15 #Bagian 14 : Bimbang.

Beberapa hari ini Sakhi lebih sering ke luar rumah dibanding menikmati jam kosongnya dengan bermalas-malasan. Sakhi tidak lagi pergi ke taman tempat yang sebelumnya rutin ia kunjungi setiap minggu. Meski tidak ke tempat itu, Sakhi selalu lebih terlambat saat sampai di tempat kerja.

Untuk menebus keterlambatannya, Sakhi sering membantu teman yang kebagian jadwal piket setelah kafe tutup.

Sakhi sedang serius melakukan sesuatu yang ia pikir perlu dilakukan. Bermain detektif-detektifan.

Awalnya Sakhi iseng. Namun karena keisengan dilakukan secara rutin, Sakhi kemudian menemukan sebuah petunjuk.

Penyelidikan Sakhi dimulai dari foto yang pernah Iwata dan Haikal perlihatkan padanya saat baru keluar dari tahanan. Berpatokan pada keempat wajah dalam foto-foto itu, Sakhi beraksi.

Untuk Arjuna Zeroun, Sakhi cukup memantaunya dari media sosial. Seseorang yang sedang berada di puncak kepopulerannya tidak akan pernah absen meng-update semua kegiatannya di media sosial. Entah itu di akun official atau pun akun pribadinya.

Sejak awal Sakhi adalah fans novel-novel yang ditulis oleh Arjuna Zeroun, jadi memantau akunnya di media sosial bukan lagi hal baru. Tidak ingin terlewat sesuatu yang penting, Sakhi juga memantau foto-foto yang diupload oleh fans.

Hanya duduk manis di kursi dan memantau akun media sosial memang tidak menghasilkan apa pun. Yang ada ditemukan hanya ungahan foto dan jadwal kegiatan. Tidak ada yang terperinci. Tapi mau bagaimana lagi, membuntuti orang sekelas Arjuna Zeroun sangat tidak mungkin untuk dilakukan.

Jika boleh jujur, sebenarnya Sakhi masih tidak percaya penulis idolanya melakukan kejahatan. Tidak mungkin. Seperti halnya kesalahan yang polisi lakukan padanya, penyelidikan juga pasti telah salah. Tersesat jauh.

Tapi, ada terlalu banyak kesedihan dan kemarah dalam novel yang ditulisnya. Guratan-guratan luka yang tidak seperti hanya sebuah imajinasi.

Dan, sebagai seseorang yang sudah bertekad untuk ikut menyelidik diam-diam ia tidak boleh terlena oleh perasaan pribadinya.

Fokus! Seperti kalimat yang sering Iwata ulang berkali-kali saat curhat, 'segala kemungkinan bisa saja terjadi selama kasus masih dalam zona abu-abu.'

"Ini novel apa? Jangan, dibaca lagi!" Kak Hania juga pernah mengingatkannya.

Wanita yang paling dicintainya itu adalah tipe yang sangat sensitif. Ia bisa mengerti banyak hal walaupun belum terucapkan. Mungkin karena selalu dikelilingi anak-anak sehingga kepekaannya sudah demikian terasah. Salah satu daya tarik yang menurut Kak Alan membuat istrinya terlihat sangat manis.

Sakhi memata-matai Yuda Saputra hanya pada jam istirahat. Peraturan di perusahaan Yuda sangat ketat, sehingga selain ke luar kantor untuk ke lapangan, Yuda hanya bebas keluar saat jam istirahat. Pada jam-jam itulah Sakhi mulai beraksi.

Tidak hanya membuntuti, Sakhi bahkan mengambil beberapa foto layaknya penguntit. Sakhi percaya bahwa salah satu bukti otentik yang tidak terbantahkan adalah foto. Jadi ia mengambil banyak gambar dengan kamera ponselnya.

Untuk Hazim, Sakhi juga mendapatkan akun media sosialnya, tapi tidak ada apa pun yang dipublikasikan. Tidak memperbaharui status atau pun memajang foto terbaru. Teman atau pun pengikutnya tidak lebih dari lima orang. Entah apa alasannya membuat akun.

Keseharian pemuda itu hanya disibukkan dengan kursus dan bekerja seolah kedua hal itu adalah satu-satunya alasan untuk bertahan hidup. Sesuatu yang menjadi nafasnya.

Tidakkah sekali-kali Hazim juga harus bersenang-senang di luar.

Yang tersulit adalah memantau Bagas. Jam bebas Sakhi tidak banyak jadi ia tidak bisa memantau semua orang sesukanya. Sakhi juga sudah berusaha mencari akun media sosial milik Bagas, tapi tidak satu pun yang bisa ia temukan.

Bagas pernah sekali menemui sakhi di kafe. Jika Bagas memang adalah salah satu dari Kira, berarti kedatangannya hari itu adalah peringatan. Peringatan yang Sakhi tidak tahu untuk apa karena semua yang ada di pikirannya hanya dugaan.

Mengambil tindakan pencegahan, Sakhi lebih berhati-hati dan memutuskan untuk tidak mendekati Bagas lebih dulu. Ia akan mengecualikan Bagas untuk sementara.

Dalam hati, Sakhi juga tidak berharap Bagas pelakunya. Cerita mengenai kehidupannya sudah sangat menyedihkan dan membuat kesalahan dengan terlibat tindak kejahatan akan menghancurkan segala hal yang sudah susah payah berhasil ia bangun. Kehidupan, lingkungan, dan kepercayaan orang-orang.

"Lagi-lagi melibatkan perasaan pribadi." Sakhi menepuk-nepuk wajahnya.

Petunjuk pertama yang Sakhi dapatkan adalah Yuda selalu makan siang di tempat makan yang sama. Di sebuah rumah makan kelas elit. Dan, Sakhi pernah melihat Arjuna Zeroun juga berada di tempat yang sama. Waktu masuknya memang tidak bersamaan, tapi tidak juga berselang lama.

Untuk disebut petunjuk hal itu masih terlalu umum, tapi Sakhi tidak ingin menyepelekan hal-hal kecil yang ia temui.

Seperti di beberapa film yang pernah Sakhi tonton, polisi dan mata-mata pasti bertemu di tempat-tempat umum yang tidak terlalu mencolok. Di temoat itu mereka melakukan transaksi informasi dan menyusun rencana.

Beberapa tempat yang dipilih adalah bioskop karena gelap dan kafe dengan duduk saling membelakangi di meja yang berbeda.

Bertukar informasi melalui telepon sangat rentan dengan penyadapan dan berkirim pesan melaui email juga syarat dengan peretasan. Sementara bertemu di tempat terpencil dan tertutup akan sangat mencurigakan. Bertemu secara terang-terangan juga tidak mungkin dilakukan. Jadi, pilihan yang tersisa adalah melakukan kegiatan seperti biasa sekaligus melakukan pertemuan rahasia dan bertukar informasi.

"Sempurna!" Sakhi merasa bangga bisa berpikir sejauh itu.

Malam sepulangnya dari tempat kerja, Sakhi mengevaluasi semua yang sudah dilakukannya selama beberapa hari ini.

Setelah korban kesembilan, waktu kejahatan yang awalnya dilakukan pada tengah malam atau dini hari, berubah. Waktu kejahatan terlihat bisa dilakukan kapan saja.

Dengan waktu dan ruang gerak para terduga yang masing-masing memiliki keterbatasan, mereka masih bisa tetap melakukan pembunuhan. Jika benar mereka saling terhubung dan bekerja sama, mereka bisa saling melengkapi dengan mengisi waktu-waktu kosong yang tidak dimiliki yang lainnya.

Dengan semua waktu pembunuhan yang terjangkau oleh pelaku, Sakhi semakin yakin bahwa pembunuhnya memang lebih dari satu orang. Dilakukan secara bergantian. Menyesuaikan dengan waktu yang tidak bisa dijangkau oleh yang lainnya.

Saat sedang memperhatikan puluhan foto Arjuna Zeroun dengan mencocokkan ketika waktu pembunuhan terjadi, mata Sakhi menangkap sesuatu yang tidak asing.

Jam tangan!

Sakhi perhatikan dengan teliti. Ia yakin pernah melihat jam dengan bentuk unik seperti itu sebelumnya. Yang bulatannya sedikit lebih tebal dari jam-jam tangan kebanyakan.

Di hari saat tangannya terkena racun!

Sakhi yakin tidak melihat Arjuna Zeroun hari itu. Terlebih lagi, seseorang yang terkenal berada di jalan umum seharusnya akan sangat mencolok. Sakhi yakin tidak melihat Arjun dimana pun. Jika pun melihat, ia pasti sudah memburu untuk meminta tanda tangan. Tidak mungkin ia lewatkan begitu saja. Bukan Arjun berarti...

Suara pintu kamar diketuk, membuat konsentrasi Sakhi yang fokus pada kasus teralihkan. Sakhi cepat-cepat mengumpulkan foto-foto yang ia sebar di ranjangnya untuk disembunyikan. Sakhi tidak bisa membayangkan apa yang akan Kak Hania pikirkan tentangnya jika melihat ada begitu banyak foto laki-laki di atas ranjangnya.

Tidak. Sakhi tidak ingin membayangkan kesalah pahaman seperti itu.

"Sakhi, kamu sudah tidur?"

"Belum, Kak." Sakhi segera beranjak membuka pintu kamarnya.

***

Sakhi bangun lebih pagi dari biasanya. Matanya sulit terpejam, namun justru bangun lebih awal. Setelah ikut membantu membangunkan anak-anak, sholat subuh berjamaah, menyiapkan sarapan, dan bersih-bersih, Sakhi kembali ke kamarnya.

Keliping kasus yang berada di bawah bantalnya ia tarik, ia buka-buka. Panti selalu berlangganan koran setiap harinya. Dengan itu Sakhi bisa mengumpulkan semua berita mengenai kasus pembunuhan racun Wolfsbane dengan cepat. Dengan mengambil koleksi koran lama yang disimpan di gudang.

Foto-foto yang sudah dikumpulkan, kembali Sakhi jajar di atas ranjangnya. Hipotesa-hipotesa tentang kasus yang sudah Sakhi bangun semalam dan terputus karena kedatangan Kak Hania, sekarang ia coba untuk fokus. Kembali membangun hipotesa-hipotesa baru dari awal.

Dari awal, dari...

"Hashh!!" Sakhi mendesis kesal. Seberapa pun ia mencoba, ia tidak bisa fokus. Pembicaraan dengan Kak Hania semalam sangat menganggunya.

Ibu.

Tiba-tiba saja Kak Hania bertanya mengenai bagaimana perasaan Sakhi terhadap perempuan yang telah melahirkannya lalu membuangnya. Tiba-tiba saja ditanya seperti itu, membuat Sakhi bingung, tidak tahu harus menjawab apa.

Sebelumnya Kak Hania tidak pernah membuka pembahasan tentang ibu. Tidak pernah! Sama sekali! Kak Hania tahu pembahasan mengenai ibu sangat sensitif bagi Sakhi sehingga selalu menghindarinya. Tapi semalam, Kak Hania menjadi orang pertama yang membuka pembahasan.

Tiba-tiba membuka pembahasan hanya satu kemungkinan yang Sakhi pikirkan. Sesuatu telah terjadi atau selama ini Kak Hania sedang menunggu. Memilih waktu yang tepat untuk berbicara dan kebetulan pilihan waktu yang tepat menurut Kak Hania telah tiba.

Sakhi sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya terhadap orang yang telah melahirkannya itu. Bimbang.

Di lubuk terdalam ia ingin tahu bagaimana rupa wanita yang sudah melahirkannya, yang wajahnya sudah terhapus dari ingatannya sama seperti rasa. Yang bahkan dalam mimpinya sudah terlalu lama tidak pernah lagi datang. Sakhi juga ingin tahu bagaimana wanita itu hidup setelah membuangnya. Ingin sekali.

Tapi... Sakhi tidak pernah benar-benar memikirkan jika hari itu tiba. Tidak ingin. Ia sudah hidup baik-baik saja dan bahagia dalam istananya bersama Kak Hania dan yang lainnya.

Memikirkan tentang ibu, akan menguras begitu banyak emosinya. Merusak pertahanan dan hari-hari tenangnya.

"Benar kamu enggak mau bertemu? Benar kamu enggak berharap bertemu? Bukannya selama ini kamu datang ke taman karena berharap bisa melihat dia? Bukannya sebenarnya kamu merindukan dia? Sangat ingin bertemu tapi mengetahui bagaimana kamu ditelantarkan kamu takut dibuang untuk kedua kalinya. Iya, 'kan?" Bagian lain dari diri Sakhi mencerca, menertawakan sifat pengecutnya.

"Enggak, enggak, enggak." Sakhi menggeleng kuat-kuat. Mengingkari.

Sakhi membenamkan wajahnya di antara lipatan tangannya. Mendengar orang menyebut tentang ibunya dan bertanya, membuat perasaannya benar-benar kacau. 'Harus bagaimana, harus seperti apa,' Sakhi benar-benar tidak tahu.

Marah, tentu saja. Sakhi sangat marah karena diperlakukan begitu tidak adil. Jika orang tuanya tidak ingin, kenapa melahirkannya. Kenapa membuatnya terlihat sangat menyedihkan dengan membuangnya dalam keadaan seperti itu. Apa yang sudah mereka lakukan? Apa alasannya?

Sakhi menghela nafas.

Sakhi pikir ia sudah bisa memaafkan, sudah bisa mengikhlaskan masa lalunya. Ia pikir ia akan baik-baik saja meski orang lain membicarakan atau menanyakan tentang ibunya. Ia hanya perlu mengatakan ia yatim piatu dan tidak memiliki orang tua sejak kecil.

Tapi, hari ini, memikirkan lagi hal itu setelah Kak Hania membahasnya membuat perasaannya carut marut.

Bencikah, rindukah. Marahkah, atau takut dibuang lagi untuk kedua kalinya. Tidak tahu, Sakhi benar-benar tidak tahu bagaimana perasaannya saat ini.

"Ha!" Sakhi sangat terkejut begitu mengangkat wajahnya ada orang yang sudah masuk ke dalam kamarnya.

Melly. Seorang anak perempuan berumur 15 tahun yang juga tinggal di panti.

"Kenapa enggak ketuk-ketuk dulu?" protes Sakhi.

"Sudah kok. Mbak aja yang enggak dengar. Sudah dipanggil-panggil juga," kilah Melly.

Gawat, Sakhi lupa mengunci pintu kamarnya.

"Itu..." Melly menunjuk foto-foto pria yang begitu banyak di atas ranjang Sakhi.

Sakhi menggeleng, tidak ingin Melly salah paham. "Enggak, ini..."

Melly menyipitkan matanya, tidak percaya, tidak ingin mendengar pembelaan diri Sakhi.

"Kak Hania! Kak Alan! Mbak Sakhi nyimpan banyak foto-foto cowok!!" pekik Melly sembari berlari meninggalkan kamar.

"Mati aku!" Sakhi menepuk keningnya.

Tidak ingin pemikiran macam-macam mengenai dirinya menyebar, Sakhi akhirnya ikut berlari ke luar kamar. Ia harus menangkap Melly. menutup rapat mulutnya sebelum terlambat.

Melly berada di ruang makan bersama Kak Hania, 2 pengurus panti, dan anak-anak panti lainnya yang tidak memiliki jadwal kegiatan apa pun. Semua berkumpul kecuali kak Alan. Melly sudah siap bercerita, tapi baru membuka mulutnya setengah, Sakhi sudah buru-buru membekapnya.

"Enggak, itu enggak benar! Melly salah paham." Sakhi dengan cepat membuat penyangkalan walau belum ada tuduhan yang ditujukan padanya.

Melly meronta. Saat bekapan Sakhi melonggar ia pun berteriak.

"Bohong! Aku liat sendiri ada banyak foto co..." Sakhi membekap lagi, membuat kalimat Melly terputus.

"Sakhi sudah, adikmu jadi susah nafas. Lihat!" Kak Hania melerai.

"Tapi nanti Melly ngomong sembarangan." Sakhi masih merasa berat.

"Kalo yang diomongin Melly enggak bener, ya enggak perlu takut to," Mba Titin yang bahasa jawanya masih kental, menimpali.

Perundingan antara Kak Hania, Mbak Titin, dan Sakhi dimanfaatkan Melly untuk melepaskan diri. Begitu bebas, Melly berlarian ke sana-kemari dan meneriakkan apa yang dilihatnya di kamar. Sakhi terus membela diri. Ia masih mengejar Melly dan berencana menjitak kepalanya saat tertangkap nanti.

"Cieee...!!!"

Sementara beberapa anak dan Mbak Titin berseru menggoda, yang lain hanya tertawa-tawa menikmati.

Panti memang tidak pernah sepi dengan adanya banyak anak yang tinggal. Sebuah anugrah karena menjadikannya penuh kecerian. Tidak hanya suara tawa dan cekikikan yang terdengar, suara tangis, teriakan marah, dan pertengkaran antar anak juga berulang kali menghias, membuat suasana panti menjadi gaduh.

Meski bertengkar, menangis, dan marah, anak-anak akan selalu bisa sembuh dan saling memaafkan dengan cepat. Anak-anak masih terlalu polos untuk mengerti bahwa dunia terkadang bisa menjadi sangat kejam. Bisa melukai senyum manis mereka dan meninggalkan luka yang teramat dalam.

Siang yang ramai itu akhirnya bisa kembali setelah sebelumnya Sakhi sempat ditahan untuk beberapa waktu.

***

Meski konsentrasinya masih terganggu oleh pembicaraan mengenai ibu, Sakhi tetap melanjutkan penyelidikan pribadinya seperti biasa. Sakhi harus mengalihkan pikirannya ke hal-hal lain. Dengan begitu ia tidak perlu memikirkan harus bagaimana atau bersikap seperti apa. Dengan begitu pikirannya tidak akan terbebani lagi, tidak perlu gelisah.

Ya, memang harus seperti itu.

Sakhi sudah berdiri di seberang jalan kantor tempat Yuda Saputra bekerja. Seperti biasa, bersembunyi dibalik pohon di pinggir jalan dengan kamera ponsel diarahkan pada targetnya. Cekrek, cekrek.

Berbeda dari hari-hari sebelumnya, kali ini Yuda tidak meninggalkan kantor dengan kendaraan pribadinya. Yuda bahkan melewati gang-gang kecil yang sepi. Jelas tempat tujuannya bukan rumah makan seperti biasa ia menghabiskan waktu di jam istirahatnya. Arahnya berlawanan.

"Mencurigakan." Pikir Sakhi sebelum mengambil tindakan.

Sakhi kemudian ikut bergerak, membuntut, mengendap-endap, berhati-hati, dan terus menjaga jarak aman. Tidak boleh ketahuan.

Tatapan Sakhi lurus tertuju pada targetnya, tidak lepas barang sedetik pun. Sesuatu tiba-tiba menarik perhatiannya, membuat langkahnya melambat. Ia menyadari sesuatu saat Yuda melihat jam tangannya untuk memastikan waktu.

Jam yang saat ini dipakai bukan jam tangan yang biasa dikenakannya. Bukan jam bermerek mahal buatan Italia. Itu jam yang sama dengan yang dikenakan Arjuna Zeroun dalam foto yang dilihatnya semalam. Itu juga jam yang sama dengan... yang mengenai tangan Sakhi sewaktu menyebrang. Jam yang digunakan seorang pemuda bertopi, Hazim.

Untuk beberapa saat Sakhi hanya berdiri mematung. Ada bisikan dalam dirinya untuk berhenti. Untuk tidak lagi melakukan hal berbahaya ini.

Sebelumnya Sakhi bermain detektif-detektifan hanya untuk memastikan sesuatu. Sekarang, semuanya sudah pasti. Kemungkinan orang yang sedang diikutinya adalah Kira yang lain sebanyak 80%. Kemungkinan akan melakukan hal mencurigakan sebanyak 81%. Dengan persentase sebesar itu, artinya bahaya yang akan dihadapinya juga besar.

Sakhi seharusnya berhenti. Ia hanya perlu menghubungi Iwata dan menjelaskan temuan-temuannya. Selanjutnya biar para polisi yang bertindak.

"Tapi," Sakhi berkata pada dirinya sendiri "Kalau dugaannya benar, kalau orang itu memang pelakunya, kalau benar sedang melakukan sesuatu yang mencurigakan... pria itu... pasti... berencana membunuh sekarang."

"Terus kenapa?" Bagian yang lain dari diri Sakhi bertanya, menahan kakinya yang sudah bergerak. "Ini bukan urusanmu, cepat kembali!"

"Tapi bagaimana kalau polisi lambat datang dan korban baru jatuh, siapa yang salah?" Sakhi bertanya pada dirinya sendiri.

"Yang jelas bukan kamu! Ini bukan urusanmu, cepat kembali!!"

Sakhi terlibat perdebatan dengan dirinya sendiri. Ia tahu ini berbahaya tapi akan ada seseorang yang terbunuh. Ia tidak tahu siapa yang akan terbunuh. Apakah ia kenal atau tidak, apa orang baik atau bukan. Siapa tahu ini jebakan untuk menangkapnya. Siapa tahu orang itu sudah tahu diikuti dan sengaja memancingnya. Atau hal lain yang tidak kalah berbahaya yang bisa saja terjadi.

Jelas ini berbahaya. Jalan-jalan yang dilewati tidak biasa, sepi.

Tiba-tiba Sakhi merasa bulu romanya meremang.

Kembali!

"Jangan, jangan. Aku akan menghubungi polisi, memastikan polisi datang tepat waktu dan orang yang akan menjadi korban selanjutnya aman. Aku hanya akan sembunyi dan diam. Tidak akan macam-macam. Janji!"

Selesai membuat keputusan, kaki Sakhi langsung bergerak. Ragu terlalu lama, hanya akan membuang lebih banyak waktu.

Misi mengikuti Yuda diam-diam dilanjutkan. Sakhi memaksa melangkah meski kakinya gemetar. Yang bisa dilakukannya hanya berhati-hati dan waspada.

Agar aman, Sakhi memutuskan mengirim pesan singkat ke Iwata lebih dulu. Seandainya pun –meski ia tidak ingin berpikir seperti itu– Yuda memang menargetkannya karena ketahuan telah dimata-matai, paling tidak ia menghilang dengan meninggalkan jejak dan Yuda akan menjadi satu-satunya orang yang patut dicurigai.

Sakhi melangkah lebih hati-hati lagi, lebih waspada. Ia bahkan memegang ponselnya lebih erat. Jika terjadi sesuatu ia bisa segera menekan tombol cepat yang terhubung ke nomor darurat, kantor polisi.

Aman. Rencana untuk keadaan darurat juga sudah disusun.

Ketika Yuda Saputra memasuki sebuah rumah, barulah Sakhi yakin bahwa ia bukan target selanjutnya. Menghela nafas lega.

Sambil bersembunyi di antara tumpukan kayu, Sakhi menghubungi Iwata. Tidak ada balasan masuk setelah Sakhi mengirimi pesan beberapa menit lalu, menandakan kemungkinan besar orang di seberang sana belum membaca pesan darinya. Sedang sibuk.

Tidak seperti dugaannya, Yuda datang sebagai tamu yang baik, menutupi kedok yang sebenarnya adalah iblis pencabut nyawa.

Yuda mengetuk pintu, berbicara beberapa patah kata dengan ramah, yang tidak bisa Sakhi dengar dari tempatnya bersembunyi. Beberapa saat setelah basa-basi ia dipersilahkan masuk oleh tuan rumah.

Melihat Yuda bisa dipersilahkan masuk dengan mudah, membuat Sakhi geram. Ia ingin keluar dari persembunyiannya dan berteriak melarang. Tapi akhirnya hanya menahan diri, teringat janji yang sudah ia buat dengan dirinya sendiri.

"Kenapa lama sekali diangkat?" batin Sakhi mulai mengomel.

Iwata memberikan nomor ponselnya saat ia dan Haikal mengantar Sakhi pulang selepas dibebaskan dari tahanan.

"Untuk mempermudah memberi informasi jika ada hal lain yang Sakhi ingat," kata Iwata.

Haikal mengodanya habis-habisan saat itu, padahal ia sendiri juga memberikan nomor ponselnya.

Dan hari ini, Sakhi sadar betapa pentingnya nomor-nomor itu.

"Tapi percuma kalau di saat penting orang yang dibutuhkan tidak juga merespons panggilannya," batin Sakhi mengomel lagi.

Panggilan diangkat. Tapi tepat di saat itu pula Sakhi dibekap.

avataravatar
Next chapter