5 Savant Biru Laut | Part 4

3

Akane sedang berada di ruang makan.

Aku pun jadi tegang.

Sedang sarapan, dia duduk sendirian di meja makan bundar, kaki disilangkan, keanggunan posenya hampir tidak sesuai citra masyarakat Jepang. Atau tidak, dia sudah selesai sarapan dan kini menikmati kopi seusai makan.

"Oh! Selamat pagi!"

Suara itu suara Akari. Ceria dan lincah, dia tengah membersihkan ruang makan. Tidak, tunggu, itu bukan dia. Akari tidak pernah ceria menyapa dan penuh energi. Bukan itu Akari yang kukenal. Berarti dia…

"Hai, Hikari," kataku, memastikan itu dia. Ternyata aku benar, saat dia tersenyum padaku dan membungkuk memberi hormat.

Akari Chiga dan Hikari Chiga.

Mereka saudara perempuan. Kembar. Faktanya, mereka kembar tiga, bersama adik perempuan mereka yang pendiam, Teruko. Teruko tampaknya memiliki penglihatan buruk dan dapat dikenali dari kacamata berbingkai hitam miliknya. Sebaliknya, Akari dan Hikari amat identik, dari panjang rambut mereka hingga pakaian mereka, hingga mereka bukan hanya mirip, melainkan sama persis.

Tapi tidak seperti Akari, Hikari mudah didekati, murah hati, lagi berwatak baik. Meskipun aku bukan "tamu" sejati, dia memperlakukan aku sama seperti orang lain.

"Sarapan? Tolong tunggu sebentar," katanya, lalu berbalik dan bergegas ke dapur. Dia pasti pandai berputar sebab dia berbadan kecil, pikirku.

Sesudah Hikari pergi, tiba-tiba aku ditinggal sendirian bersama Akane.

Setelah ragu-ragu selama √2 detik, aku pun duduk di dekatnya. Aku hendak menyapa, tapi dia tampak benar-benar tenggelam dalam pikiran, bergumam pada diri sendiri, suara tak terdengar, bahkan tidak melihat ke arahku. Seolah-olah dia tidak memperhatikan aku. Dia sedang memikirkan apa? Aku menajamkan telingaku supaya bisa mendengar.

"Sente 9-6, pion… Gote 8-4, pion… Sente sama, pion… Gote 8-7, pion… Sente 8-4, benteng… Gote 2-6, pion… Sente 3-2, jenderal perak… Gote 9-5, pion… Sente 4-4, uskup… Gote 5-9, jenderal emas, kembali… Sente 2-7, ksatria… "

Arti tidak diketahui.

Dia bukan salah satu dari Tujuh Orang Gila (Seven Fools) tanpa alasan; bahkan mereka bergumam hal-hal unik pada diri mereka sendiri, pikirku, sungguh-sungguh terkesan. Tapi mendengar saksama, agaknya dia sedang bermain shogi. Wow… shogi buta, shogi tanpa melihat papan maupun bidak.

Dan sendirian, sebagai catatan.

Apa ini selalu dia lakukan di pagi hari?

"Gote 2-3, pion, promosikan, Sente kalah," katanya, dan melirik ke arahku. "Ah, kukira siapa. Kamu. Selamat pagi."

"Selamat pagi."

"Heh heh. Bukankah shogi itu tangguh? Bidak memiliki kemungkinan bergerak lebih luas daripada bidak catur. Aku baru saja melawan Gote. Kemenangan tipis."

"Hah."

Kau bisa maju pertama atau tidak pada shogi tunggal? Mungkin Akane bisa membagi otaknya bak lumba-lumba. Ya, mungkin-mungkin saja bagi seseorang seperti dia.

"Apa kamu jago shogi, atau catur, yang mana?" dia bertanya.

"Aku takkan bilang begitu, tidak satu pun."

"Hmm, begitukah?"

"Membaca pikiran orang lain bukanlah keahlianku."

"Oh ya? Hmm, kurasa tidak. Kamu punya wajah seperti itu," dia mengangguk. "Aku melihatmu dari jendela tadi. Keluar buat jalan-jalan pagi, kan?"

"Ya, berkeliling di hutan."

"Ah, jalan-jalan di hutan, bagus sekali. Betul-betul bagus. Phytoncide keluaran pohon punya efek bakterisidal dan semacamnya."

Apa-apaan?

Di Houston, Texas, di Amerika, ada fasilitas penelitian yang disebut Sistem ER3. Di sana, para pakar brilian dari seluruh Amerika, bahkan, di seluruh dunia, berkumpul, dan tempat itu dijuluki sebagai benteng utama pembelajaran, menggali apa pun yang bisa disebut bidang studi atau penelitian, dari ekonomi hingga sejarah, ilmu politik hingga studi budaya, fisika dan matematika tingkat tinggi hingga biokimia, teknik listrik dan mesin hingga parapsikologi.

Fasilitas itu juga dikenal sebagai Pusat Penelitian Komprehensif. Di sanalah mereka, para penggemar pembelajaran dan penelitian dalam ukuran ekstrem, bisa dibilang gila, berkumpul. Sarang bagi orang tak manusiawi, orang-orang berkeinginan menggali pengetahuan melebihi kebutuhan alami dan biologis mereka. Organisasi nonprofit seutuhnya, mereka menolak menjual pengetahuan atau temuan penelitian mereka, dan mereka ibarat organisasi tertutup, introvert, gelap dan rahasia.

Hanya ada empat aturan dasar.

Tidak punya harga diri.

Tidak punya prinsip.

Tidak memiliki keterikatan.

Tak boleh merengek dan mengeluh.

Mereka tegas bekerja sama antara satu sama lain dalam segala hal semaksimal mungkin, tidak pernah mengurusi hal-hal sepele bahkan jika dunia segera binasa, dan tidak pernah berhenti di tengah jalan bahkan jika alam semesta gagal.

Tujuan akhir bagi mereka yang ingin melakukan penelitian, yang ingin tahu, yang harus tahu, memanfaatkan sarana dan berakhir harmonis seutuhnya, itulah Sistem ER3. Orang-orang di sana terdiri dari kalangan profesor perguruan tinggi terhormat hingga peneliti garis depan dan sarjana amatir, kumpulan orang yang benar-benar tidak berprinsip. Daftar nama mereka amat aneh sampai-sampai elemen media mengejek mereka sebagai sekte orang gila, gila sebab terlalu berpendidikan.

Namun penelitian mereka telah berbuah hasil memuaskan: demistifikasi optik nonlinier Dalevio, kemajuan luar biasa dari teknologi volume hologram, dan baru-baru ini pembentukan DOP sebagai teknologi sensorik semuanya berkat ER3. Bukan pekerjaan individu, melainkan upaya tim, dan pekerjaan nirlaba pula, mereka menolak semua penghargaan dan berbagai kehormatan lain, dan dengan demikian tidak menarik banyak perhatian, tapi reputasi mereka di dunia akademis sudah tidak perlu diragukan lagi. Pusat penelitian itu punya sejarah relatif singkat─bahkan belum seabad berdiri─namun sudah diakui pada skala global.

Dan pada pusat penelitian ini terdapat kelompok transenden berjuluk Tujuh Orang Gila. Tujuh individu dipilih sebagai "tujuh paling dekat dengan jawaban dunia." Mereka benar-benar "jenius di antara orang-orang jenius".

Salah satunya Akane Sonoyama.

Dia memiliki rambut hitam indah, dipotong persis seperti penggaris, aura intelektual pun terpancar. Perawakan tinggi untuk seorang wanita, dia juga bertubuh ramping penuh gaya. Tidak ada satu pun bagian tak dipenuhi keperempuanan tampan. Selain itu, dia berada di puncak akademisi perempuan Jepang.

Sistem ER3 relatif tidak dikenal di Jepang. Kenyataan ER3 itu sendiri begitu eksklusif tidak diragukan lagi merupakan bagian dari alasan, namun mungkin lebih dikarenakan sifat asing pusat penelitian itu sendiri tidak sejalan cara orang Jepang dalam melakukan sesuatu. Meskipun begitu, Akane itu orang Jepang murni pertama (berusia dua puluhan, bahkan) yang melesat naik ke jajaran Tujuh Orang Gila ER3. Seharusnya dia jauh lebih disanjung di negaranya sendiri.

Semua ini mungkin menimbulkan pertanyaan mengapa orang Jepang murni sepertiku tahu banyak tentang ini. Tapi sebenarnya tidak ada alasan khusus. Bukan karena aku memperoleh informasi secukupnya, hanya saja aku pernah terlibat dengan ER3.

Dalam persiapan jangka panjang, Sistem ER3 menerapkan program studi ke luar negeri untuk mencerdaskan generasi muda penerus. Selama lima tahun, dimulai pada tahun keduaku di sekolah menengah pertama, aku berpartisipasi pada program itu, jadi tentu saja aku tahu reputasi Akane Sonoyama sebagai salah satu dari Tujuh Orang Gila dan keberadaannya "di atas awan".

Itu sebabnya aku lebih dari terkejut berjumpa dia di sini, di pulau ini. Aku sama sekali bukan tipe baik-baik, menyerah tanpa syarat pada saat pertama kali mengendus otoritas atau bakat alami, tapi aku tak kuasa menahan gamang. Kau mesti bicara apa pada salah satu dari Tujuh Orang Gila?

Aku sedang duduk di sana, bungkam, ketika Akane berbicara lagi. "Omong-omong, gadis berambut biru itu─Kunagisa, maksudku."

"Ah. Iya?"

"Dia sangat menarik. Tadi malam aku menyuruh dia melakukan perawatan pada PC-ku. Dia betul-betul ahlinya, bukan? Kami memiliki teknisi di ER3 juga, tapi aku belum pernah melihat yang begitu… presisi secara mekanis. Dia terlihat seperti sedang bekerja rutin saja. Ini mungkin terdengar selamba, tapi untuk sesaat aku bertanya-tanya apakah dia benar-benar manusia. Tidak heran Iria benar-benar memujanya."

"Ah masa? Aku harap dia tidak merepotkan."

Akane tertawa kecil. "Kau terdengar seperti kendaraan pengawal."

Kendaraan pengawal. Pujian tidak berdasar. "Maksudmu 'personel pengawal'?"

"Nah, bukankah dua-duanya sama-sama menjagamu?"

"Salah satunya kendaraan bermotor."

"Ah, tentu," dia mengangguk. Di luar semua kemampuannya, baik matematika dan sains maupun pengetahuan lain, tampaknya bahasa Jepang bukanlah subjek terbaik Akane. "Yah, apa pun. Setidaknya, dia tidak mencoba merayuku."

Yah, tentu saja.

"Kembali lagi, dia tampak tipe canggung secara sosial. Kurasa dia tak mendengar ketika orang lain bicara. Dan sebagai hasilnya, PC milikku berevolusi sekitar dua generasi."

"Dia sebetulnya berangsur membaik. Dia dulu sulit sekali untuk diajak bicara. Mulai dan berhenti kapan pun dia mau. Itu cukup melelahkan buatku."

"Hmm. Pendapatku, kupikir ada pesona tertentu pada sifatnya yang jarang menyesal."

"Eh, aku tidak yakin bisa bilang setuju."

"Terserah." Akane mengangkat bahu. "Omong-omong, aku juga mendengar darinya kalau kamu sempat terdaftar pada program ER."

"Aduh."

Pengoceh itu telah keceplosan. Aku sudah memberitahunya untuk tetap menjaga rahasia itu… Bukan berarti aku tak seutuhnya sadar sia-sia saja mencoba membuat gadis itu bungkam.

"Seharusnya kamu beri tahu aku saja. Kita bisa mengobrol cukup lama. Aku merasa seolah-olah dua hari telah terbuang percuma. Kukira bukan kebetulan kamu menahan diri? Tolong jangan salah paham—jangan menilaku terlalu tinggi."

"Tidak, bukan itu… Kurasa sulit bagiku berbincang soal itu. Lagi pula, meskipun aku ikut serta, aku berhenti di tengah jalan. "

Program ini terdiri dari kurikulum sepuluh tahun. Aku keluar pada tahun keenam, pada bulan Januari lalu. Dari sana aku kembali ke Jepang dan bertemu kembali dengan Kunagisa. Untungnya aku sudah memenuhi syarat lulus SMA setelah tahun keduaku di program ini, jadi aku bisa langsung masuk Universitas Rokumeikan Kyoto.

"Ini masih cukup mengagumkan," kata Akane. "Tak peduli betapa keseleonya kamu..."

"Bukan keseleo (sprain), melainkan tekanan (strain)."

"Tak peduli betapa melelahkannya bagimu, ujian masuk program ER itu rintangan besar. Kamu harus lebih bangga terhadap pencapaianmu."

Ujian masuk program ER memang sulit bukan kepalang. Selain itu, buku panduan aplikasi mengatakan, "Tidak ada keuntungan apa-apa. Ini tidak pula menjamin masa depanmu. Tidak akan ada yang datang menyelamatkanmu. Kami hanya menawarkan lingkungan tempatmu memuaskan dahaga intelektual." Tetap saja, kandidat elit dari seluruh dunia berkumpul dan berlomba-lomba. Jadi memang benar, lulus tes saja sudah sebuah bentuk kebanggaan.

Tapi.

Aku tidak menyelesaikan kurikulum.

"Tidak ada gunanya keluar di tengah jalan. Hasil itu segalanya di dunia ini."

"Segala sesuatu di dunia ini adalah hasil, itu kepercayaanku. Atau kamu termasuk segelintir yang berpikir 'jenius itu jenius itu jenius'?" dia bertanya dengan nada agak menyindir. "Seorang jenius bukanlah mawar. Di Jepang, kamu acapkali melihat orang merasa bangga akan usaha mereka sendiri, bukan? 'Aku telah mengalami kesulitan luar biasa, apa pun hasilnya,' kata mereka. Mereka mengatakan ada manfaat dalam usaha itu sendiri. Aku pikir pandangan itu valid. 'Bekerja keras' itu sudah hasil bagus. Yang bermasalah buatku itu sampah yang mengatakan hal-hal tidak masuk akal seperti 'Aku bisa melakukannya jika mau' atau 'Aku tidak bisa melakukan itu karena aku tidak berusaha' atau 'Aku bilang aku bisa melakukan itu, tapi bukan berarti aku akan melakukan itu.' Konyol sekali. Jenis orang di dunia ini benar-benar beragam, ya? "

"Aku, aku tidak melakukannya sebab aku tidak bisa."

"… Hmm. Heheh, rupanya kamu cukup merendah hati."

"Maksudmu mungkin rendah hati."

"Bingo."

Bagian kanan bibir Akane melengkung setengah tersenyum dan dia mengeluarkan sebungkus rokok dari saku. Bergerak mengalir dan anggun, dia memasukkan salah satu ke dalam mulutnya dan menyalakan ujung rokok.

"Wow, kamu merokok? Aku terkejut."

"Kamu tipe pembenci wanita merokok?"

"Yah, tidak, bukan wanita secara khusus. Merokok buruk bagi kesehatanmu, tahu?"

"Kesehatan itu buruk untuk rokokmu, kamu tahu," balasnya, perlahan mengembuskan asap. Dia itu si Tujuh Orang Gila, pikirku, tapi dia menyeringai karena malu. "…Sekedar kata-kata sesat. Jangan pedulikan aku. Akan sangat buruk jika kamu nanti berpikir kurang baik tentangku," katanya. "Haruskah kita ubah topik pembicaraan? Aku sebenarnya berada di Jepang sampai SMA."

"Yang betul?" aku sedikit terkejut. Namun bila kau memikirkan itu sekali lagi, hal itu benar-benar bukan misteri. "SMA mana?"

"Hanya sekolah prefektur biasa. Tidak terlalu terkenal. Aku pernah berada di klub karate putri saat itu. Cukup menyenangkan. Aku sama sekali tidak menyukainya pada saat itu, tapi jika dipikir-pikir, aku pasti bersenang-senang. Wah, kenangan lama. Sudah lebih dari sepuluh tahun… Roknya saat itu sepanjang ini. Aku tidak meraih nilai terbaik, tapi aku bagus dalam matematika dan bahasa Inggris. Itulah kenapa aku berakhir di universitas luar negeri. Keluargaku sangat menentang, tapi aku menentang mereka pula. Lagi pula, bukankah mereka bilang, 'Jika kamu mencintai seseorang, bakar mereka hidup-hidup'?"

"Tidak."

"Apa pun itu, memang begitu, pada akhirnya aku memisahkan diri dari keluargaku dan hijrah ke Amerika sendiri. Langkah itu terasa penting bagi seseorang sepertiku saat itu."

Dan dengan demikian, dia dianugerahi titel sebagai Tujuh Orang Gila.

Dia itu jenis Cinderella unik.

"Jadi kamu suka matematika. Aku punya firasat," kataku.

"Yah, aku tidak membenci pelajaran itu. Di SMA, aku suka kenyataan selalu ada satu jawaban konkret, tidak ada komponen kurang jelas, jadi yang kulakukan hanyalah matematika. Aku menyukai hal-hal gamblang. Sedangkan setelah kuliah, di Sistem ER3, aku baru sadar belum tentu demikian. Bagaikan shogi atau catur. Kamu hanya perlu mencari cara untuk skakmat, tapi tersedia banyak cara untuk sampai ke sana. Aku merasa seolah-olah telah ditipu atau semacamnya."

"Seperti saat seorang kekasih menunjukkan sisi tak biasa padamu?"

"Ide romantis, tapi tidak persis begitu," sahut Akane sambil tertawa. "Namun aku juga sedikit tersentuh, tahu. Di masa SMA, aku selalu berpikir matematika tak akan berguna begitu memasuki dunia nyata, tapi sebenarnya ada kasus di mana kamu harus menggunakan kalkulus dan persamaan kubik dan semacamnya. Faktorial pun sering dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Aku benar-benar tersentuh oleh fakta itu."

"Aku mengerti." Aku pun mengangguk. Benar-benar mengangguk.

Dia tersenyum puas. "Apakah kamu juga tergolong orang matematika? Rata-rata, pria lebih cenderung gemar matematika daripada wanita. Akibat cara kerja otak, mereka condong ke arah situ."

"Begitu?"

"Ya, berdasarkan data statistik."

"Kedengaran seperti data seksis bagiku."

Selain itu, bukti statistik tidak bisa diandalkan. Jika kau melempar dadu seratus kali dan memperoleh angka enam pada tiap lemparan, itu tidak lantas berarti dadu akan menunjuk angka enam kembali di lain waktu. Aku mengatakan ini padanya, lalu dia protes padaku.

"Jika angka enam muncul seratus kali berturut-turut, dadu itu hanya bisa mendarat pada posisi enam menghadap ke atas. Perbedaan itu terlalu signifikan untuk dianggap kebetulan atau kecenderungan belaka. Statistik pria-wanita juga serupa… Heheh, jadi kamu seorang feminis. Atau kamu hanya bersikap sopan di sekitarku? Yah, sayangnya aku bukan feminis. Mendengar pembicaraan soal memperluas hak-hak perempuan dan pembebasan belenggu perempuan membuatku mual. Mengerti maksudku? Mereka jelas mengoceh omong kosong. Tentu, dunia ini dunia laki-laki, tapi bukan kesetaraan jenis kelamin yang kita butuhkan, melainkan kesempatan adil untuk menerapkan kemampuan kita. Pria dan wanita amat berlainan sampai keduanya bisa dianggap makhluk terpisah secara genetik. Jadi Akane Sonoyama yakin mereka memiliki peran tak tumpang tindih. Tentu saja, hal itu bertumpu pada asumsi utama peranmu dan apa yang ingin kamu lakukan itu terpisah, dan asumsi kecil jika kamu harus memilih di antara keduanya, apa yang ingin kamu lakukan harus didahulukan. Ah, dan mungkin asumsi menengah di awal, yaitu kamu dapat melakukan keinginanmu. Bagiku itu semua terdengar seperti alasan terlalu mudah ketika nyatanya kamu tidak mampu berbuat apa-apa."

"Jangan lupa faktor lingkungan…"

"Lingkungan, ya? Tapi pernahkah tercatat zaman ketika wanita dilarang menulis, atau memahat? Mengenai tren terkini, aku jadi lebih cenderung bersimpati terhadap pria. Aku merasa seolah-olah mereka lebih dekat dengan sudut pandang pribadiku, dan satu lagi, sampai zaman modern, tempat kerja selalu secara eksklusif domain laki-laki, bukan? Jadi tidak heran mereka marah kala wanita ingin ikut campur. "

"Itu cuma membenarkan yang salah," kataku, bertanya-tanya mengapa aku harus membela sisi pro feminis.

"Hmm," dia mengangguk. "Mungkin kamu benar. Aku tak begitu tahu. Namun aku bisa paham mengapa wanita juga marah pada pria. Jika semua yang mereka lakukan itu menjalankan peran mereka, maka tidak mungkin bagi mereka untuk merasa lebih baik. Kemurkaan itu wajar. Asalkan mereka tidak mencoba melibatkan aku pada agenda apa pun. Kurasa apa yang benar-benar kuinginkan adalah para feminis itu menjauh dari keseharianku. Apa pun masalahnya, wanita pada dasarnya jenis membosankan. Sama seperti kalian para pria. Hmm, kalau dipikir-pikir, ada lebih banyak pria daripada wanita di ER3 juga. Lima dari Tujuh Orang Gila itu laki-laki."

"Keuntungan bertingkat."

Oh? Dia tampak terkejut. "Aku khawatir tak tahu istilah itu dalam bahasa Jepang. Apa itu, semacam diet?"

"Artinya Beta kalah bersaing melawan VHS."

"Ah, maksudmu bias di bidang ekonomi. Benar, untuk mengembalikan dunia yang tadinya bias laki-laki ke keseimbangan, kamu harus rela melalui sedikit perjuangan. Sungguh, tidak akan ada masalah jika pria dan wanita tidak saling bersikap cemburu satu sama lain. Namun, kedua sisi tak pernah mengerti, bukan? Pada mulanya, membeda-bedakan berarti mengetahui perbedaan… "

"Akane, semua ini terdengar meyakinkan berasal darimu. Kukira kamu sendiri pasti mengalami 'sedikit kesulitan'."

"Tidak pernah," katanya datar. "Aku hanya berusaha sedikit saja."

Pernyataan penuh muatan dan terasa berat.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu yang ingin kutanyakan sejak pertama kali mengenal keberadaan Tujuh Orang Gila di ER3.

"Katakan, siapa orang paling cerdas nomor satu di seluruh Sistem ER3?"

Dengan kata lain, siapakah orang terpintar di dunia? Akane menjawab sambil memikirkan baik-baik.

"Nomor dua Fräulein Love."

"Dan nomor satu?"

"Ayolah, Nak, kamu berharap kukatakan sendiri?"

Aduh.

"Bercanda, bercanda. Hmm, untuk menjawab serius pertanyaanmu, orang paling kuhormati, atau orang yang kutempatkan di atas diriku sendiri, dan di atas lainnya, mungkin Asisten Profesor Hewlett. Dia pasti paling unggul."

Hampir mencapai prestasi luar biasa, dia satu-satunya pemikir terbesar di abad terakhir, dan mungkin pada abad ini pula. Orang pertama dan mungkin terakhir yang menguasai setiap mata pelajaran ketika dia masih berusia hitungan satu digit. Dianugerahi kekebalan oleh presiden, kecerdasannya dilindungi segenap kekuatan bangsanya.

Bila Akane nampak layaknya dewa dari tempatku, Asisten Profesor Hewlett itu bak tatanan alam semesta itu sendiri.

"Jika dia seorang wanita, sejarah akan berubah arah," kata Akane, melihat ke kejauhan. Terlihat jelas itu ekspresi sanjungan.

avataravatar
Next chapter