14 #Bagian 13 : Topeng.

Dugaan sementara, yang paling memiliki kemungkinan sebagai Kira ketiga adalah Bagas. Memang masih hanya berupa dugaan seperti halnya Arjun dan Hazim. Namun kecurigaan tim cukup berdasar.

Pertama, Bagas memiliki sepatu yang sama seperti sepatu yang jejaknya tertinggal di TKP korban kedelapan.

Kedua, Bagas telah lama mengenal Hazim. Mereka tinggal di panti yang sama saat kecil. Bukti mengenai hubungan keduanya telah ditemukan, walau hubungan dengan Arjun masih merupakan sebuah tanda tanya.

Ketiga, Bagas terekam CCTV berada di swalayan tempat Hazim bekerja, bersamaan dengan waktu keberadaan Arjun. Ketiganya berada di tempat yang sama dalam satu waktu.

Rekaman CCTV memang tidak memperlihatkan gerak-gerik mencurigakan, karenanya tidak ada cukup bukti. Tapi siapa yang tahu apa yang mereka bicarakan.

Ahli pembaca gerak bibir bahkan tidak bisa secara utuh mengikuti percakapan mereka karena wajah ketiganya terlalu sering menunduk. Semakin memberi kesan mencurigakan.

Hanya berpatokan pada sepatu dan keterlibatan dengan orang-orang yang dicurigai, membuat dugaan mengenai Bagas sebagai Kira ketiga tidak cukup memuaskan.

Arjuna Zeroun dicurigai karena mengenal korban pertama, Japanese freak, dan memiliki trauma masa kecil.

Hazim dicurigai karena memiliki sepatu yang jejaknya tertinggal di TKP korban kedelapan, kabel ties menghilang dari swalayan tempatnya bekerja, dan memiliki trauma masa kecil.

Arjun dan Hazim sama-sama memiliki trauma masa kecil ditambah faktor pendukung lain yang membuat keyakinan tim khusus nyaris mencapai 100 persen. Sementara Bagas, sampai saat ini masih belum diketahui pernah miliki trauma masa kecil.

Sebelumnya Bagas tinggal bersama ibu dan adiknya. Mereka saling menyayangi. Kalau tidak, dukanya tidak akan begitu membara karena kehilangan keluarga.

Sejak kecil Bagas tumbuh tanpa ayah. Tidak ada yang tahu siapa ayah Bagas. Pun Bagas sendiri. Selama hidupnya ia bahkan tidak pernah mempertanyakan nasabnya.

Pembunuh dalam kasus yang tengah tim khusus tangani menargetkan para korban yang pernah melakukan kekerasan atau pun kejahatan terhadap anak di bawah umur. Dengan kata lain, profil pelaku seharusnya seseorang yang pernah memiliki trauma masa kecil. Tanpa poin terpenting itu, tim khusus tidak berani berasumsi lebih jauh.

***

"Apa serangan terhadap Hazim yang dilakukan semalam sia-sia?" Huda yang melihat Iwata baru datang langsung bertanya. Rasa ingin tahunya benar-benar tidak tertahankan.

Iwata menguap lebar-lebar, duduk di tempatnya, dan memeriksa lagi profil Hazim.

"Tidak juga," jawab Iwata. "Meski kita tidak mendapat pengakuannya, tapi kita tahu dia berada di sisi yang berlawanan. Kita cukup punya kemajuan untuk mengahadapi dia."

"Kemajuan? Berapa persen?" tanya Huda lagi.

"Dua."

"Hanya 2%?!" Huda setengah memekik. "Bukannya selama ini kita memang mencurigai dia. Jadi apa artinya kemajuan yang hanya 2%?" tambahnya sama sekali tidak merasa puas dengan persentase yang Iwata sebutkan.

"Orang itu sangat pintar berganti topeng," Iwata mulai menjelaskan. "Dia seperti bilang 'iya, itu memang saya. Memang saya pelakunya.' Tapi di sisi lain dia juga seperti bilang 'saya ingin kamu menuduh saya sebagai pelakunya. Karena saat kalian melakukan kesalahan, segalanya akan menjadi menyenangkan'."

"Kalau begitu sifatnya jelas mencurigakan," kata Huda. "Dia, 'kan bukan Bagas yang membenci polisi, kenapa ingin kita melakukan kesalahan?"

Iwata hanya mengangkat bahunya sebagai jawaban. Segala hal tentang Hazim tidaklah mudah. Ia masih perlu waktu untuk mempelajari pemuda itu.

Huda ingin berkomentar lagi, masih ingin bertanya, tapi tidak tahu apa yang harus dikatakan. Ia berpikir sejenak, tapi tetap juga tidak menemukan pertanyaan yang tepat.

"Kenapa? Kalian sedang membahas apa?" Haikal yang baru datang merasa tertarik.

Huda yang masih dipenuhi rasa ingin tahu, bercerita pada Haikal. Ia mulai menceritakan kemana mereka pergi semalam setelah meninggalkan kantor, juga jawaban yang Iwata berikan.

Meski tidak semangat karena hanya mendapat angka 2% untuk sesuatu yang Iwata sebut kemajuan, Huda menceritakan seluruhnya, secara lengkap, mendetail. Ia juga mengambarkan bagaimana ekspresi Hazim yang berubah-ubah. Bagaimana nada suaranya, tatapannya, dan senyumnya. Huda menceritakannya dengan baik, dengan pemilihan kata yang tepat hingga Haikal merasa sedang melihat kejadian malam itu dengan mata kepalanya sendiri.

"Jadi dia mempermainkan Iwata." Haikal berbicara lebih kepada dirinya sendiri. "Mungkin itu sebuah tantangan."

"Tantangan?" Huda tidak mengerti.

Selama Huda bercerita, ia sama sekali tidak mengucapkan satu pun kalimat yang berarti tantangan. Justru sebaliknya, Iwata yang menantang karena melakukan provokasi.

Melihat kening Huda berkerut, Haikal menjelaskan apa yang dimengerti olehnya.

"Kalau dia pintar mengubah ekspresi seperti yang dia mau, seharusnya dia bisa berpura-pura tidak tahu atau mengelak sampai akhir. Tapi dia justru memainkan ekspresinya, membuat Iwata kesal," jelas Haikal.

"Eh, bukannya dia hanya menggertak?" Huda semakin tidak mengerti.

Haikal menggelengkan kepalanya. Ia mencondongkan tubuhnya, siap untuk penjelasan selanjutnya. "Kuncinya adalah Hazim mengetahui semua teori yang Iwata ketahui. Bisa melihat hal-hal yang Iwata lihat. Dia bisa memilih tetap polos dan berpura-pura, tapi dia justru memperlihatkan bahwa dirinya bisa sejenius Iwata."

Huda memikirkan semua kata-kata Haikal, mencoba meresapinya.

"Sepertinya Iwata bertemu dengan lawan yang sebanding," Haikal bergumam. Ikut merasa antusias.

Huda menoleh ke arah Iwata. Kerut di keningnya semakin dalam, semakin membuat kepala sakit. Ia sama sekali tidak pandai dengan teori. Pekerja keras adalah satu-satunya kelebihannya.

Selama menjadi penyidik dan penyelidik pembantu di satuan Resmob, Huda mulai dipercaya karena kemampuannya. Karena kerja kerasnya. Dipilih masuk tim khusus termasuk bukti bahwa ia telah diakui.

Huda berganti tempat. Beralih berdiri di depan cermin toilet kantor. Ia memperhatikan wajahnya sendiri, lekat. Hanya ada satu kata yang memenuhi benaknya, 'topeng.'

Memikirkan kalimat Iwata dan Haikal berulang kali pun, ia tetap tidak bisa mengerti. Jadi Huda putuskan untuk langsung mempraktekannya di depan cermin.

"Menarik sudut bibir, mengencangkannya di satu wajah," ia bergumam.

Huda mengubah-ubah ekspresinya. Menutup sebelah wajahnya, mengubah ekspresinya lagi. Menutup yang sebelah lagi dengan telapak kanan, berubah lagi. Menutup kedua matanya kemudian menunjukkan ekspresi yang lain lagi.

Huda menghela nafas. Ia benar-benar ingin tahu, bagaimana seseorang bisa memainkan ekspresi semudah itu.

Bagaimana bisa berpura-pura begitu natural. Benarkah bukan hanya gertakan seperti yang ia pikirkan. Benarkah topeng seperti yang Iwata sebutkan. Benarkah sedang memamerkan kemampuan seperti yang Haikal singgung. Tidakkah seniornya terlalu berlebihan. Tidakkah hal-hal seperti yang seniornya sebutkan hanya ada dalam film.

Microexpression, menggerakkan otot di sekitar mata, menarik sudut bibir, benarkah ada orang yang bisa memanipulasi ekspresinya begitu mudah. Bukankah perubahan ekspresi dalam hitungan 1/15 - 1/20 detik itu sangat cepat untuk bisa disadari orang lain.

"Benar-benar sulit dimengerti." Huda menggeleng, menyerah.

Saat hari mulai semakin siang, seorang petugas berseragam, berpangkat Briptu menyerahkan sebuah berkas yang telah Iwata minta sebelumnya.

Iwata masih mencari tahu bagaimana cara Hazim dan Arjuna Zeroun bisa saling berhubungan untuk pertama kalinya. Ia pikir mungkin saja itu diawali dengan psikiater yang sama.

Ternyata dugaannya salah. Psikiater yang tiga tahun lalu mendampingi Hazim saat ia nyaris membunuh perampok bukanlah psikiater yang sama dengan psikiater Arjun selama ini.

Bukan Adiraja Bima. Laporan yang baru diterimanya menyatakan itu.

Pasti ada. Pertama kali keduanya saling berhubungan, pertama kali saling menunjukkan luka masing-masing, pertama kali semuanya dimulai. Pertama kalinya mereka saling menunjukkan ekspresi yang sebenarnya. Tanpa topeng.

Kapan? Dimana? Mereka harus segera menemukan jawabannya. Mereka harus segera memecahkan teka-tekinya.

avataravatar
Next chapter