana seluas ini, masih tersedia sisa ruang berlebih.

Saat itulah kuingat.

"Hei, Kunagisa. Beri tahu aku lagi, berapa lama kamu berencana terus berada di sini?"

"Empat hari lagi. Jadi seminggu, ya? "

"Shinya bertanya sesuatu padaku." Aku menjelaskan padanya apa yang Shinya katakan padaku: rumor soal si ahli segala hal favorit Iria akan datang berkunjung. Kunagisa, di lain sisi, tampaknya tidak tertarik, mengabaikan sebagian besar ceritaku.

"Apa itu penting? Itu semua informasi samar, jadi sulit untuk kukomentari, tapi kurasa kita tidak perlu bertemu orang ini. Aku tidak benar-benar datang ke sini untuk menemui orang jenius, dan aku tak terlalu tertarik."

"Yah, tapi hei, aku sudah lama ingin bertanya, kenapa tepatnya kamu datang ke sini? Jika hal semacam itu tak menarik perhatianmu, lantas kamu tertarik soal apa?" Aku tidak mengerti mengapa seseorang yang sangat benci meninggalkan rumah seperti Kunagisa menerima undangan begini.

Dia memiringkan kepalanya sedikit, dan setelah jeda beberapa saat dia berkata, "Eh, sebab iseng saja." Bukan jawaban. "Sebenarnya tak ada alasan khusus. Atau apa kamu tipe yang selalu membutuhkan alasan untuk segalanya?"

Aku mengangkat bahu. Tidak mungkin.

"Selama bebas mengakses jaringan, tidak masalah di mana aku berada. Rumah adalah tempat terbaik pada akhirnya," katanya padahal masih berlibur.

Nah, terserah. Dia hanya bertingkah seperti biasa, bertingkah aneh. Aku tak terlalu keberatan, dan aku juga tak harus menemui orang itu. Aku berbaring di atas karpet putih bersih dan menatap lampu gantung di langit-langit. Sungguh pemandangan kurang realistis. Kembali lagi, jika kau bertanya padaku adegan apa yang realistis, aku tidak tahu harus bilang apa.

Kunagisa menatapku terkapar di lantai. "Iichan, kamu tidak bosan?"

"Aku bosan hidup."

"Kamu tahu, itu sama sekali tidak menarik."

Aduh. Dia blak-blakan.

"Jika tak sedang sibuk, mengapa tidak baca buku? Aku bawa beberapa."

"Sebuah buku, ya? Apa saja?"

"Um, kamus Inggris-Jepang, buku undang-undang, dan Imidas." Yang terakhir itu ensiklopedia istilah-istilah kontemporer.

"Ugh, bawa barang itu dalam bentuk digital."

Siapa yang senang membaca hal semacam itu?

Oh iya. Dia sendiri.

Setengah menyerah dan setengah muak, aku pun berguling.

"Hah? Iichan, jam tanganmu rusak, bukan?"

"Apa?"

Kulirik jam tanganku. Betul juga. Kalau dipikir-pikir, aku bermaksud meminta Kunagisa untuk memperbaikinya. Usai bertemu begitu banyak orang pagi ini, aku sudah lupa semuanya.

"Biar kulihat dulu. Akan kuperbaiki untukmu. "

"Nih. Mungkin baterainya habis."

"Hmm..." Dia mengangkat arloji ke arah cahaya. "Tidak, ada yang salah. Apa kamu membenturkannya terhadap permukaan keras? Apa pun, kupikir ini tak akan makan waktu lama. Tahukah kamu, jam tangan telah menjadi semacam anakronisme akhir-akhir ini. Kebanyakan orang beralih pada ponsel mereka. Tunggu, omong-omong, mana milikmu?"

"Aku meninggalkannya di rumah."

"Kamu harus membawanya. Itulah fungsi sebuah telepon genggam."

"Lalu bagaimana jika aku kehilangannya?"

"Yah, itu sih… Tapi─"

"Dan di luar itu, sinyal tak menjangkau daerah ini. Hanya ponselmu yang sanggup menerima sinyal di sini."

Kunagisa menggenggam telepon yang menerima sinyal langsung dari satelit relai dan memungkinkannya terhubung ke tempat mana pun di dunia. Bahkan di sebuah pulau terpencil antah berantah, ponselnya tak mengenal frasa "di luar jangkauan". Tentu saja, harganya tidak murah. Barang itu pemborosan uang yang terlalu besar untuk seorang antisosialita seperti Kunagisa, tapi dia bukan tipe yang terlalu memikirkan masalah semacam itu.

"Yah, mungkin begitu," katanya. "Barang ketinggalan zaman bukan hal buruk."

Dia menyipitkan mata besarnya dan meletakkan jam tanganku di samping rak komputer.

Beberapa saat kemudian terdengar ketukan dari arah pintu. Kunagisa tidak menunjukkan respon apa pun, jadi aku tak punya pilihan selain membukanya sendiri. Pengunjung itu tak lain Hikari, menenteng peralatan bersih-bersih di belakangnya.

"Halo. Terima kasih banyak," aku mengundangnya.

"Yo, Hikari, ciao~o!" Kunagisa menyambut dengan senyum lebar.

Hikari membalas Kunagisa dengan senyumannya sendiri. Entah kenapa, kedua gadis ini cocok dan akrab. Amat jarang seseorang bisa menjadi begitu ramah dengan Kunagisa dalam waktu sesingkat itu, jadi mau tidak mau aku sedikit terkejut.

"Sedang apa kamu, Tomo?" tanya si gadis pelayan.

"Aku sedang membuat beberapa perangkat lunak game sekarang. Aku membuat aplikasi pengubah teks menjadi musik. Kupikir aku akan membaginya pada Iria sebagai kenang-kenangan atas kunjunganku."

"Permainan macam apa itu?" Aku ikut campur.

"Baiklah, harus kujelaskan? Oke, um, oke, jadi, Iichan, buku apa yang terpanjang dan pernah kamu baca?"

"Aku berhenti di tengah-tengah Kisah Genji dan Don Quixote, jadi… War and Peace karangan Tolstoy. Ya, panjang sekali."

"Baik. Jadi anggap kamu mengubah seluruh buku itu menjadi dokumen teks, baik melalui pemindai atau mengetik semuanya secara manual. Kemudian kamu melakukan konversi D/A, misalkan di mana 'a' adalah 'C,' 'e' itu 'D,' 'i' jadi 'E,' dan seterusnya. Jika kamu melakukannya, kamu akan memperoleh karya orkestra War and Peace. Untuk teks sebanyak itu, mungkin akan keluar sekitar… satu jam, mungkin? Tentu saja, kenyataannya lebih rumit dari itu. Konversi kode dan sesi dan semuanya harus selaras. Namun tetap saja, program itu mengubah novel menjadi musik. Kedengarannya menyenangkan, bukan?"

"Yah, aku tidak tahu soal tingkat kesenangan, tapi itu memang terdengar menarik. Bahasa pemrograman apa yang kamu gunakan? VB? C?"

"Bahasa mesin." Bahasa pengkodean tingkat paling bawah.

Kupikir orang-orang tak lagi menggunakannya hari ini. "Jadi, kamu mampu berkomunikasi dengan mesin seolah itu teman dekatmu."

"Heh heh heh," dia tertawa, agak membual.

Tampak bahkan lebih bodoh dariku soal komputer, Hikari memasang ekspresi ambigu dan setengah paham. "Sungguh menakjubkan," dia cuma heran.

"Serius," kataku. "Tapi software ini, di mana letak kesenangannya? Kukira aku tak begitu paham."

"Membuatnya menyenangkan."

Alasan kuat. Aku tak bisa menyangkal.

Hikari mendengar kami bicara dengan penuh minat, tapi kemudian sepertinya mengingat sesuatu. "Oh ya." Dia menoleh padaku. "Apa boleh kubersihkan kamarmu nanti? Aku sempat mampir ke… gudang sebelum datang ke sini, tapi kamu sedang tidak di sana."

"Tentu, tak masalah."

Aku sendiri tidak tahu ruangan itu harus dibersihkan dari apa.

Hikari berterima kasih padaku dan lanjut membersihkan kamar Kunagisa. Ketika dia hampir selesai, dia berhenti dan berjongkok ke lantai sambil mendesah.

"Aku minta maaf. Aku hanya… sedikit lelah."

"Mengapa tidak istirahat saja?" Saranku.

"Tidak, aku akan baik-baik saja. Lagi pula Rei bisa marah. Aku sudah bilang tadi, tapi dia disiplin. Aku akan baik-baik saja. Aku segar dan penuh semangat. Itu salah satu sifat positifku. Aku baik-baik saja. Maafkan aku telah membuatmu khawatir," tandasnya, lalu keluar dari kamar.

Aku menghela nafas. "Dia terlihat resah. Mungkin itu asumsiku saja, tapi melihatnya begitu, dia nampak menanggung beban besar sendirian saja."

"Apa kamu merasa sedikit seperti sedang memperhatikan dirimu sendiri?"

"Bukan itu, hanya saja aku merasa agak bersimpati padanya."

Apa pun, dia memang tampil sebagai tipe penyabar.

Rei dan Akari tampaknya memiliki gagasan berbeda di kepala mereka. Keduanya hanya menganggap semua ini "pekerjaan", tapi Hikari tampaknya tidak dapat memproses itu di dalam dirinya. Sepertinya konsep pekerjaan belum dimasukkan ke dalam sirkuit internal Hikari. Mungkin itulah keadaan yang Hikari alami.

Sedangkan untuk pelayan lainnya, Teruko, aku tidak yakin dia memikirkan apa, jadi aku tidak bisa berkomentar.

"Semua orang menderita akibat sesuatu, Iichan," kata Kunagisa penuh arti. "Atau bila tidak, setidaknya mereka berusaha keras. Hikari, sobatmu Nao, Akane─semua orang. Jika ada orang yang hidup dan tak menderita atau mati-matian berjuang, mungkin itu aku."

avataravatar
Next chapter