4 Savant Biru Laut | Part 3

Aku kembali ke mansion dan mengunjungi kamar Kunagisa sekali lagi. Kunagisa masih sama seperti saat kutinggalkan tadi, duduk di kursi putar, tiga PC (maksudku, dua PC dan satu workstation) berada di depannya. Saat ini dia sedang fokus pada workstation, dan kedua PC telah dimatikan.

"Sedang apa, Tomo?"

Tak ada jawaban.

Aku mendekatinya dari belakang dan menarik kedua kepangan rambutnya. "Augh," ucapnya dibarengi suara aneh, dia akhirnya menyadari kehadiranku. Tanpa mengubah posisi, dia menatapku sambil kebingungan. Tentu aku muncul terbalik di matanya.

"Yooo, Iichan. Kamu sudah kembali."

"Yah, begitulah… Apakah itu Mac?"

Entah kenapa, monitor pada workstation di seberang Kunagisa menampilkan layar Mac OS. Sejauh yang kudengar, Mac OS hanya bekerja pada Mac.

"Ya, ini Mac OS. Ada beberapa aplikasi yang hanya berjalan di Mac OS, jadi aku menjalankan aplikasi OS itu pada mesin virtual."

"Mesin virtual?"

"Pada dasarnya aku membuat workstation berpikir ada Mac di dalamnya. Dengan kata lain, aku menipu si perangkat lunak. Tentu saja Windows pun masih tertanam di sini. Sebagian besar OS diinstal pada workstation ini, sehingga dapat melakukan apa saja."

"Ah…" Aku tak begitu mengerti. "Ini pertanyaan bodoh, tapi apa bedanya Mac dan Windows?"

Dia merenung sebentar usai diberi pertanyaan amatiran. "Keduanya berbeda sebab berbeda pula penggunaannya bagi masing-masing orang," jawab Kunagisa, terdengar presisi.

"Ya, itu benar, tapi… Lupakan soal itu. Jadi OS itu ibarat perangkat lunak inti, bukan? Aku kira itu benar. Jadi, rupanya komputer mewadahi banyak kepribadian?"

"Perumpamaan itu cukup tepat."

"PC itu, eh, workstation, apa inti OS-nya? Seperti kepribadian ganda, kamu memiliki kepribadian 'utama', bukan? "

Geocide.

"Belum pernah dengar. Apakah seperti Oonix? "

"Itu Unix, pakai ejaan 'yu'. Ayolah, kamu belajar di luar negeri; kamu harusnya tahu tidak tepat memakai alfabet seperti bahasa Jepang yang diromanisasi, Iichan. Itu membuatmu terdengar bodoh. Uh, yah, itu juga kompatibel terhadap Unix. Namun ini benar-benar OS asli hasil pengembangan salah satu temanku."

"Seorang teman…"

Teman Kunagisa. Seorang teman Kunagisa yang bisa mengembangkan sistem operasi orisinal pastilah bagian dari Tim. Tim terkenal itu.

Beberapa tahun ke belakang, pada abad lalu, pada masa ketika sistem jaringan Jepang masih terbelakang, kelompok itu muncul. Atau, tidak, "muncul" bukanlah ekspresi yang benar. Mereka tidak pernah sekejap pun membiarkan wajah mereka, atau bayangan mereka, atau bahkan bau mereka menghiasi mata publik. Mereka tak pernah mengumumkan nama mereka; apapun nama yang pernah diduga milik mereka telah digunakan oleh orang lain. Mau kau menyebut mereka klub virtual, teroris dunia maya, crack unit, ataupun geng pembuat gunung dari sarang tikus mondok, itu bukan apa-apa bagi mereka, dan mungkin tidak akan digubris pula.

Mereka benar-benar tak tertandingi, spesies tak diketahui. Berapa banyak jumlah anggota di sana, dan jenis seperti apa orang-orang itu, anggota dari Tim itu? Semua ini diselubungi misteri.

Dan apa agenda mereka?

Apa pun.

Mereka melakukan apa saja, hanya itu saja yang bisa dikatakan. Beragam hal mereka lakukan, tak ada yang tak mereka lakukan. Mereka mendatangkan malapetaka, malapetaka, dan lebih banyak lagi malapetaka. Aku sedang tak berada di Jepang pada saat itu, jadi aku tidak melihatnya secara langsung, tapi mereka bilang peristiwa itu benar-benar malapetaka yang menggelikan sehingga praktis menyegarkan, tak meninggalkan petunjuk apa pun tentang motif atau tujuan mereka. Dimulai dari hacking dan cracking murni, mereka juga terlibat dalam konsultasi perusahaan dan penipuan suap. Ada juga spekulasi mereka mengendalikan sejumlah perusahaan besar kala itu.

Namun kau tidak bisa menganggap mereka hanya ada sebagai gangguan. Baik atau buruk, berkat mereka tingkat keseluruhan teknologi jaringan meningkat drastis. Bahkan boleh dibilang mereka berhasil. Jika menengok pada tingkat mikro, pasti timbul kerugian, tapi dalam gambaran besar, laba mengalahkan kerugian sepuluh kali lipat.

Tapi, tentu saja, "kekuatan otoritas" melihat mereka sebagai penjahat pelanggar hukum yang menyebalkan, maupun peretas serta cracker biasa yang menolak berkompetisi. Jadi Tim selalu dibenci dan dikejar-kejar. Ajaibnya, mereka belum pernah tertangkap, dan tak pernah mengungkapkan "persis apa keinginan mereka." Kemudian, tahun kemarin, tiba-tiba dan tanpa sebab pasti, mereka tidak pernah terdengar lagi. Seolah-olah mereka baru saja terbakar habis dan lenyap.

"…"

"Yo, ada apa, Iichan? Kamu tiba-tiba diam."

"Nah… tidak apa-apa."

Kunagisa terkikik, rambut birunya menggelepar.

"...… Tidak apa-apa, sungguh."

Siapa yang bakal percaya kalau pemimpin Tim tak tertandingi itu—yang telah menemui akhir antiklimaks—sebetulnya seorang gadis periang berusia remaja? Tepatnya siapa yang waras akan mempercayai sesuatu semustahil itu? Disebut lelucon parah saja rasanya tidak mungkin…

Tapi bila bukan itu kenyataannya, Kunagisa tidak akan diundang ke pulau penuh orang-orang jenius ini sebagai spesialis sistem dan teknik mesin.

"Bagaimana mungkin aku tak merasa minder, Shinya…"

"Hah? Bilang apa?"

Kunagisa menatapku sejenak.

Ya, hanya omong kosong, sahutku.

"Jadi 'Geocide', bukankah itu berarti 'pembunuhan Bumi'?"

"Ya. Dari semua OS, mungkin itu paling hebat. 'Geocide si nomor satu.' Bahkan RASIS-nya pun sempurna."

"Kadang-kadang kupikir kamu menggunakan kata-kata sulit hanya untuk membuatku kesal. Apa itu RASIS?"

"Singkatan dari keandalan, ketersediaan, kemudahan servis, integritas, keamanan. Tapi tentu saja, itu dalam bahasa Inggris," katanya agak kesal. "Pada dasarnya itu berarti stabilitas. Tentu, ini membutuhkan sistem berkinerja tinggi, tapi kamu hampir tidak pernah menemui galat. Astaga, Acchan itu benar-benar jenius. Heheheh! "

"'Acchan'..." Dia memakai sebutan familiar untuk merujuk pada orang itu. "Kedengarannya kalian berdua cukup dekat."

"Hmm? Cemburu? Hmm? Hmm?" katanya, bernada senang dan mengernyih nakal. "Bukan masalah. Aku paling menyukaimu."

"Ah, benar. Kuhargai itu." Kugeser bahu, lalu mencoba mengalihkan topik. "Tapi jika OS itu berkualitas tinggi, mengapa tidak dipasarkan? Jika dijual seperti Windows, kamu akan menghasilkan banyak uang."

"Tidak bisa. Kamu tahu soal keuntungan bertingkat, bukan? Dengan selisih permulaan sebanyak itu, kami tak akan pernah bisa mengejar. Bisnis melampaui keterampilan atau bakat."

Laba bertingkat (increasing returns). Hukum ekonomi berbunyi "semakin banyak kau miliki, semakin banyak kau dapatkan", lonceng kematian bagi para fakir dan pendatang baru. Sudah cukup lama sejak kupelajari hal itu, jadi aku tidak mengingatnya jelas, tapi sederhananya, "Begitu ada celah di lapangan, tidak mungkin mengubur celah itu." Baik dalam hal keterampilan atau uang, tampaknya tidak berbeda.

"Selain itu, membuat Geocide saja sudah memuaskan Acchan. Dia tahu bagaimana caranya berpuas diri."

"Hei, dia terdengar ceria."

"Bahkan jika bukan itu masalahnya, kurasa masih tidak mungkin untuk dipasarkan. Meskipun cuma perangkat lunak inti, peranti ini butuh beberapa spesifikasi selangit. Angka menembus skala astronomi. Bahkan mesinku masih pas-pasan."

"Hmm. Berapa ukuran hard disk-mu? Sekitar seratus?"

Seratus tera.

Satuan berbeda. "Tera… kebalikan dari pico, jadi… seribu giga?"

Tidak, 1.024 giga.

Perempuan rewel.

"Sobat," kataku, "Aku belum pernah melihat hard disk sebesar itu..."

"Untuk lebih spesifik, ini bukan hard disk; melainkan memori holografik. Tak seperti hard disk, data direkam sebagai garis, media ini merekam secara dua dimensi. Mampu melakukan transfer secepat satu tera per detik. Mungkin butuh sedikit… lebih banyak waktu sebelum masuk ke pasaran sana. Asal kamu tahu, jenis media ini dikembangkan untuk keperluan teknologi luar angkasa."

Dia juga punya koneksi seperti itu?

Komunitas yang tak terlalu menyenangkan.

"Tentu saja, ini berlaku pula untuk kapasitas mesin, tapi jika spesifikasi motherboard tidak disesuaikan, kamu mungkin kurang beruntung. Acchan selalu membuat sesuatu tanpa mempertimbangkan keadaan sekitar, tahu? Jadi ciptaannya kerap berakhir begini. Dia tidak mencoba menyesuaikan kebutuhan orang lain."

"Motherboard buatan rumahan? Orang-orang punya hobi begitu?"

"Aku sendiri, contohnya."

Dia menunjuk dirinya sendiri, ibu jari mengacung.

Baiklah. Dia seorang insinyur. Dia pasti pelaku pemasok baik perangkat keras maupun lunak pada "rekan satu tim"-nya, yaitu "senjata" mereka. Jika kau memikirkan itu baik-baik, rasanya cukup mengganggu. Mengembangkan OS tak layak jual itu satu hal, sedangkan membangun dan merakit motherboard-mu sendiri itu benar-benar ganjil.

"Selain Tuan Pembunuh Bumi, pernahkah kamu mempertimbangkan untuk menjual barang-barang ini? Seperti motherboard kebanggaanmu?"

"Aku juga tipe berpuas diri. Bagaimana denganmu, Iichan? "

"Hmm, entahlah."

Terlepas dari bakat atau kekurangan bakat, pada akhirnya semua orang digolongkan menjadi dua kelompok: mereka yang mengejar dan mereka yang menciptakan. Terlepas dari kasusku sendiri, Kunagisa termasuk golongan terakhir.

"Lagi pula, soal uang, aku punya segudang sepanjang waktu. Untuk sekarang, aku tidak perlu lebih banyak lagi."

"Ah, tak heran."

Itu benar. Kunagisa tak sedang merasa butuh hingga menuntut dia mesti terjun ke bisnis sekarang juga. Tak berlebihan untuk menganggap dia menyamakan uang seperti air. Seorang anak berusia sembilan belas tahun penghuni sebuah kondominium dua lantai kelas atas di Shirosaki dan anak itu punya kebiasaan menghabiskan uang secepat mungkin. Aku tak tahu berapa banyak orang di luar sana kekayaannya melampaui Kunagisa, namun tentunya hanya sedikit orang yang menghabiskan uang sebanyak itu, seboros itu.

Antara Yayasan Akagami dan keluarga Kunagisa, menentukan siapa yang memegang kekuatan lebih besar berada di luar kemampuan kognitifku, tapi apa pun itu, yang pasti mereka memiliki cukup kekayaan untuk menikmati hal-hal terbaik selama hidup dan masih menyisakan harta cukup untuk sembilan pangkat sembilan pangkat sembilan jiwa.

Omong-omong, Kunagisa mirip dengan nyonya pulau ini, Iria, sebab dia juga separuh tak diakui oleh keluarga utama. Mungkin mereka memang mirip. Tiga hari tinggal di sini sebetulnya membuatku semakin ragu, tapi, yah, keduanya bisa dibilang sama-sama eksentrik. Sedemikian rupa hingga mustahil bagi mereka untuk berbaur atau tergabung dalam sebuah organisasi.

"…"

Begitulah adanya.

Apa pun itu mengenai pulau ini…

Arti dari julukan Pulau Bulu Gagak Basah...

Kunagisa kembali mengetik.

"Aku akan pergi sarapan," kataku padanya. "Bagaimana denganmu?"

"Tidak, terima kasih. Belum lapar. Ini sedang musim kawin. Iichan, silakan sendiri saja. Makan untukku juga."

Oke, kataku, berjalan menuju ruang makan.

avataravatar
Next chapter