webnovel

Savant Biru Laut | Part 1

0

Jangan terlalu tegang.

Tenang, oke?

1

Pagi ketiga di Pulau Bulu Gagak Basah baru saja menyapa kami. Aku terbangun dalam keadaan linglung, coba membedakan antara mimpi yang baru saja kualami dan kenyataan yang belum datang.

Jendela persegi panjang berposisi tinggi itu hanya menerima sedikit cahaya, sehingga ruangan tetap redup. Akibat kurang penerangan, aku tidak bisa apa-apa selain mengandalkan sinar alami. Matahari baru saja terbit, dan mungkin saat itu sekitar pukul enam pagi, dilihat dari jam internalku. Aku memperkirakan penentuan waktu ini menyimpang tak lebih dari lima belas menit. Namun, meleset satu jam pun bukan masalah.

"Bangun," gumamku, perlahan bangkit dari tempat tidur.

Ruangan itu sebagian besar kosong, hanya tersedia perabot kursi dan kasur futon. Benar-benar kosong selain itu. Langit-langit jangkung memberi ruang itu kesan lebih lapang─dan atmosfir "hampa" bangkitkan atmosfer mirip sel penjara atau semacamnya. Aku tidak mampu menghapus impresi layaknya seorang terpidana mati. Ini kedua kali dalam hidupku terbangun sambil merasa seperti itu.

Namun, walau bukan sel ruang tahanan, bilik itu juga sebenarnya bukan kamar tidur. Kudengar tempat itu sempat berfungsi sebagai ruang penyimpanan. Ketika aku minta Akari menuntunku ke kamar terkecil di rumah megah itu, ke sinilah dia membawaku. Kamar tersesak. Meski begitu, ruang itu jutaan kali lebih besar dari kamarku di rumah penginapan. Wah, membuatku depresi saja.

"Nah… itu masa lalu menyedihkan."

Sekarang.

Aku mengalihkan saluran kognitifku dari Mode Terpidana Hukuman Mati ke Mode Rutin.

Ingin tahu jam berapa sekarang, aku melirik jam tangan, tapi layar LCD tidak menampilkan apa-apa. Mungkin baterainya habis saat sedang tidur tadi. Sebentar, baterai sudah kuganti baru-baru ini. Pasti ada kendala lain. Yah, aku selalu bisa meminta Kunagisa untuk memperbaikinya.

Sambil jernihkan pikiran berkabut akibat tidur, aku pun senam, melakukan sejumlah peregangan sederhana dan kemudian meninggalkan kamar itu. Aku berkeliling sebentar. Karpet tebal, merah cerah, serta tampak (dan kemungkinan besar) berkualitas super tinggi. Pada akhirnya, lorong itu mengarah pada tangga spiral, di mana aku bertemu Rei dan Akari.

"Oh, selamat pagi. Kalian berdua bangun lebih awal."

Sapaan itu sebatas sopan santun untuk menyambut mereka, tapi mereka cuma lewat sambil menundukkan kepala tanpa suara.

"… Rupanya mereka tipe pendiam."

Jujur, mereka mungkin sedang bekerja, dan aku sejatinya bukanlah seorang "tamu", jadi aku harus tabah menerima tanggapan suam itu. Jika aku ingin mereka memerhatikanku, mestinya kuulurkan tanganku lebar-lebar dan berteriak, "Apa kabar, orang-orang aneh?!" Dan, sejujurnya, aku masih waras untuk tak mempertaruhkan diri seperti itu.

Rei Handa dan Akari Chiga itu dua pelayan wanita di mansion itu. Rei adalah "kepala pelayan", Akari bawahannya. Lalu ada dua pembantu lain berpangkat setara Akari. Total empat pelayan wanita. Dilihat dari siapa pemilik mansion itu, dan ukuran bangunannya, agaknya staf empat pelayan tak akan mencukupi. Tapi para wanita ini menjalankan tugas mereka dengan gesit dan terampil bak spesialis sejati.

Sang nyonya rumah, yaitu orang yang dilayani para pelayan ini, adalah Iria Akagami. Dia itu pewaris pulau, beserta mansion itu. Dan lebih jauh, dialah yang memberi undangan pada Kunagisa dan aku untuk datang ke sini.

"Ah, benar… Bukan aku yang diundang…"

Apa pun itu, berapa umur Akari, ya?

Kau bisa tahu sekilas Rei mungkin berusia kepala dua menuju kepala tiga. Tidak mudah bagi remaja sepertiku untuk mengetahui tepat berapa usia seorang wanita seumuran dia, tapi itulah kesan yang kudapatkan. Sebaliknya, Akari itu tantangan sesungguhnya. Kupikir usianya di atas aku, tapi tetap saja, dia terlihat awet muda. Dia itu ibarat salah satu wanita di pusat kota yang boleh membayar setengah harga untuk segala sesuatu meski berusia lebih dewasa. Aku ingin tahu apakah dia menyukai laki-laki berondong, pikirku agak tidak masuk akal (tidak, itu omong kosong belaka) saat aku menaiki tangga spiral, menuju aula lantai dua.

Aku pergi menuju kamar Kunagisa.

Dua hari lalu, ketika kami tiba di pulau itu, tentu saja sebuah kamar telah dipersiapkan untuk Kunagisa, namun tidak untukku. Ini sudah terduga: bahkan aku sendiri tidak menyangka akan mengunjungi pulau kecil aneh ini sampai pagi itu, kala Kunagisa meneleponku.

Akari menyiapkan kamar untukku di saat-saat terakhir. Tapi aku menolak tawarannya baik-baik. Mengapa? Jika menengok di balik pintu yang akan segera kubuka ini, alasannya akan jadi terang benderang.

Aku mengetuk sekali, lalu kubuka pintu.

Interiornya amat luas. Permadani putih bersih dan wallpaper dinding putih bersih dilengkapi furnitur putih bersih pula. Bahkan aku saja tahu warna putih memantulkan cahaya. Kunagisa tergila-gila pada warna putih, jadi mereka sengaja mendekorasi ulang ruangan ini. Di tengah ruangan ada sofa mewah dan meja kayu. Sebuah lampu gantung terjurai dari plafon pencakar langit (yang membuatku kurang nyaman). Tempat tidur itu bagaikan berasal dari film keluarga kerajaan abad pertengahan; bahkan lengkap dengan kanopi.

"Ya, aku tak akan pernah bisa tidur di sini…"

Jadi aku minta Akari memanduku ke ruang penyimpanan di lantai pertama. Sementara Kunagisa yang tak sesensitif diriku, berbaring di sana, mengantuk di atas seprai putih bersihnya.

Dari jam mekanis, besar, dan antik yang tergantung pada dinding (juga dipilih cermat berwarna putih), aku melihat jam menunjuk pukul enam lewat, seperti dugaanku.

Merenung harus melakukan apa, aku duduk di salah sau sisi tempat tidur Kunagisa, menikmati sentuhan karpet tebal dan lembut di bawah kakiku.

Kunagisa berguling.

Matanya terbuka sedikit.

"… Hmm? Oh… Iichan?" dia menyerukan nama panggilanku, bernada seperti biasa.

Entah akibat kehadiranku atau bukan, dia terbangun. Dia menyibakkan rambut biru Hawaii kusut dari wajahnya, menatapku dengan mata ruyup. "Oh, ahhh, Iichan… Ummm… Kamu datang membangunkanku? Terima kasiiih."

"Sebenarnya aku datang ke sini untuk meninabobokan kamu, tapi apa ini? Tomo tidur di malam hari? Langka sekali. Atau kamu baru saja tidur?" Jika itu kejadiannya, aku berutang minta maaf padanya.

"Uh-uh." Dia menggelengkan kepala. "Kupikir aku sudah tidur tiga jam. Karena kamu tahu, kemarin, yah, berbagai hal terjadi, Iichan. Beri aku lima detik lagi...… Selamat pagi! Ah, pagi ini cerah dan berkilau, bukan?!"

Dia pun meringkuk, tubuh mungilnya mencuat keluar. Sambil menyeringai lebar untukku, dia mengulurkan salah satu lengan, telapak tangan terbuka, membuat pose "telur" langsung dari majalah eponim. "Hah? Hei, sama sekali tidak cerah. Aku tak suka ini. Aku suka matahari mengudara di angkasa saat bangun di pagi hari."

"Kamu sedang membicarakan waktu di siang hari."

"Bagaimanapun, tadi itu tidur nyenyak." Abai, dia terus berujar. "Aku lumayan yakin bisa tidur jam tiga pagi. Beberapa hal sangat buruk terjadi kemarin dan aku cuma terbaring di atas kasur. Kau tahu, sebab tidur merupakan kado terbaik saat kau merasa tidak terlalu enak. Seolah tidur satu-satunya anugerah yang Tuhan berikan pada umat manusia. Iichan?"

"Ya, Tomo?"

"Diam di situ sebentar."

Tanpa memberi kesempatan untuk bingung, whomp, dia memelukku. Atau lebih tepatnya, dia membungkus diriku, membebankan seluruh berat badannya. Kepala mungilnya bersandar pada bahu kananku, tubuh kami saling menempel, leherku dilingkari lengan rampingnya.

Meremas.

Bukan karena dia berat.

"Um, Nona Kunagisa?"

"Isiii-uuu-lang."

Rupanya dia sedang isi ulang daya. Oleh sebab itu, bergerak tidak diperbolehkan. Aku menyerah untuk melawan, dan kini berat badannya tertopang olehku.

Tapi, hei, apa aku ini, stopkontak atau sejenisnya?

Melihat Kunagisa, kuperhatikan dia tidur masih mengenakan mantelnya. Setahuku, dia memakai itu sepanjang waktu, di dalam dan di luar ruangan, musim panas dan musim dingin. Mantel pria hitam legam. Dipakai seorang gadis setinggi Kunagisa, jubah berukuran besar dengan mudah menyentuh lantai. Namun, dia terlihat sangat menyukainya. Aku telah memberi tahu jutaan kali untuk paling tidak melepas mantel saat beranjak tidur, tapi sia-sia. Satu hal yang pasti: Tomo Kunagisa melakukan segala sesuatu dengan caranya sendiri.

Dalam hal ini, dia mirip aku.

"...…Oke, terima kasih," kata Kunagisa, dan dia akhirnya melepaskan aku. "Baterai penuh. Kini, mari hadapi sehari ke depan."

Sambil mendengus dia bangun dari tempat tidur, rambut biru pun berkibar. Dia berjalan menuju komputer di dekat jendela seberang tempat tidur. Dia membawa tiga buah komputer itu dari rumahnya di Shirosaki. Ketiga komputer itu tergolong model menara. Dua di kiri dan kanan berukuran biasa, di tengah berukuran gadang. Semua berwarna putih, tentu saja. Aku masih tidak mengerti mengapa dia begitu menyukai warna yang sangat mudah kotor.

Ketiga komputer itu berada di rak berbentuk U, lalu ada kursi putar empuk di tengah. Kunagisa duduk di kursi, bersandar. Dengan cara itu dia dapat mengendalikan ketiga komputer secara bersamaan. Tapi bagaimana pun kau menghitungnya, dia masih berlengan dua. Tiga papan ketik dipakai serempak berada di luar jangkauanku.

Aku melihat dari balik bahunya. Ketiga keyboard tersebut bukanlah ASCII atau JIS atau Oasis, melainkan beberapa susunan tombol janggal nan misterius. Namun mempertanyakan ketidakwajaran itu percuma saja. Untuk insinyur komputer seperti Tomo Kunagisa, mendesain keyboard dari awal mungkin dapat diibaratkan berjalan-jalan di taman.

Kebetulan, Kunagisa tidak menggunakan tetikus. Sebab "mereka hanya buang-buang waktu saja." Bagi pemula sepertiku, pemandangan komputer tanpa tetikus itu menakutkan, sama sekali tidak mungkin untuk terbiasa. Walaupun itu bukan perasaan paling buruk di dunia.

"Iichan."

"Ya?"

"Ikat rambutku."

Dimengerti. Aku menghampiri kursi Kunagisa. Aku pun mengurai beberapa ikat rambut dari lengannya dan mengikat rambut Kunagisa menjadi dua kepang.

"Astaga, cuci rambutmu. Jari-jariku mulai berminyak di sini."

"Aku benci mandi. Kau tahu, rambut basah kuyup dan sebagainya."

"Yah, tentu saja. Lihat ini, warna birumu semakin gelap."

"Aku tak bisa melihat kepalaku sendiri. Heheheh, jika dibiarkan seperti itu, akan berubah jadi biru laut. Terima kasih, Iichan," kata Kunagisa, bibir bawah sembunyi sambil tersenyum. Senyuman polos, tak terjaga, dan campur baur.

"Uh, tidak masalah, sungguh."

Bahkan saat kami berbicara, jarinya tidak pernah berhenti bergerak. Jari jemari itu bergerak seakurat mesin diiringi ritme konstan setiap tombol ditekan. Gerakannya mengalir begitu lancar seolah-olah dia secara tidak sadar menjalankan beberapa tugas yang telah direncanakan semula melalui cara terprogram. Teks bahasa Inggris dan angka tak bermakna berseliweran pada ketiga layar monitor secara cepat.

"Tomo, sedang apa kamu? Kamu baru bangun tidur."

"Mmm, baiklah, kurasa kamu tidak akan paham bahkan bila kuberi tahu."

"Hmm. Kamu benar-benar membutuhkan tiga PC untuk melakukannya?"

Dia menatapku bingung ketika aku mengatakan itu. "Iichan, yang besar ini bukanlah PC, ini workstation."

"Apa itu workstation? Ini bukan PC?"

"Tidak, ini beda. Yah, kukira PC dan workstation serupa mengingat keduanya ditujukan untuk penggunaan individu, tapi workstation berada di puncak."

"Ah, jadi workstation itu seperti PC yang terlampau canggih?" kataku, secara terbuka menunjukkan ketidaktahuanku.

Dia mengerang. "Iichan, PC itu PC dan workstation adalah workstation. Keduanya termasuk GPC, tapi anggap keduanya dua hal berlainan."

"Apa itu GPC?"

Dia menatapku seolah-olah aku semacam manusia gua. "Iichan, kamu tidak tahu apa-apa, kan…" dia berkata ambigu. "Apa sebenarnya yang kamu lakukan di Houston selama lima tahun itu?"

"Hal-hal lain."

"Fiuuuh. Oke…" katanya sambil memiringkan kepala. Kemudian dia melanjutkan pekerjaan seolah-olah sebuah sakelar telah menyala di otaknya. Huruf dan angka seperti pertunjukan sulap bagiku terus bercucuran pada layar.

Aku ingin dia menyuluhiku sedikit lebih banyak soal klasifikasi itu atau apalah, tapi aku tidak terlalu penasaran secara intelektual. Selain itu, tak sopan menyela apa pun yang sedang dia kerjakan. Lagi pula, mengikuti penjelasan sui generis kutu buku ini rasanya hanya akan membuat pusing, maka dari itu kuakhiri percakapan di antara kami. Aku memijat bahu Kunagisa sesaat, lalu memutuskan untuk meminjam wastafel, tempat aku cuci muka dan mengganti pakaian.

"Hei, Tomo, aku mau pergi melihat-lihat."

Tanpa mengalihkan perhatian dari pekerjaan, dia melambai setengah hati. Tangan lain terus menekan tombol.

Masa bodoh, aku mengangkat bahu lalu meninggalkan ruangan.

Next chapter