14 Satu Pemenggalan | Part 3

3

"Aku ingin tahu apa itu benar-benar hal yang sepatutnya dilakukan," gumamku sambil memainkan rambut Kunagisa.

Dia bilang rambutnya terlalu berat bila diikat tinggi-tinggi seperti itu dan ingin diurai lagi olehku. Kupikir rambutnya menggemaskan, tapi jika dia tidak suka, apa mau dikata.

Semua orang kini berpencar masing-masing, dan kami berdua telah kembali ke kamar Kunagisa.

"Kurasa tidak apa-apa! Kurang lebih semua sesuai yang kubayangkan. Akane juga seharusnya berterima kasih. Ide itu jauh lebih baik daripada melanjutkan pertengkaran kurang produktif itu."

"Hmm, masa…"

Sebagai penggagas ide itu sendiri, aku tidak bisa membayangkan Akane senang diperlakukan begitu. Aku merasa sedikit bersalah. Mungkin memang itu satu-satunya solusi, tapi aku tak kuasa menahan diri bertanya-tanya pada diriku sendiri apa aku melewatkan cara lain.

"Selesai."

"Makasih."

Kunagisa merangkak menuju meja komputernya dan duduk membelakangiku. Kemudian dia menyalakan komputer dan mulai mengetik.

"Aku hanya... merasa kita telah menzalimi Akane."

"Mungkin. Tapi ada beberapa hal yang tidak bisa dihindari, loh, Iichan?"

Setelah sarapan, Akane menyeret dirinya sendiri menuju kamarku secara sukarela. Akari dan yang lainnya ditugaskan mengantar makanan padanya secara langsung, dan dia harus menelepon mereka dari telepon kamar setiap kali dia ingin menggunakan kamar mandi.

Satu-satunya permintaan Akane cuma lampu baca, supaya dia bisa melewati enam hari berikutnya sambil membaca buku yang dia bawa.

Enam hari… Secara objektif, ruangan itu tidak tergolong lingkungan tak layak huni. Namun, pintunya tidak bisa dibuka dari dalam dan jendelanya mustahil diraih dengan tangan kosong sehingga mustahil melarikan diri. Kalau begitu, mungkin tidak salah menyamakannya dengan penjara.

Enam hari.

Benar-benar waktu yang tidak sebentar untuk dikurung.

"Kalau saja Iria memanggil polisi, kita tidak perlu melakukan semua ini. Sepertinya Iria mencoba sekuat tenaga menutupi insiden itu."

"Tapi Iria benar, tahu? Jika kita menelepon polisi, mereka akan menyalahkan Akane dan menyudahi kasus ini tanpa titik terang. Atau bahkan jika polisi tidak menahannya, dia masih akan diperlakukan sebagai tersangka. Maksudku, bukankah kamu sedang menghindari hal itu? Serius, salah satu dari Tujuh Orang Gila menjadi tersangka pembunuhan?"

"Apa kamu tahu banyak tentang ER3, Tomo?"

"Ada beberapa kenalanku di sana. Tapi kuyakin kamu tahu lebih banyak daripada aku."

"Tujuh Orang Gila atau bukan, aku rasa Akane tidak punya status kebal hukum…"

"Tapi itu artinya situasi akan jadi lebih buruk bagiku, belum lagi Yayoi dan Maki, masing-masing dari mereka disegani banyak orang. Skandal ini sama sekali tidak diharapkan oleh siapa pun. Tentu saja hal yang sama berlaku untuk Iria. Jadi wajar saja jika dia tidak menelepon polisi."

Wajar, ya?

Mungkin pulau ini sendiri yang tidak wajar. Tapi menilai sikap Iria, aku merasa ceritanya belum selesai sampai di situ. Kelihatannya dia menyimpan alasan lebih kuat kenapa dia enggan memanggil polisi.

"Apa menurutmu dia punya alasan khusus untuk membenci polisi?" Aku bertanya.

"Nah, kenapa kamu tidak bertanya padanya?"

"Aku ragu dia akan memberi tahu kita."

"Ya, mungkin tidak. Omong-oomong, kenapa peduli soal itu? Saat 'Aikawa' datang ke pulau ini, orang yang sangat dipuja Iria, semuanya akan terpecahkan. Kita hanya perlu menunggu enam hari lagi."

"Tentu, tapi…"

Iria pemilik pulau dan rumah itu, dan jika dia mengatakan polisi tidak akan mampir, maka tidak seorang pun berani menentangnya. Entahlah, mungkin pembunuhan berikutnya telah dicegah saat Akane mulai dikurung. Tetap saja…

"Tomo."

"Apa, Iichan?"

"Aku ingin meminta bantuan."

"Baik, aku terima permintaanmu. Apa itu?"

"Bisakah kamu melakukan sesuatu soal 'ruang terkunci' itu?"

"Aku tidak tahu, tapi untukmu, akan kucoba."

Tidak perlu menghabiskan enam hari ke depan hanya duduk-duduk saja. Aku sendiri yang mengusulkan Akane diisolasi, jadi aku mengemban tugas untuk serius memikirkan kasus ini.

"Yap," kata Kunagisa. "Jika kita bisa menyelesaikan kasus ini secepatnya, kita tidak perlu menahan Akane lebih lama lagi, baik memang dia pelakunya atau bukan." Dia memutar kursinya ke arahku. "Sini, sini," dia memanggilku agar aku menghampirinya.

Aku berjalan menuju komputer Kunagisa sesuai ajakannya.

"Untuk sekarang, alibi semua orang telah kucatat."

Kanami Ibuki

dibunuh

Akane Sonoyama

sebelum gempa: X

setelah gempa: X

Tomo Kunagisa

sebelum gempa: O

(Iichan, Hikari, Maki, Shinya)

setelah gempa: X

Yayoi Sashirono

sebelum gempa: O (Iria, Rei)

setelah gempa: X

Akari Chiga

sebelum gempa: Δ (Teruko)

setelah gempa: X

Hikari Chiga

sebelum gempa: O

(Iichan, Tomo, Maki, Shinya)

setelah gempa: X

Teruko Chiga

sebelum gempa: Δ (Akari)

setelah gempa: X

Shinya Sakaki

sebelum gempa: O

(Iichan, Tomo, Maki, Hikari)

setelah gempa: O (maki)

Rei Handa

sebelum gempa: O (Iria, Yayoi)

setelah gempa: Δ (Iria)

Maki Himena

sebelum gempa: O

(Iichan, Tomo, Hikari, Shinya)

setelah gempa: O (Shinya)

Iria Akagami

sebelum gempa: O (Rei, Yayoi)

setelah gempa: Δ (Rei)

"Cocok menurutmu?"

"Aku mengerti O dan X, tapi delta itu apa?"

"Akane benar waktu dia mencurigai keabsahan seseorang menjadi saksi sesama keluarga. Iria, Rei, Akari, Hikari, dan Teruko itu bisa dianggap sebagai keluarga, jadi mereka perlu diperiksa lebih teliti. Tapi tahukah kamu, alibi-alibi ini, aku benar-benar buntu."

Dia menggulir layar ke bawah dan memeriksa bagan sekali lagi.

"Untuk saat ini," kataku, "mari kita abaikan kemungkinan kaki tangan terlibat, dan juga masalah kesaksian keluarga. Kalau begitu, yang bisa kita hapus dari daftar tersangka pasti Shinya dan Maki… ditambah, Rei dan Iria."

Empat orang dicoret. Tujuh tersisa.

"Jika kesaksian Shinya akurat, maka ruangan terkunci tempat cat berserakan akan jadi masalah. Tapi jika itu bohong, itu berarti hanya Akane yang bisa melakukannya."

"Tapi aku tidak bisa membayangkan Shinya berdusta," kata Kunagisa.

"Yah, itu bisa jadi kesalahpahaman atau apa saja selain kebohongan."

Nah, bagaimana kedengarannya.

Aku mulai terdengar seperti Iria.

"Tapi begini," aku bersikeras, "Akane benar-benar tersangka utama di sini, secara objektif."

"Ya, anggapan itu normal, melihat skema ini. Tidak peduli seberapa adil atau simpatiknya dirimu, fakta dialah satu-satunya orang tanpa alibi tidak akan berubah. Jika bukan itu masalahnya, dia mungkin tidak akan sudi menerima gagasan pengasingan ini."

"Ya, pastinya. Jadi, Tomo, menurutmu Akane yang melakukannya? "

"Aku tidak tahu. Seperti argumen Akane sendiri, tidak ada bukti. Kamu tidak dapat memutuskan siapa pelakunya melalui eliminasi saja. Kita bahkan belum memeriksa tubuh Kanami."

"Benar... Dan ada fakta ruang terkunci juga tercampur di sana."

"Namun bila skenario tersebut diperhitungkan, tidak ada yang bisa melakukan kejahatan itu. Iichan, kamu punya ide lain?"

"Mungkin," kataku sambil merenung. "Aku mungkin menemukan sesuatu sesaat lagi. Bagaimana denganmu, Tomo?"

"Aku punya banyak ide," katanya. "Hanya perlu dipikirkan sedikit lagi dan semua mestinya dapat dijelaskan. Oh, Iichan? Tak peduli kesaksian Shinya benar atau tidak, kupikir pembunuhan itu terjadi setelah gempa bumi."

"Hah? Kenapa?"

"Lukisanmu itu. Apa menurutmu Kanami bisa menyelesaikannya sebelum gempa? Kurasa tidak."

"Baik…"

Sulit untuk mengatakannya. Kanami sangat cepat dalam melukis. Tapi jika Kunagisa benar, maka makin besar kemungkinan skenario 'ruang terkunci'. Kemajuan ini tidak terlalu membantu.

"Dan jangan lupa, masih ada tubuh tanpa kepala itu sendiri, Iichan."

Aku mengangguk.

Terlepas siapa yang membunuhnya, mengapa kepalanya dipenggal?

"Pepatah mengatakan," kataku, "berhati-hatilah terhadap identitas yang tertukar ketika berurusan dengan tubuh tanpa kepala, tapi kurasa kita tidak perlu curiga. Ada dua belas orang, satu telah dipenggal, dan sekarang ada sebelas orang. Dan kita tahu persis siapa dan di mana kesebelas orang itu."

"Yap. Jika salah satu dari tiga saudari pelayan kembar itu yang terbunuh, maka masalah akan menjadi rumit, ya? Tapi soal Kanami, mungkin tidak perlu dikhawatirkan. Kecuali kalau ada orang lain di pulau ini, itu lain cerita."

"Mari singkirkan gagasan itu juga. Jika ada orang ketiga belas, atau mungkin orang kesekian di luar selusin tamu, semua penyisihan tersangka dan pencarian alibi ini akan jadi percuma. Aku tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh detektif hebat itu nantinya, tapi untuk sekarang mari kita khawatirkan saja sebelas orang yang kita kenal."

"Ya," kata Kunagisa, mata melongo pada langit-langit. "Jika kita mempertimbangkan kemungkinan kaki tangan atau semacam tipu daya jarak jauh, hanya kamu dan aku yang dapat dikeluarkan dari daftar tersangka."

"Kenapa aku juga?"

"Karena aku percaya padamu," jawabnya sambil membalik badan. "Kembali lagi, kenapa harus dipancung? Apa ada alasan lain selain pergantian jasad? Aku ingin tahu… Apalagi pemenggalan itu sendiri bukan penyebab langsung kematian Kanami. Pelaku cuma melakukannya setelah membunuh Kanami."

"Benar. Jika Kanami dibunuh dengan cara dipancung, maka darah yang ditinggalkan seharusnya lebih berlimpah dari ini. Pemandangannya akan tampak seperti sungai darah. Sekilas, sepertinya tidak ditemukan luka tusuk atau semacamnya, jadi mungkin dia diracuni atau dicekik. Cuma berspekulasi."

"Aku ingin tahu apa dia pasrah begitu saja."

"Mungkin. Kakinya tidak bisa digerakkan, dan meskipun penglihatannya telah pulih, mata Kanami masih belum sempurna. Bila seseorang menyelinap, atau bahkan mendekatinya, proses pembunuhannya sendiri pasti mudah. Dan memenggal kepala juga tidak terlalu susah."

Selama tidak ragu-ragu, kejadian itu hanya akan memakan waktu beberapa menit. Dan kemungkinan besar pelakunya tidak ragu-ragu. Itu firasatku.

"Tidak ada motif yang jelas juga," kataku. "Mengapa Kanami harus dibunuh?"

"Tak seorang pun harus dibunuh. Tapi ya, aku pun bertanya-tanya. Selain Shinya, semua orang bertemu Kanami sesampainya di tempat ini, bukan? Hmm, tapi mungkin bukan itu masalahnya. Mungkin seseorang benar-benar memiliki hubungan dengannya sebelum datang ke sini. Bisa-bisa saja, menurutku."

"Kukira kamu bisa menduga apa pun soal itu." Apa pun itu, tidak ada gunanya terus menerus berasumsi.

Kunagisa mengeluarkan suara kesah. "Baiklah, mari kita selesaikan dulu semua detail ini, dan cari tahu siapa kenal siapa setelahnya."

"Bagaimana kita akan melakukannya?"

"Kamu pikir sedang bicara pada siapa?"

Dia menyeringai nakal padaku.

Tentu saja.

Gadis berambut biru ini punya "latar belakang", bisa dibilang begitu.

"Nah, mau mulai menginvestigasi TKP?"

Dia mengambil kamera digital di sampingnya.

avataravatar
Next chapter