15 Satu Pemenggalan | Part 4

4

Dalam perjalanan menuju kamar Kanami, kami berpapasan dengan Yayoi. Aku bermaksud menyapanya, tapi suasananya, uh, canggung, jadi kesempatan itu sengaja kulewatkan. Dia sendiri terus berjalan ke arah berlawanan. Kami melewati satu sama lain, tapi sepertinya dia bahkan tidak memperhatikan kami.

"Aku ingin tahu dia sedang apa," kata Kunagisa. "Aneh!"

"Dia tampak agak khawatir tentang sesuatu. Atau mungkin sedang berpikir keras."

"Yap. Karena dia datang dari arah sana, mungkin tadi dia melihat-lihat kamar Kanami. Mungkin dia punya ide yang sama dengan kita. Ayo selesaikan kasus ini secepatnya biar kita semua bisa pulang."

"Hm, entahlah. Dia tinggal di sini paling lama, kan? Aku ragu dia tiba-tiba ingin berkemas dan pergi."

"Entahlah. Aku pribadi tidak akan suka pulau tempat kasus pembunuhan pernah terjadi."

"Benar juga."

Tepat sebelum kami semua berpencar dari ruang makan, Iria menetapkan sebuah aturan: "Sampai Aikawa tiba enam hari lagi, tidak ada yang boleh meninggalkan pulau. Kita semua tersangka di sini, termasuk diriku sendiri."

Dengan kata lain, Akane bukan satu-satunya yang sedang dikurung. Bukan cuma rasa ingin tahu yang memotivasi Kunagisa menggali lebih dalam. Dia pun berkeinginan untuk pulang sesuai jadwal. Meski santai dan malas, anehnya dia disiplin terhadap jadwalnya.

"Yah, apa pun itu bukan masalah," katanya. "Aku tentu tak keberatan jika Yayoi memecahkan kasus ini untuk kita."

"Kupikir bukan itu rencananya. Menurutku, dia memancarkan semacam getaran melankolis dan muram. Hampir seperti orang yang membuang barang bukti atau semacamnya."

"Itu pasti bukan kabar baik buat kita." Kunagisa menatapku melalui kamera digitalnya. "Ayo cepat kita periksa."

Pintu kamar Kanami dibiarkan terbuka. Kau bisa melihat bagian dalam pintu terbuka ke luar. Sepertinya tidak ada orang di kamar itu. Aku penasaran apa yang dilakukan semua orang, kecuali Akane, yang sedang berada di ruang penyimpanan. Tapi kuputuskan untuk mengesampingkan pikiran itu untuk sesaat. Orang-orang akan berbuat sesuka mereka, sebebas-bebasnya. Itu berlaku di pulau ini, dan itu juga berlaku di tempat lain.

Ruangan itu masih berbau pengencer cat, namun sebagian besar cat yang berserakan tampak sudah kering sekarang. Jasad Kanami tetap berada di tempat yang sama seperti tadi pagi, dan terlihat persis sama.

"Astaga!"

Ada sesuatu yang lucu soal tubuh tanpa kepala. Hal yang membuat mayat begitu menyeramkan dan menakutkan itu ekspresi tanpa emosi yang tergambar pada wajahnya, tapi pada jenazah tanpa kepala, kengerian dan teror seakan diganti dengan semacam kekonyolan. Ini seperti melihat model plastik yang gagal dibentuk.

Sungai marmer. Mantel yang dilempar Kunagisa sebelumnya tetap berada tepat di tengah-tengah ruangan.

"Ngomong-ngomong, soal mantel itu. Berapa harganya?"

"Sekitar sepuluh ribu, kurasa."

"Dolar?"

"Bukan, Yen."

Wow, harga rata-rata. Aku sedikit terkejut. "Yah, mungkin sekalian saja kita masuk ke dalam."

Aku mencoba maju selangkah, tapi Kunagisa menarik lengan bajuku seperti pagi tadi.

"Apa sekarang?"

"Cobalah melompat."

"Hah!

"Ayolah. Ini eksperimen. Mulailah sedikit berancang-ancang di sini dan lihat apa kamu bisa melangkahi sungai cat itu. Keterampilan atletikmu tidak terlalu buruk, kan?"

"Kemampuan fisikku tidak begitu baik."

"Coba saja dulu."

"Baiklah."

Aku lantas bersiap-siap dan mencoba lompat sekuat tenaga, namun seperti dugaanku, aku tidak bisa melewati sungai itu. Aku mendarat dengan kedua kaki, hanya melewati beberapa sentimeter dari titik tengah ruangan itu.

"Kurasa cuma segitu yang bisa kulompati."

"Hmm." Kunagisa melangkah, memanfaatkan mantelnya sebagai batu pijakan. "Jika kamu tidak bisa melakukannya, Shinya satu-satunya orang di sini yang mungkin sanggup melompatinya. Dia satu-satunya pria lain selain kamu."

"Ya, tapi para pelayan kembar itu kelihatannya cukup bugar, jujur saja. Maksudku, mereka membawa semua barang bawaanku, termasuk PC dan workstation itu. Barang-barang itu tidak ringan."

"Tapi mereka semua mungil, jadi ada konsekuensi sederhana pada jangkauan derap mereka. Hmm, sekali lagi, manusia bisa saja mengungguli mereka sendiri ketika ada dorongan. Kurasa agak sulit untuk mengatakannya. Sekarang, mari kita lihat apa yang terjadi dengan Kanami."

Kunagisa mendekati tubuh Kanami, kamera di tangan.

Kunagisa tampak sangat tertarik memeriksa tubuhnya, sementara aku lebih peduli dengan kanvas Kanami. Ada beberapa lukisan yang tergeletak di sekitarnya, termasuk gambar bunga sakura yang dia hancurkan, serta lukisan ulangnya. Aku pun gemetar memerhatikannya. Bahkan aku yang tidak begitu tertarik dengan seni, tidak dapat memungkiri sedang menyaksikan "nilai" karya itu sendiri.

Dan kemudian ada lukisan yang menggambarkan diriku sendiri. Kanami berjanji memberikannya padaku, tapi sulit bagiku menerima pemberian semacam itu. Tekanannya terlalu besar, dan aku tidak begitu kurang sensitif.

"Meskipun besar kemungkinan semua itu omong kosong..."

Aku kemudian pergi mengambil kanvas, lalu berhenti kembali. Mungkin bukan ide yang bagus meninggalkan sidik jari di TKP. Kembali lagi, mungkin itu bukan masalah.

Hah?

"Hei, Tomo."

"Ya?"

"Apa tidak ada yang aneh dengan lukisan ini?"

"Maksudmu gambarmu itu? Hmm? Apa yang aneh? Itu lukisan biasa."

Selera Kunagisa tentu tidak normal jika dia berpikir begitu, tapi itu tidak terlalu penting. Sesuatu tentang lukisan itu hilang, secara halus. Maksudku bukan sesuatu tentang gambar itu sendiri, tapi entah bagaimana rasanya kurang masuk akal.

"Nah, ambil fotonya, oke? Aku sedikit terganggu dengan lukisan itu."

"Mengerti. Hmm, aku masih belum menemukan sesuatu yang kurang wajar di sini." Dia terlihat sedang memeriksa badan Kanami.

"Sungguh?!" Kataku sambil berjalan ke arahnya.

"Yap. Walaupun aku bukan profesional. Penyebab kematiannya masih menjadi misteri, dan aku pun tidak mampu mempersempit waktu kematian. Tanpa koroner, itu tidak mungkin. Kalau saja Iria mengundang seorang jenius medis di sini juga. Sorak sorai, Tuan Dokter Blackjack! Sekali lagi, mungkin akan sulit menentukannya sebab jenazah ini kehilangan kepalanya."

"Kurasa kita tidak akan menemukan apa pun di sini."

"Yap. Kunagisa mengangkat mayat itu. Bahkan bertahun-tahun lalu, dia tidak ragu menyentuhnya. "Agak nostalgia, setuju? Ini seperti masa lalu."

"Ya, kau benar, tapi… Tidak terasa begitu bagiku. Aku seperti melihat mayat untuk pertama kalinya lagi. Aku merasa tidak enak badan."

Kecemasan yang tak terlukiskan─seperti ketika kau menemukan bekas luka pada tubuhmu sendiri, dan kau bahkan tidak ingat kapan kamu pernah melukainya.

"Ini jamais vu," kata Kunagisa padaku.

"Itu apa?"

"Kebalikan dari déjà vu. Artinya, kamu merasa bagaikan baru pertama kali melakukan sesuatu, padahal kamu sudah melakukannya berulang kali sebelumnya. Kalau tidak salah, itu terjadi ketika indramu mati rasa."

Maka indraku pasti telah mati rasa sejak lama.

Banyak hal telah terjadi saat aku berada di luar negeri dulu…

"Pokoknya," kata Kunagisa. "Tidak ada satu pun luka tusuk. Jadi mungkin dia dicekik. Dan kemudian untuk menyembunyikan luka memarnya, si pembunuh memenggal kepalanya."

"Itu kedengaran gila. Perkakas apa pun yang dipakai si pembunuh untuk memotong kepalanya─pisau, kapak, beliung, apa pun itu─mengapa si pelaku tidak sekalian saja menggunakannya untuk membunuh Kanami?"

"Mungkin itu yang si pelaku lakukan. Tidak ada luka tusuk, tapi itu hanya di bagian tubuh. Mungkin kepala Kanami ditikam."

"Hei, ya, mungkin saja," kataku. "Ngomong-ngomong, menurutmu kemana perginya kepala itu? Aku ingin tahu si pembunuh membawanya ke mana. Maksudku, bila si pembunuh mengambilnya."

"Setengah pulau ini terdiri dari hutan. Mungkin si pelaku menguburnya di suatu tempat di luar sana. Atau mereka bisa saja membuangnya ke laut. Membuang kepalanya sendiri mungkin tidak akan jadi masalah besar."

"Yang membawa kita kembali ke pertanyaan berikut ini: Mengapa si pembunuh memenggal kepalanya?"

Tapi pertanyaan itu jalan buntu.

"Aku punya satu pertanyaan lagi, Iichan. Lihat ini. Kepalanya terpenggal dari pangkal leher, kan? Kenapa begitu? Tidakkah kamu berpikir normalnya bagian yang dipenggal itu di sekitar pertengahan leher?"

Posisi potongannya memang sangat rendah, tapi menurutku tidak terlalu signifikan.

"...…"

Aku pun menyilangkan tanganku tanpa bersuara. Investigasi TKP ini agaknya tidak akan menghasilkan petunjuk apa pun. Paling-paling, kami cuma mengkonfirmasi sungai cat itu mustahil dilompati. Namun itu terkesan seperti sebuah kemunduran daripada satu kemajuan.

Kunagisa pergi ke dekat dudukan telepon di sebelah jendela dan mengambil gagang telepon.

"Hmm, di sini juga tidak ada yang janggal."

"Kamu pikir seharusnya ada?"

"Yah, mungkin sirkuitnya telah diotak-atik supaya panggilan ke telepon ini akan terhubung ke telepon lain. Lagi-lagi kiranya tidak ada yang salah juga pada telepon itu. Rupanya tidak ditemukan pula bekas pernah dibongkar."

"Teleponnya, ya? Bagaimana menurutmu? Apa yang Kanami katakan pada Shinya?"

"Cat-catnya tumpah, aku sibuk bekerja jadi jangan ganggu aku, hal-hal semacam itu. Shinya seharusnya tetap pergi memeriksanya bahkan jika Kanami melarangnya. Mungkin itu terdengar pedas, tapi sudah tugas Shinya sebagai pengasuh untuk melayani Kanami."

"Kamu benar soal itu. Tapi tidak ada gunanya membicarakan apa yang sudah berlalu."

Lagi pula, Shinya akan menanggung beban itu, dan menyesalinya mulai sekarang. Bukan hak kami untuk menyalahkan dia, dan tidak perlu juga. Dunia ini tidak rasional, tapi dunia ini juga tempat di mana kita harus bertanggung jawab atas tindakan kita sendiri. Dan terkadang kita juga harus bertanggung jawab atas kurangnya atau teledornya tindakan kita sendiri.

Aku bertanya-tanya sambil sengaja menyuarakannya, "Apa mungkin si pelaku mengembalikan telepon ke keadaan semula setelahnya?"

"Yah, aku tidak akan mengatakan itu sama sekali tidak mungkin, tapi sulit melakukannya dari segi teknis. Mengotak-atik telepon ini tidak sama dengan mencolokkan dan mencabut kembali kabel atau semacamnya."

"Aku juga setuju... Kukira kita harus mencari kemungkinan lain. Yang kumaksud yaitu aspek 'ruang terkunci'."

"Jadi, menurutmu aku berbohong?"

Tahu-tahu aku mendengar suara Shinya dari belakang, jadi aku pun berbalik. Berdiri di ambang pintu, dia membawa semacam tas oranye di tangannya.

"Tapi aku bisa mendengar suara Kanami dengan jernih. Itu bukan kebohongan."

Dia terdengar sangat lelah. Dapat dimengerti.

"Aku tidak bilang kamu berbohong, Shinya. Aku tidak perlu menuduhmu. Kalau begitu, mungkinkah kamu mendengar suara orang lain, bukan suaranya?"

"Tidak," dia menyahut dalam sekejap. "Aku sudah lama mengenal Kanami. Tidak mungkin aku salah mengira suaranya. Apa kamu meragukanku?"

"Bukan begitu. Lagi pula, kamu tidak punya alasan untuk membunuhnya."

"Entahlah. Mungkin kami tidak seakrab yang terlihat."

Dia memberi senyuman lemah. Kemudian dia melangkah melewati bekas genangan cat yang sudah kering dan mendekati kami. Usai mengamati lebih saksama, sekarang jelas tas oranye itu apa. Tas itu kantong tidur. Shinya menatapku.

"Kita tidak bisa meninggalkannya begitu saja di sini, kan?" katanya. "Aku mendapat izin dari Iria. Kuputuskan untuk menguburnya di bukit belakang rumah ini. Iria tidak akan memanggil polisi, dan lagi pula, keseluruhan tempat ini semua miliknya. Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang cuma menguburnya dengan layak."

"Kami akan membantumu," kataku.

Dia mencoba mengatakan sesuatu, tapi barangkali menyadari manfaat dibantu dua orang tambahan, dia akhirnya tidak mengatakan apa-apa.

Bersama-sama kami mengangkat tubuh Kanami dan perlahan memasukkannya ke dalam kantong tidur. Mungkin ini sudah tak mengejutkan lagi, tapi badan Kanami benar-benar tidak lagi hangat.

"Shinya, apa kamu membawa perkakas untuk menggali?"

"Seharusnya ada sebuah sekop diletakkan di pintu masuk. Kunagisa, mungkin kamu bisa membawanya? Hm? Apa itu kamera digital?"

"Yap." Kunagisa mengangguk. "Kita harus menyimpan beberapa foto TKP untuk diserahkan pada Detektif Utama nantinya. Walaupun mayat tidak bisa lagi menolak difoto."

Caranya mengungkapkan itu mungkin tidak terlalu bagus, tapi Shinya menanggapinya dengan anggukan dan senyuman masam. "Kalau begitu, kita pergi sekarang?"

"Eh, Shinya? Soal lukisan ini…"

"Hmm? Ah. Lukisan Kanami. Fantastis, bukan? Itu lukisan terakhir yang pernah dia buat, namun dia bermaksud memberikannya padamu, jadi tolong terimalah."

"Apa tidak apa-apa?"

"Aku ingin menghormati keinginan terakhirnya."

Keinginan terakhir.

Ya, Kanami meninggal. Tanpa menorehkan raihan apa pun…

"Kuserahkan kakinya padamu, ya? Aku akan membawa kepalanya, dan─"

Shinya memotong dirinya sendiri, kemungkinan besar baru menyadari kepalanya bahkan tidak ada. Sambil tutup mulut, aku mengangkat kakinya.

Tidak diragukan lagi, Shinya berharap dia bisa mengubur kepala bersamaan dengan tubuhnya, tapi keberadaan kepala Kanami belum diketahui sampai saat ini. Entah si pembunuh menyembunyikannya di suatu tempat, atau sudah dibuang ke hutan atau dilempar ke laut, seperti yang dikatakan Kunagisa.

Memegang kaki Kanami, baru terpikir olehku betapa beratnya jenazah itu. Ketika orang tidak sadarkan diri dan tidak menopang diri mereka sendiri, mereka lebih berat dari perkiraanmu. Bukan tidak mungkin bagi satu orang untuk membawa jasad itu, tapi dua orang jelas lebih baik.

Sejak saat itu, tidak seorang pun dari kami yang berbicara. Kami membisu lalu mengangkat tubuhnya dan meninggalkan mansion itu; kami menuju gunung di belakang pulau sambil membisu; dan kami menggali lubang masih membisu.

Kantong tidur yang membungkus tubuh Kanami berwarna oranye, tampak murahan untuk sebuah peti mati. Mau tak mau aku menganggapnya lucu. Mungkin, pikirku, kematian manusia itu sendiri lucu, dan tidak lebih.

Orang-orang mati. Itu sesuatu yang kuketahui dengan sangat baik, sampai rasanya memuakkan, dan Kunagisa juga tahu itu. Dan Shinya, sebagai orang dewasa, tidak diragukan lagi pernah tersentuh oleh kematian di masa lalu.

Mungkin itu sebabnya kami semua hanya bisa tertunduk diam.

Pada akhirnya, Shinya pun berbicara lagi.

"Kalian berdua bisa kembali sekarang. Aku akan berada di sini dulu sedikit lebih lama."

Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Meraih tangan Kunagisa, aku pergi tanpa sepatah kata pun. Mungkin Shinya hendak menangis. Mungkin juga tidak. Apa pun itu, kami tidak perlu lagi berlama-lama di sana.

Bagaimanapun, kami hanya orang asing.

"Aku ingin tahu apa tidak masalah menguburkannya begitu saja," Kunagisa merenung agak terlambat.

"Kupikir juga begitu. Shinya barangkali satu-satunya orang yang Kanami sayangi, dan itulah yang ingin dia lakukan. Dia ingin memakamkan Kanami. Dan kita tidak bisa membiarkan Kanami terbaring di studio lebih lama lagi."

"Benar. Benar, tapi…"

"Bilang padaku, Tomo. Menurutmu seberapa besar kejahatan membuang mayat?"

"Kamu bisa saja dihukum kurang dari tiga tahun. Barangkali didakwa hukuman percobaan juga. Tapi kamu dan aku sama-sama di bawah umur, jadi jangan khawatir. Apa pun yang terjadi, kita bisa bebas setelah ditebus."

Sungguh percakapan yang hambar.

Bukannya aku sedang ingin membicarakan yang enak-enak.

"Omong kosong seperti itu..." Gumamku.

Kunagisa menatapku sambil membuat wajah lucu.

avataravatar