19 #Bagian 18 : Keluarga.

Di belahan bumi bagian lain cuaca mungkin sedang bersahabat. Panas dan hujan saling mengisi dengan teratur. Tidak perlu takut tanaman mati karena kekeringan atau bendungan meluap kemudian banjir.

Tidak sama halnya dengan yang sedang terjadi di belahan bumi bagian kota ini. Hujan sama sekali belum menyapa sejak dua bulan lalu, pun belum terlihat sama sekali tanda-tanda akan datang.

Tepat 15 tahun dari hari yang terik ini adalah awal dari semuanya. Pertemuan antara Ajuna Zeroun yang berusia 12 tahun dengan seorang psikiater muda bernama Adiraja Bima.

Meski tidak mudah membuat Arjun membuka diri pada Adiraja, ia tetap semangat. Suatu saat anak itu pasti bisa melihat kesungguhannya. Pasti akan menerimanya.

Adiraja selalu menunggu hari-hari kedatangan Arjun untuk konsultasi, menantikannya. Ia sudah menyukai Arjun sejak pertama kali melihatnya. Berbeda dengan Arjun yang masih melihat keberadaannya seperti seorang monster yang akan memangsanya kapan saja.

Arjuna Zeroun selalu diam, menjaga jarak, dan bersikap waspada pada semua orang. Ia sering merasa ketakutan dan tidak nyaman setiap kali ada orang yang berusaha mendekatinya.

Arjun pernah tidak datang untuk konsultasi rutinnya beberapa kali. Arjun mengurung diri di rumah. Tidak ingin bertemu siapa pun, tidak ingin pergi ke mana pun, bahkan tidak ingin bicara.

Tidak hanya duduk menunggu di ruangannya, Adiraja memutuskan untuk langsung datang dan melihat keadaan Arjun. Ia juga membawa istrinya. Ketika itu pernikahan mereka baru dua tahun.

Istri Adiraja adalah seorang wanita yang lembut dan berjiwa keibuan. Menghadapi beberapa pasien di bawah umur, membuat kehadiran istrinya sangat membantu. Begitu mengerti pekerjaannya dan bisa diandalkan. Tipe ideal untuk disandingkan dengan kesibukannya.

Cukup lama Arjun dibujuk sebelum akhirnya mau keluar dari kamarnya. Semua kalimat manis dengan berbagai rayuan yang bisanya selalu berhasil untuk anak seusianya, sama sekali tidak mempan. Nenek juga sudah memberi banyak penawaran namun tetap tidak digubris.

Istri Adiraja akhirnya ikut membujuk. Ia tidak mengatakan hal-hal manis seperti semua orang. Ia justru memarahi Arjun bak seorang ibu yang cerewet dan menyebalkan. Nenek dan Adiraja awalnya khawatir tapi toh caranya berhasil. Arjun membuka pintu kamarnya, perlahan.

Tinggal bersama seorang ayah yang sering memukul tanpa alasan. Memarahi, dan menghukum hanya untuk melampiaskan emosinya. Seorang ayah tidak bertanggung jawab yang kerjaannya hanya mabuk dan marah-marah. Ibu yang menyedihkan karena tidak melakukan apa pun untuk melindunginya. Yang sama sekali tidak memikirkan perasaannya.

Setelah keduanya merasa lelah dan muak satu sama lain, untuk kesekian kalinya mereka melakukan lagi hal lain yang tidak bertanggung jawab. Tepat di depan Arjun.

"Jika tidak bisa bertanggung jawab penuh pada hidupku, kenapa dari awal mereka melahirkanku," katanya untuk pertama kalinya.

Semua orang terhenyak. Itu kalimat yang sangat menyakitkan untuk anak seusianya.

"Sayang…" Spontan istri Adiraja memeluk Arjun. Penuh haru.

"Jika tidak bisa bertanggung jawab penuh pada hidupku, kenapa dari awal mereka melahirkanku," katanya lagi dengan suara bergetar, isak tangis tumpah semakin deras.

Itulah pertama kalinya Arjuna Zeroun memutuskan untuk menerima orang lain. Membuka dirinya.

Selagi menangani terapi kejiwaan Arjun, dan pasien lain yang datang dan pergi, pertemuan kedua dimulai. Pertemuan dengan remaja 14 tahun yang tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana kebohongan. Seorang yang divonis mengidap Mythomania.

Adiraja menduga Yuda mendapat tekanan terlalu besar dari keluarganya setelah ayah dan ibunya meninggal. Segala yang dilakukan harus sempurna. Saat ia mulai mendapat pengakuan, ia akan merasa dirinya sebagai pusat dunia.

Yuda menolak jadwal konsultasi dengan psikiater yang terlalu sering. Ia juga akan sangat marah jika ada yang menyebutnya 'sakit.' Ia tidak merasa ada yang salah dengan hidupnya. Ia baik-baik saja, semua berjalan sebagaimana mestinya. Ia menjalani hari-hari seperti remaja seusianya. Sekolah dan kursus. Meski ia sedikit lebih sibuk tapi tidak masalah.

Yuda merasa semuanya baik-baik sampai sebuah pergolakan dimulai.

Semua yang dianggap baik-baik saja mulai terasa seperti neraka. Perasaan bersalah yang mendalam dan keragu-raguan terhadap dirinya. Semua kebohongan yang selama ini ia percaya dan pemikiran warasnya saling menyerang, memenuhi isi kepalanya.

Tertekan, nyaris gila, putus asa. Berusaha mengakhiri hidupnya pun tidak menjadi jalan ke luar. Tidak lagi mampu memikul semua kegilaannya sendiri, Yuda menemui Adiraja. Terisak. Ia tidak tahu lagi bagaimana caranya mati, tapi ia tidak ingin kegilaan mengambil alih hidupnya.

Sebagai seseorang yang sudah lama menunggu, kedatangan Yuda sangat diterima. Hubungan dengan anak kedua pun terbangun. Hubungan yang sebelumnya tidak pernah disangka akan menjadi terlalu jauh.

Di tahun yang berbeda, pertemuannya dengan anak yang lain dimulai. Seorang anak yang menyedihkan.

Setiap akhir pekan Adiraja memiliki kegiatan sebagai relawan disebuah panti. Dan di panti itulah ia bertemu dengan Hazim. Seorang anak berusia 7 tahun yang tidak banyak bicara, yang jarang bermain, atau berkumpul bersama teman-temannya.

Pertama kali saling bertatap muka, tidak ada satu kata pun yang Hazim ucapkan. Tapi tatapannya tertuju lurus ke dalam mata pria dewasa itu. Lama. Seolah ada kalimat yang tak mampu diucapkan mulutnya. Yang sangat ingin ia sampaikan namun tak kunjung ke luar. Saat Adiraja mendekat, Hazim justru menghindar. Pergi menjauh.

Kesan pertama.

Interaksi yang berusaha dijalin berkali-kali, semangat, ketulusan. Tidak ada usaha yang tidak terbalaskan. Pada akhirnya mereka semua terhubungkan oleh perasaan saling membutuhkan.

Anak-anak yang jatuh pada keluarga yang tidak tepat dan keluarga yang divonis tidak bisa memiliki anak. Mereka saling terhubung sehingga bisa melengkapi potongan-potongan kosong yang ada pada diri yang lainnya.

Beberapa pasien anak-anak yang Adiraja tangani adalah korban kekerasan dari keluarga yang tidak bertanggung jawab, sisanya korbaan dari kegilaan orang dewasa yang kehilangan sifat kemanusiaannya. Terlindungi saat bersama orang dewasa yang lebih penuh kasih membuat mereka merasa aman.

Orang lain tidak bisa melihat sebesar apa luka mereka, tapi orang itu bisa. Keluarga tidak sepenuhnya mengerti dampak dari luka mereka, tapi selain menawarkan rasa aman orang itu juga bisa mengerti lebih banyak.

Adiraja Bima.

Saat terapi dan konsultasi menunjukkan kemajuan yang baik, psikiater dan anak-anak menjadi lebih dekat. Setiap sabtu sore mereka rutin mengunjungi rumahnya untuk menghabiskan waktu. Bermain, makan malam bersama, dan berkumpul.

"Hanya kalian berdua?" Hazim kecil yang baru datang meletakkan tasnya begitu saja di lantai.

"Hazim, bukannya sudah Ibu bilang kalau datang langsung letakkan tas di loker kosong," tegur ibu.

"Maaf, maaf," kata Hazim kemudian dengan cepat menyambar tasnya dan diletakkan di loker yang berada di depan, samping pintu masuk.

Hazim duduk di samping keranjang tempat mainan anak laki-laki. Hanya ada Arjuna Zeroun yang sedang sibuk membaca komik di pojokan, Yuda yang sedang meminta bantuan Adiraja mengajarkan tugas sekolahnya, dan istri Adiraja yang mereka panggil ibu sibuk di dapur. Sementar dua anak yang lain belum datang. Satu anak laki-laki berusia 10 tahun dan satu anak perempuan berusia sama.

Ibu sangat bersemangat setiap kali anak-anak datang ke rumah untuk bermain. Ia memasak berbagai camilan dan menu-menu spesial. Tidak bisa mempunyai keturunan dari rahimnya sendiri membuatnya berjanji akan memperlakukan semua anak sama baiknya. Karena anak adalah anugrah. Mereka harus diperlakukan baik dan dilindungi.

Hazim yang merasa bosan hanya memantul-mantulkan bola plastik kecil yang ada di tangannya mulai merengek. "Dokter, ayo kita memainkan sesuatu yang seru," katanya.

"Tunggu, tugasku belum selesai," Yuda mengambil alih menjawab ajakan yang disampaikan untuk Adiraja.

"Iya, sebentar, ya," Adiraja menanggapi, meminta pengertian Hazim sebentar lagi.

"Hehh!! Kalian ini membosankan sekali," sunggut Hazim. "Arjun juga. Seharian cuma baca komik. Kalau mau membaca seharusnya di rumah saja, ngapain datang ke sini," tambahnya sewot.

"Hazim, bukannya sudah ibu bilang untuk memanggil kakak ke anak yang lebih tua," Ibu berseru lagi dari dapur.

Ditegur seperti itu, Hazim hanya memonyongkan bibirnya. Masih tidak ada yang mengajaknya bermain meski ia telah menunggu, membuatnya berpikir untuk melakukan serangan lebih dulu.

Hazim melemparkan beberapa bola yang ada di keranjang ke arah Arjun dan Yuda, bergantian, berkali-kali.

"Hazim itu kekanak-kanakan, berhenti!" tukas Yuda merasa terganggu.

"Aku memang masih anak-anak," balas Hazim sembari menjulurkan lidah dan melempar lagi.

Awalnya Arjun dan Yuda hanya mendesis kesal, dan berteriak saat mata atau dahi mereka terkena lemparan. Lama-kelamaan menjadi geram.

Bola Hazim juga mengenai Adiraja. Hazim meminta maaf, tapi kemudian ia arahkan lagi lemparannya.

Mulai mengatur siasat untuk serangan balasan, Adiraja dan Yuda saling lempar pandangan sebagai isyarat. Tidak ingin ketinggal bagian, Arjun juga bergabung sebagai sekutu.

Adiraja bergerak lebih dulu untuk menangkap Hazim. Tidak ingin tertangkap dengan mudah, Hazim kabur menyelamatkan diri. Satu berbanding tiga bukanlah jumlah yang adil. Ditambah lagi ia hanya bocah dengan langkah-langkah pendek. Di keadaan terdesak, sisa bola yang ada di tangan Hazim di lempar secara acak.

Saat kehabisan senjata di tangan, Adiraja menangkap Hazim. Yuda dan Arjun datang. Melancarkan serangan balasan. Keduanya mengelitiki Hazim, bergantian.

Senja sedang menyiramkan cahaya temaramnya yang keemasan. Suara tawa dan geli terdengar pecah. Membahana memenuhi seisi rumah sore itu. Rumah di ujung jalan yang biasanya selalu akrab dengan ketenangannya yang senyap. Tanpa cekikikan atau suara ribut kebahagian. Keceriaan sore itu, adalah satu dari banyak hari yang akan sangat dirindukan.

Ayah, ibu, dan anak-anak. Mereka memang tidak dihubungkan oleh darah yang sama, tapi seperti itulah seharusnya keluarga. Bisa tertawa dengan pecah. Saling melindungi. Bercanda dalam satu ruang yang sama.

***

Setiap yang memiliki luka pasti memiliki bekas, dan tidak akan bisa hilang hanya dengan sekali ditetesi obat. Semakin dini luka terdeteksi dan semakin cepat diberi penanganan, seharusnya semakin cepat luka sembuh.

Bak kanker jika tertalu lama akan berubah akut dan mematikan. Meski kankernya telah diangkat, tidak ada jaminan selnya belum menyebar.

Setiap luka pasti memiliki bekas. Ada bekas yang bisa memudar dengan hanya berganti satu purnama. Ada bekas yang akan tetap ada, terus tinggal meski telah berlalu satu dasawarsa.

Semakin dalam sebuah luka, semakin lama menyembuhkannya, semakin memakan waktu untuk menghilangkan bekasnya.

Mereka memang telah tumbuh dan semua berjalan baik. Seperti manusia-manusia lain di sekitar mereka. Terlihat baik-baik saja bukan berarti semuanya baik. Pergolakan yang dirasakan, hanya mereka yang tahu seperti apa.

Hingga suatu ketika, semuanya tidak tertanggung lagi. Mereka memutuskan berhenti bertahan dan berhenti hidup baik-baik saja. Membuang banyak hal dan berbelok ke jalan lain. Kehidupan mereka, tidak akan lagi pernah normal.

Usianya ketika itu menginjak angka 18 tahun. Sebuah kejadian menyulut keinginannya untuk meyakiti orang lain. Untuk menunjukkan lukanya.

Polisi membebaskannya dari tuntutan hukum. Menyebut apa yang dilakukan adalah upaya membela diri, dengan melihat orang yang dilukai menyerang lebih dulu dan pernah melakukan tindak kejahatan lain.

Tapi yang terjadi bukan sekadar membela diri. Ia bahkan nyaris tanpa luka. Hanya ada satu sayatan kecil di pipi kanan dan sayatan di lengan kirinya karena perlawanan.

Bagaimana dengan lawannya? Sekarat. Meregang nyawa dan nyaris mati. Itu bukan perbandingan masuk akal untuk disebut membela diri. Juga, tidak ada bukti yang bahwa yang dilakukan murni membela diri.

Itulah pertama kalinya.

"Dokter, aku harus bagaimana? Badanku tidak mau berhenti gemetar."

"Ceritakan semuanya. Apa yang kamu rasakan dan bagaimana situasinya saat itu." Adiraja memulai sesi terapi.

"Bagaimana kalau orang itu memang pantas menerimanya," Arjun menimpali dari kursi tamu.

Setelah kejadian di swalayan tempatnya bekerja, Hazim mendatangi rumah Adiraja. Ia memang sudah didampingi psikiater lain, tapi ia butuh seseorang yang sudah mengenalnya. Yang tahu lebih banyak mengenai dirinya.

Segera setelah Arjun mendengar yang terjadi, ia menghubungi Yuda dan keduanya lepas landas ke rumah Adiraja Bima. Mereka yakin Hazim akan ke sana karena tidak ada satu pun tempat yang bisa didatanginya.

Hazim sedang duduk di kursi terapi, dan Adiraja berusaha membuatnya tenang dengan mengatakan beberapa kalimat pendek.

Arjun dan Yuda menunggu, duduk di kursi tamu tapi masih dalam ruangan yang sama. Masih dalam ruang kerja Adiraja.

"Aku... sudah membunuh orang lima bulan lalu," aku Arjun.

Kalau sebelumnya Hazim adalah pusat perhatian, kini Arjun mengambil alih. Kalimat terakhirnya membuat semua mata terpaku padanya.

Suasana mendadak hening. Nafas tertahan. Terkejut, jelas. Mereka bahkan tidak yakin dengan apa yang mereka dengar.

"Jangan mengunakan kata membunuh sembarangan." Adiraja beralih duduk di samping Arjun. "Ingat, selama ini kalian sudah bisa menghadapi banyak situasi. Kalian bisa menghadapi semuanya dengan baik. Jangan terprovokasi..."

"Dokter," Arjun memutus "Selama ini aku sudah melakukan semua yang dokter bilang. Aku masih meminum obatku, aku juga melampiaskan semua emosi negatif ke dalam tulisan-tulisanku. Aku terus menulis berharap itu bisa menyembuhkan lukaku tapi..." Arjun menahan kalimatnya. Kesedihan menumpuk di kelopaknya. Pandangannya menyapu wajah semua orang yang menatapnya. "Tapi tetap masih ada yang tertinggal."

"Tapi itu bukan alasan untuk berhenti dan menyerah, 'kan. Kalian bukankah sudah..."

"Dokter," kali ini Hazim yang memotong "Apa aku... monster?"

Tidak seperti Arjun yang masih menahan kesedihannya, Hazim menumpahkan semuanya. Menjatuhkan air matanya tanpa ragu.

Adiraja mengerutkan kening. Ia membuka mulut hendak menanggapi, namun Hazim mendahului. Tidak ingin kalimat yang sudah tersusun di otaknya tertahan lebih lama lagi.

"Awalnya aku takut. Awalnya itu memang membela diri. Tapi kemudian aku tidak lagi bisa berhenti. Melihat darah di mana-mana dan dia meregang nyawa membuatku semakin takut, tubuhku gemetar. Saat aku mengangkat wajah, pantulan yang kudapati di depan etalase kaca adalah seringai mengerikan."

Adiraja terperangah, yang lainnya menelan ludah tidak menyangka.

"Tidak, ini tidak benar!" Adiraja menolak. "Kalian tidak bisa menyerah sekarang. Kalian bisa sembuh, kalian adalah anak-anak yang baik."

"Seberapa pun kita mencoba, tetap masih ada yang tertinggal," Arjun menimpali. "Anak-anak seperti kami akan selalu ada. Jadi yang kupikirkan saat itu adalah aku tidak melakukan sesuatu yang salah. Aku membunuh orang yang seharusnya bertangung jawab terhadap anaknya tapi tidak dilakukan. Aku melakukan itu untuk menyelamatkan anak-anak lain dari penderitaan. Aku... pasti dimaafkan."

Hening.

Tatapan mata Arjun berubah mengerikan. Itu bukan lagi kilatan mata penuh kesedihan, putus asa. Itu adalah tatapan mata seorang penjahat. Pembunuh. Seseorang yang sudah tahu melakukan kesalahan namun menutupi dengan alasan yang dibuat-buat agar bisa dimaklumi.

"Luka yang kami rasakan, orang lain tidak akan bisa mengerti." Yuda yang sejak tadi hanya diam ikut angkat bicara. "Ini... bukan sesuatu yang bisa dipikirkan dengan akal sehat karena sejak awal kami adalah anak-anak yang 'sakit'."

Kembali hening. Kali ini berlangsung lebih lama. Adiraja tidak tahu harus mengatakan apa. Bagaimana lagi cara membujuk. Ini gila dan seharusnya sebagai dokter ia tidak berhenti untuk memberi nasihat, tidak menyerah untuk meyakinkan. Tapi yang dilakukannya justru diam. Ia membutuhkan terlalu banyak waktu untuk berpikir, untuk memutuskan.

"Semuanya di sini?" Istri Adiraja tiba-tiba muncul di balik pintu yang setengah terbuka. "Kenapa? Apa terjadi sesuatu?" tanyanya saat menangkap situasi yang tidak biasa.

"Tidak ada apa-apa," Adiraja menjawab cepat.

"Bohong! Kalian menyembunyikannya dari Ibu? Tidak biasanya kalian datang bersaamaan seperti ini. Apa lagi sudah larut."

Insting sebagai seorang istri sekaligus ibu mulai mengaktifkan radarnya sebagai detektor. Menatap tajam, menyelidik. Siap mengintrogasi siapa pun yang dicurigai tengah berbohong.

"Jangan menatap kami seperti penjahat dong, Bu." Arjun tersenyum menggoda.

"Ibu jangan khawatir, anak-anak Ibu ini tidak akan melakukan kudeta diam-diam," Yuda menambahkan.

"Jadi?" Suara ibu terdengar menuntut.

"Aku mimpi buruk lagi," Hazim menyahut. Masih duduk di kursi terapi.

"Hazim, kamu tidak apa-apa?" Dengan langkah cepat ibu mendekati Hazim. Kecurigaannya memudar.

Hazim mengangguk. "Hanya saja… mimpi kali ini terasa begitu nyata."

Ibu menggengam tangan Hazim dan mengelus pungungnya. Tiga yang lainnya saling melempar pandangan.

***

"Aku baru tahu dokter membuat taman di tempat seperti ini."

"Jangan sentuh, itu beracun!"

"Eh ?!"

Hazim yang sudah siap mengulurkan tangannya untuk menyentuh dan membaui tanaman berbunga di depannya, menarik diri, mundur perlahan. Peringatan Adiraja membuatnya waspada.

Setelah dilihat-lihat, Hazim semakin merasa tertarik. Ia kembali melangkahkan kakinya mendekat.

Hazim tidak merasa perlu mencoba kebenaran dari perkataan Adiraja. Ia hanya ingin tahu, bagaimana tanaman berbunga mungil seperti itu bisa beracun. Juga, seberapa mematikan racun yang dihasilkannya.

"Apa ini... Wolfsbane?" Arjun menebak-nebak.

Adiraja mengangguk. "Di Nepal disebut sebagai racun Bikh. Beberapa negara menggunakannya sebagai racun anak panah untuk berburu."

"Penggunaan racun 20 ml dapat membunuh satu manusia dewasa, dengan waktu kematian 2 sampai 6 jam." Arjun menambahkan keterangan Adiraja. "Setelah masuk ke dalam tubuh akan timbul sensasi terbakar, mati rasa, dan kesemutan yang akan menyebar ke seluruh anggota tubuh, menyebabkan fungsi jantung terganggu, dan akhirnya mati lemas." Arjun mengakhiri dengan menyilangkan tangannya di depan dada.

"Seprti biasa Arjun yang serba tahu." Hazim semakin, dan semakin tertarik dengan tanaman yang ada di depannya. "Benar-benar alat membunuh yang hebat," tambahnya sama sekali tidak mengalihkan tatapan penuh kekaguman dari tanaman berbunga yang baru pertama dilihatnya.

"Dari mana dokter bisa mendapat tanaman seperti ini?" Yuda yang selalu memberikan tanggapan seperlunya, bertanya.

"Saya menemukannya tanpa sengaja saat liburan lima tahun lalu," jawab Adiraja. "Ini mungkin takdir. Sama seperti pertemuanku dengan kalian."

Itulah mulanya. Deklarasi jahat pembunuhan dengan racun Wolfsbane. Suasana ruang bawah tanah yang lembap menjadi saksi betapa jauhnya keempat orang itu mengambil jalan lain dan berbelok tajam. Menyimpang dari jalan mereka yang seharusnya.

"Lagi-lagi," istri Adiraja yang berada di anak tangga bersuara "Berkumpul dan membicarakan sesuatu sembunyi-sembunyi."

"Akhir-akhir ini ibu suka berfikir melantur," Arjun menimpali. "Apa Ibu mulai menonton film yang aneh-aneh lagi? Terbawa alur?" Arjun menatap menyelidik, ibu menahan tawa.

"Waah.. aku mencium ada banyak makanan enak di atas!" Hazim berseru. Mengalihkan pembahasan. "Apa Ibu memasak makanan kesukaanku?"

Ibu mengangguk. "Masakan kesukaan Arjun juga, kesukaan Yuda juga, kesukaan dokter kesayangan kalian juga." Ibu tersenyum.

"Ibu memang yang terbaik! Selamanya!!" Hazim bergelayut manja di lengan wanita yang ia panggil ibu. Yang tidak memiliki hubungan darah apa pun. Yang sejak pertama kali memeluknya ia sudah jatuh hati pada kehangatannya, sifat lemah lembut, dan penyayangnya.

avataravatar
Next chapter