1 Prolog

Krisis yang terjadi pada tahun 1997-1998 adalah krisis terparah yang pernah terjadi sepanjang sejarah. Krisis yang terjadi pada masa Orde Baru itu disebabkan oleh melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Krisis ekonomi diperparah dengan adanya kekacauan politik yang terjadi untuk menumbangkan rezim yang berkuasa pada masa itu. Tragedi penembakan Trisakti, aksi penjarahan 14 Mei 1998, juga kerusuhan yang terjadi di sana-sini. Hal itu membuat banyak pemilik modal dan para investor melarikan diri. Negara semakin terpuruk.

Dampaknya, banyak perusahaan dan pabrik-pabrik yang melakukan pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat, sembangko semakin langka, dan harga-harga melambung tinggi.

Di saat semua orang berjuang untuk hidup dan berusaha keras agar bisa bertahan, tiba-tiba tindak kejahatan meningkat pesat. Mereka sedang depresi oleh himpitan ekonomi dan kesenjangan sosial yang tidak kunjung mereda.

"Bapak, lapar, Pak." Seorang anak laki-laki berusia 2 tahun meringkuk dipelukan bapaknya dengan tubuh menggigil. Demam yang sudah menyerang selama dua hari semakin tinggi.

Mendengar tangis kelaparan dari anak satu-satunya yang sedang sakit, betapa miris perasaan sang Bapak. Tidak ada apa-apa lagi yang tersimpan di rumah. Satu-satunya benda berharga, televisi hitam-putihnya sudah ia jual seharga Rp20.000. Nasi terakhir sudah mereka kunyah untuk makan semalam. Dompet kosong, pengangguran, dapur tanpa apapun yang bisa dimasak.

Mencoba mencari pinjaman ke sana-kemari sudah dilakukannya sejak seminggu yang lalu. Nihil. Hal terakhir yang bisa dilakukannya kini hanya mempertaruhkan peruntungan terakhirnya. Barangkali saja ia bertemu orang baik, barangkali saja ada sedikit kesempatan yang bisa diperolehnya.

"Jo, titip anakku, ya! Aku tak keluar sebentar cari makan sama beli obatnya anakku."

"Jangan lama-lama yo, Kang. Aku juga musti buru-buru pulang ke rumah ini."

Perbincangan singkat itu menjadi yang terakhir kalinya didengar si anak dalam isak laparnya. Wajah sang Bapak yang terlihat kebingungan dan panik menjadi guratan terakhir yang memenuhi penglihatannya.

Sampai senja terakhir di musim penghujan hari itu, sang Bapak tak kunjung kembali. Tidak untuk mengantarkan obat ataupun membawa makanan yang sudah dijanjikannya.

Dinas sosial kemudian mengambil si anak yang tidak lagi memiliki wali. Setelah kesehatannya membaik, perawatannya kemudian dilimpahkan ke sebuah panti yang menjadi tempat satu-satunya untuk pulang.

Di usia yang beranjak remaja baru kemudian diketahui kemana sang Bapak yang tidak lagi kembali, yang tidak akan pernah pulang.

Sore itu seperti janjinya, sang Bapak sudah berusaha mencari peruntungan ke sana-kemari. Bahkan sampai mengemis belas kasih orang, sayangnya masih tetap tanpa hasil. Semua orang dalam posisi sama. Mereka kesulitan, mereka juga butuh pemasukan.

Tidak mungkin pulang dengan tangan kosong membuatnya bertindak di luar rencana. Ia terpaksa. Keadaan menyudutkannya, begitu pikirnya.

Dengan bermodal nekat, ia masuk ke daerah dengan potensi kekacauan tertinggi. Pertokoan di daerah itu sudah pasti ditinggal pemiliknya untuk mengamankan diri sementara waktu. Hanya rencana itu satu-satunya peluang dan kesempatan yang bisa ia pikirkan.

Berhasil menyusup masuk dengan cara memecahkan kaca jendela, sang Bapak mengambil obat penurun demam, beberapa roti, dan mi instan untuk mengisi perut. Begitu selesai, ia berhasil keluar, tapi langkah kaki tidak mengizinkannya beranjak lebih jauh lagi.

Sang Bapak terjebak dalam bentrok yang terjadi antar mahasiswa dan pihak keamanan. Tidak lama kemudian, tiba-tiba sebuah peluru menyasar, menembus kepalanya. Tidak ada yang menyangka. Bahkan dalam kemungkinan terburuk sekalipun sama sekali tidak terpikirkan. Nafasnya diputus seketika itu juga. Darah mengalir di antara suara teriakan dan keadaan yang menjadi semakin kacau tak terkendali.

Sang Bapak tidak akan pernah kembali tapi si Anak masih menunggu. Masih sering kabur dari panti untuk pulang. Untuk memastikan apakah bapaknya sudah kembali, apakah bapaknya baik-baik saja. Ia merindukan bapaknya, rindu bermain bersama, rindu hari-hari yang telah mereka habiskan sebelum ini.

Dalam hati si Anak menyesalkan dirinya sendiri. Merasa bersalah. Seandainya ia tidak jatuh sakit, seandainya ia tidak mengeluh lapar bapaknya tidak akan pergi, tidak akan meninggalkannya untuk selamanya.

Yang kemudian dilakukannya adalah menangis diam-diam di pojok kamar. Berjam-jam. Sampai seseorang dari panti datang dan menjemputnya.

Hari-hari yang akan dijalaninya masih sangat panjang. Ia akan merindu sepanjang hari, sepanjang tahun, sepanjang hidupnya. Ia tidak akan pernah bisa bertemu lagi dengan bapaknya sesering apa pun ia pulang, kemana pun mencari.

***

avataravatar
Next chapter