1 #Prolog : Kota yang Tenang.

"Sebagai tersangka, aku putuskan kamu bersalah. Aku akan mulai melakukan penghukuman, membuatmu membayar seluruh luka orang lain, yang diakibatkan oleh tindakanmu."

Malam tengah berada di titik terlarutnya. Banyak orang telah terlelap. Mengumpulkan bunga tidur, mengembalikan energi. Ada juga yang masih betah terjaga entah untuk menyelesaikan kesibukannya atau sekadar belum tersapa kantuk.

Satu lagi, bagian dari sedikit orang yang justru memulai kesibukan malamnya. Yang berkeliaran untuk melakukan sesuatu yang ia sebut penghukuman.

Ada dua orang dalam kamar di sebuah rumah dalam gang kecil. Satu orang sedang berdiri dengan jemawa, melipat tangannya di depan dada. Tatapannya yang tajam dipenuhi berbagai kelakar buruk.

Satu lagi, orang yang terbaring di lantai dengan tangan dan kaki terikat, dan kepala terluka.

Di sudut ruangan terlihat tongkat baseball dengan noda darah, dibiarkan bersandar di dinding bercat putih.

Orang pertama kini berjongkok, membuat dirinya bisa menjangkau dengan leluasa orang yang berada di bawahnya. Telapaknya yang terbungkus sarung tangan meraba meja tidak jauh dari tempatnya.

Sebuah tang kecil dan kater.

Peralatan penghukuman.

***

Kotaku berada di pulau terbesar pertama di Indonesia dengan luas 539.460 km2. Memiliki letak geografis antara 0.137º Lintang Utara dan 117.5º Bujur Timur. Tepatnya di kordinat 0º30º'7,76" Lintang Utara 117º9'13,34" Bujur Timur atau 0,5º Lintang Selatan 117,15º Bujur Timur.

Rangkaian angka-angka yang sama sekali tidak kumengerti bagaimana cara menghitungnya atau menggunakan alat yang seperti apa untuk mengukur dan memastikan ketepatannya.

Sialnya aku memiliki sisi lain dari diriku yang memang suka memperumit sudut pandang. Paling tidak, angka-angka itulah yang kutemukan saat melakukan pencarian mengenai kotaku di Wikipedia Indonesia.

Aku tinggal di kota yang tenang, yang tidak perlu menunggu bulan sampai berada di titik tertinggi dari persinggahannya untuk bisa melihat jalan-jalan melegang sepi. Yang tidak perlu berangkat kerja terlalu awal karena takut terjebak macet. Kota yang aman, yang juga tenang.

Setidaknya itulah yang kuharapkan selamanya terjadi.

Ketenangan yang sebenarnya menyimpan badainya sediri dalam tempurung ketidaktahuan. Ketenangan yang melenakan.

Nyatanya memang ada sesuatu 'lain' yang sedang merangkak keluar. Sebuah organisasi kejahatan. Yang lebih terorganisir dibanding Organisasi Hitam dalam serial komik Detektif Conan atau organisasi kejahatan manapun.

Organisasi rahasia yang disebut-sebut akan melakukan revolusi besar-besaran. Revolusi yang digadang-gadangkan akan menciptaan tatanan kehidupan baru, dunia baru.

"Sakhi!"

Hari ini sebenarnya sempurna. Cerah yang tidak menyengat panas, dengan semilir angin yang bertiup sesekali. Hari yang benar-benar sempurna, lengkap dengan waktu luang untuk bersantai yang panjang.

"Sakhi!!"

Ah! Saat sedang membayangkan bagian menarik dari sebuah novel yang baru selesai kubaca, kemudian ada yang berteriak-teriak menganggu adalah bagian paling mengesalkan.

Mana bisa orang yang sedang menghayal diganggu gugat. Mana bisa kenikmatan seperti itu diputus kemudian disambung lagi lain watu. Mana bakal sama menyenangannya.

"Iya, kak!"

"Kamu dimana?!"

"Di atas!"

Aku yang sedang berada di atas pohon mangga, merendahkan kepalaku. Aku sedang menikmati waktu luangku dengan bermalas-malasan, mengantungkan tubuhku pada suatu dahan dan ditopang dengan dahan lainnya. Menutupi wajahku dengan koleksi novel terbaruku dengan mata yang sudah setengah terpejam. Menangkap basah sinar matahari yang diam-diam menyelinap dari sela-sela dedaunan untuk menerpaku.

Kak Hania –orang yang memanggilku, yang sebelumnya kebingungan, akhirnya mendongakkan kepala. Melihat tingkahku yang petakilan seperti ini, aku sudah bisa membayangan bagaimana reaksinya.

Pertama dia akan terbelalak, kedua memekik dan beristighfar sembari megelus dadanya, terakhir menyuruhku turun dan mulai mengomel.

Alisnya mulai terangkat, mata melebar dengan rahang terbuka. Ekspresi terkejut.

Meski sudah sering mendapati tingkahku yang seperti ini, aku selalu senang melihat ekspresi Kak Hania yang selalu terkejut dengan ekspresi yang sama setiap kalinya.

"Sakhi!!" Setelah puas memelotot, suara Hak Hania yang biasanya lemah lembut akhirnya memekik nyaring. "Astaghfirullah hal'azim!" Pekiknya lagi. "Turun! Kamu itu perempuan kok tingkahnya kayak Kera gitu, manjat-manjat. Kayak apa kalo jatuh, kayak apa kalo dilihat orang."

"Enggak ada yang lihat kok, Kak." Aku berusaha membela diri sembari tersenyum jahil.

"Enggak ada yang lihat apanya!" Kak Hania membantah pembelaandiriku. "Perempuan itu mbok ya tingkahnya dijaga. Jangan cuma kalau dilihat orang aja. Cepat turun!" Perintahnya lagi tanpa syarat.

Tidak ingin memancing perdebatan panjang atau menjadi seorang adik yang durhaka, aku mengikuti perintah Kak Hania dan turun.

Kak Hania, wanita yang selalu mengenakan kerudung berwarna lembut yang katanya adalah warna kesukaannya merupakan kakak sekaligus orang tua di tempatku tinggal, tumbuh, dan dibesarkan. Pemilik sekaligus pengurus panti 'Rumah Kami.'

Aku sangat menghormati dan menyayangi Kak Hania dan Kak Alan –suaminya, melebihi siapapun yang pernah kutemui di dunia ini. Keduanya adalah satu-satunya orang yang bisa kusebut keluarga, dan panti adalah satu-satunya tempat dimana aku bisa pulang.

Kak Hania 35 tahun dan Kak Alan 37 tahun. Mereka memiliki dua orang anak bernama Farhan dan Farhana. 11 dan 8 tahun. Anak-anak manis dengan tingkah yang kelewat aktif.

Eits, tunggu dulu!

Meski aku tidak memiliki ayah dan ibu, juga tidak memiliki rumah sendiri sebagai tempat tinggal, bukan berarti aku tipe orang yang melankonis, pemurung, dan penyendiri –meski aku memang lebih suka sendiri– atau si pengiri yang tidak suka melihat orang lain memiliki rumah, ayah, ibu, dan banyak saudara dengan keluarga bahagia.

Tidak! Itu hanya kedengkianku saat masih bocah, saat membuang ingus sendiri saja belum becus.

Sekarang aku sudah dewasa, kuat, ceria, dan hidup bahagia untuk selama-lamanya dalam kastilku yang hangat. Kastilku yang tenang.

"Kenapa Kak, semua tugasku sudah selesai, 'kan ?" tanyaku setelah berdiri menyejajari Kak Hania.

"Bukan itu. Tadi Pak Anton telepon, katanya kamu harus datang kerja lebih awal soalnya ada yang booking kafe untuk ulang tahun."

"Oke. Nanti kalau sudah selesai bantuin Kak Titin siapin peralatan mandi sama baju ganti anak-anak, aku pergi."

"Jangan lupa pulangnya mampir ke swalayan. Uangnya sudah kakak titipin ke Mbak Titin."

"Sip!" Aku memberi hormat selayaknya pada bendera Merah-Putih.

Sakhi Fitriya adalah nama yang diberikan almarhum ibu Kak Hania padaku. Saat itu, panti masih dikelola oleh orang tua Kak Hania yang kemudian kepengurusannya diturunkan padanya.

Katanya aku ditemukan tanpa sengaja oleh seseorang, tanpa tanda pengenal apapun. Ketika itu usiaku kira-kira dua setengah tahun.

Menurut cerita Kak Hania yang didengarnya dari sang ibu, hari masuknya aku ke panti kemudian menjadi tanggal lahir yang tercantum di akta kelahiranku. 29 Februari.

Jika perkiraan usia saat aku ditemukan tepat, tahun ini aku telah hidup dengan menghirup oksigen secara gratis selama 25 tahun. Sudah cukup tua untuk memiliki hobi manjat-manjat pohon mangga belakang panti.

Panti Rumah Kami terletak dalam sebuah gang. 350 meter dari jalan utama. Bagunannya tidak terlalu luas namun bertingkat. Halaman depan cukup untuk semua anak-anak bisa berkumpul dan bermain dengan bebas.

Jumlah anak-anak yang terdaftar dan tinggal di panti ada 37. Jumlahnya sudah banyak berkurang dibanding dua tahun lalu.

Aku adalah tipe orang yang selalu bahagia jika selalu bisa menemukan waktu untuk bersantai dan bermalas-malasan. Meski menganggap diriku sendiri pemalas, sebenarnya aku sering dipuji-puji sebagai orang yang sigap dan cepat dalam bekerja.

Jika boleh jujur, hal itu bukan lantaran sifatku yang rajin, melainkan karena aku tidak ingin watu luangku untuk bermalas-malasan jadi berkurang. Pekerjaan yang seharusnya bisa kuselesaikan dalam dua jam bisa berubah menjadi dua jam tiga puluh menit jika aku mengulur-ulur waktu dan tidak serius bekerja.

Jika seperti itu, otomatis akan merugikanku sendiri. Membuang-buang waktu 30 menitku yang berharga, yang seharusnya bisa kugunakan untuk bermalas-malasan dengan tidur atau membaca.

Mungkin banyak orang lain di luar sana akan sangat bahagia jika bisa menghabiskan waktu luangnya dengan pergi ke pantai, keluar pulau, atau kemanapun sejauh kaki dan ongkos perjalanan bisa dibayar.

Tapi aku adalah makhluk sederhana yang sangat mudah menemukan kebahagianku sendiri. Nangkring di atas pohon yang disebut-sebut Kak Hania tidak pantas dilakukan seorang perempuan sembari membaca novel, atau serial komik.

Mengurung diri seharian di kamar dengan menghayalkan jutaan makhluk super, atau rencana hidup jangka panjang yang banyak orang akan menyebutnya membosankan.

Berburu bacaan terbaru di toko buku selama berjam-jam, yang beberapa orang menyebutnya hanya bisa dilakukan oleh manusia-manusia kuper.

Aku menikmati semua itu. Aku bahagia dengan caraku dan hari-hariku yang membosankan. Aku menikmati duniaku yang tenang dan damai. Berada di antara orang-orang yang kusayangi dan pekerjaan yang kusukai.

Kehidupanku yang nyaman, ketenangan serta kedamaian, waktu luangku untuk bermalas-malasan, semua berkurang dalam jumlah besar setelah hari itu.

Hari itu...

avataravatar
Next chapter