webnovel

Konspirasi Semesta

Rinai menuruni tangga dengan senyuman yang tak pernah luntur dari bibir mungilnya. Ia begitu menunggu hari ini, dimana ia dan Ayahnya akan menghabiskan waktu bersama. Bahkan Rinai sudah menulis didaftar salah satunya adalah mengunjungi makam Bunda.

Ia berhenti di tangga, dimana beberapa figura terpasang. Ada foto Ayah dan Bunda, mereka bertiga juga foto Rinai sendiri yang diabadikan sebagai memori disana. Dilantai bawah tepatnya disudut tertentu ruangan, juga ditaruh beberapa figura dengan berbagai ekspresi wajah, membuat ruangan ini semakin menyimpan banyak kenangan. Ayah pernah bilang kalau Rinai dan Bunda memiliki wajah yang sama, padahal Rinai juga anak Ayah, hanya mirip hidungnya saja yang mancung. Rinai tersenyum kala mengingat perkataan sang Ayah. Buliran air mata jatuh dipipi Rinai, buru-buru ia menghapus air matanya. Selalu saja begini jika mengingat Bunda.

"Rinai.." suara barithon milik Ayahnya membuat gadis itu membalikan badan mendekat kearah tangga dan melihat Ayahnya dari atas.

"Ayah mau kemana?" Rinai bertanya saat Ayahnya sudah siap dengan jas formalnya. Padahal ini adalah hari Sabtu.

"Maafin Ayah Rinai, Ayah harus meeting diluar kota." Rinai menuruni tangga.

"Ayah lupa? Udah dua Minggu semenjak Ayah dan Rinai bisa menghabiskan waktu berdua." Rinai menatap Ayahnya.

"Ini pekerjaan yang penting Rinai, Ayah harap kamu bisa mengerti Ayah." Rendra—Ayah Rinai memeluk sang putri sebentar, Rendra mencium puncak kepala Rinai dan berlalu pergi.

Rinai menatap Rendra dengan tatapan yang mulai buram karena air mata, dan detik berikutnya air matanya tak lagi bisa ia bendung.

***

Gadis dengan rok selutut dan Hoodie putih mendekati pusaran yang sangat ia rindukan.

Raina Elara

Lahir : 13 Maret 1977

Wafat : 13 November 2000

Rinai mengelus papan nisan milik Bundanya. Wanita yang sudah berani menaruhkan kehidupannya demi Rinai.

"Bunda.." Rinai sudah tak bisa kembali membendung air matanya.

"Ayah udah nggak se asik dulu, Bun." Rinai mengelus papan nisan, didepannya.

Awan mendung mulai berkumpul didaerah bilangan Jakarta Barat, tidak perlu waktu satu menit, hujan deras menguyur pemakaman itu. Ditemani hujan, Rinai tak beranjak sama sekali.

Sudah dua jam lamanya, Rinai akhirnya beranjak dari tempatnya. Hujan masih setia menemani meski rintik-rintik tersisa. Rinai berjalan keluar makam setelah menaruh sebuket bunga Anyelir. Rinai mengigil karena tubuhnya yang tidak tahan akan suhu dingin, bibirnya pucat, matanya mulai buram. Hingga detik berikutnya ia terjatuh.

***

Langit keluar dari bangunan bertuliskan Aldebaran Corporation. Jas berwarna Navy terlihat cocok melekat ditubuh Langit.

banyak orang-orang yang menyapanya, karena tau siapa sosok laki-laki muda itu. Tak sedikit pula yang menatap Langit terang-terangan, dengan umur yang terpaut jauh tak membuat mereka memundurkan aksi.

Langit bisa berdiri disini karena ajakan Mamanya, toh dia tidak akan bisa menolak karena bagaimana pun perusahaan ini, akan jatuh ke tangannya. Ia memang tidak menyukai ini semua karena membuat Mamanya tak punya banyak waktu dengannya. Tapi, Langit juga tak ingin egois untuk masa depan.

"Tuan Langit, selamat untuk tender yang Anda menangkan. Nyonya Liliana mengajak Anda makan malam." Langit melihat kearah perempuan yang memiliki jabatan sebagai sekertaris Mamanya.

Sudah setengah tahun lamanya semenjak ia menginjakan kaki dikelas 11. Langit sudah dikenalkan dengan dunia bisnis dan semudah itu ia mempelajari semua bahkan mampu menyeimbangi otak cemerlang kedua orang tuanya.

Langit hanya mengangguk, memakai helm full facenya dan sekali lagi melihat kearah bangunan didepannya. Liliana menatap Langit dengan tatapan yang tidak bisa di jelaskan.

Motor sport meninggalkan pekarangan Aldebaran Corporation dan ikut bergabung dengan pengendara lain, dijalan raya.

Langit melewati TPU dibilangan Jakarta Barat, ia menaikan sebelah alisnya kala meilhat beberapa orang yang berkumpul. Entah mengapa, hatinya menyuruh Langit untuk mendekat.

Ia melepas helm full facenya dan berjalan menuju kerumunan, matanya membulat sempurna kala melihat perempuan yang ia kenal berbaring diatas tanah.

"Rinai.." Langit mendekat, laki-laki itu menepuk pelan pipi Rinai. Namun, nihil Rinai sama sekali tak membuka matanya atau sekedar bergerak sedikit saja.

Langit memperhatikan Rinai, bibirnya pucat bahkan wajahnya pun sama. Ingatannya kembali membawanya mengingat sesuatu.

"Mas, kenal mbak ini?" pertanyaan dari seorang bapak-bapak membuat Langit kembali kealam sadarnya.

"Iya Pak, tolong panggilkan taksi." Bapak itu mengangguk dan dengan sigap berlari mencari taksi, tidak butuh waktu hingga lima menit. Bapak itu kembali dan memberi tahu Langit bahwa taksi sudah didepan TPU.

Setelah mengatakan terima kasih, Langit mengendong Rinai ala bride style kearah taksi yang dimaksud. Taksi berjalan menjauh dari makam dengan perasaan Langit yang cemas akan keadaan Rinai.

***

Matahari berganti tugasnya dengan bulan, langit malam membuat banyak mata terlelap karena kelelahan mengarungi kerasnya ibu kota pagi hari.

Jam sudah menunjukan pukul Sembilan malam, Langit masih setia menemani Rinai dikamar rawatnya. Setelah ia menghubungi nomer rumah Rinai lewat handphone gadis itu. Langit memilih menemani Rinai, hingga esok Ayah Rinai datang.

Perlahan dua bola mata menatap kesekitar, bau khas rumah sakit memasuki indra penciumannya. Matanya menatap ruangan bercat putih. Netra coklatnya jatuh kepada objek disampingnya. Laki-laki dengan rambut yang acak-acakan juga jas yang tersemat ditubuhnya membuat Rinai tersenyum simpul. Lagi-lagi nyawanya ditolong Langit.

Langit merasakan sebuah tangan memegang lengannya, membuat laki-laki itu terbangun. Ia tersenyum kala melihat Rinai tersenyum simpul kearahnya.

"Teri-ma K-as-ih." Langit mengangguk.

Berpuluh-puluh kilometer dari tempat Rinai dan Langit, Liliana menatap jam tangannya gusar. Sudah satu jam Liliana menunggu Langit dirumah, bahkan Brata pun menyempatkan duduk diruangan ini.

"Mama yakin, Langit udah dikasih tau?" Brata menatap istrinya yang masih sibuk mondar-mandir dengan ponsel yang ia tempelkan ditelinga.

"Udah Pa, sekretaris Mama yang Mama suruh." Brata menghela nafas, kenapa tidak Liliana langsung yang mengatakan pada Langit? Brata tak mengerti jalan fikir istrinya. Apakah setidak peka itu, mengapa Langit menciptakan dinding yang menyekat keduanya.

"Regan dan Tritan sudah Mama tanya?" Brata kembali bertanya.

"Mama bahkan sampai kerumah mereka, nihil." jawaban Liliana membuat Brata tersenyum simpul, istrinya itu ternyata sangat sayang dan khawatir dengan Langit, meski sikapnya yang egois.

***

Laki-laki dengan jas putih kebanggaannya keluar dari mobil. Kaki jenjangnya membawanya masuk kedalam lorong yang sepi, hanya ada beberapa dokter atau suster yang berlalu-lalang.

"Selamat malam, dokter Brata." perempuan dengan jas yang sama tersenyum kearah Brata.

"Selamat malam, dokter Selina." Brata tersenyum sopan.

"Maaf dokter, saya tadi melihat Langit." Brata menaikan alisnya.

"Dibangsal Melati nomor 144, dok." Brata mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

laki-laki itu melangkah menyusuri lorong demi lorong untuk sampai dibangsal Melati. Brata menatap angka didepan pintu, 144.

Brata membuka pintu ruangan dan melihat Langit yang tertidur disamping gadis. Brata menarik alisnya.

"Langit." Langit membuka matanya dan menatap laki-laki lebih tua darinya dengan jas putih kebanggaannya.

"Papa?" Langit menarikan kedua tangannya.

"Ikut Papa." Langit membenarkan jasnya, ia melihat kearah Rinai sebentar dan mulai mengikuti kemana Brata membawanya.

Brata duduk di kursi kerjanya, Langit ikut duduk di kursi didepan Brata.

"Kenapa kamu nggak pulang? Lupa sama acara yang Mama kamu buat?" Brata menatap anaknya dengan wajah datar.

Langit membulatkan matanya, mengapa ia bisa seceroboh itu? "maafin Langit, Pa." Langit menatap Brata.

"Minta maaf sama Mamamu, dia nunggu kamu. Bahkan sampai datang langsung kerumah Tritan dan Regan. Kamu tau kan? Walaupun sahabat kamu itu tetangga rumah kita, mana pernah Mama mau repot-repot kesana." Langit membuang nafas kasar. Benarkah Mamanya mau membuang waktu berharganya hanya untuk mencari Langit?

"Siapa gadis itu?" Brata mengalihkan pembicaraan.

"Namanya Rinai Hujan, teman Langit." Brata mengangguk-anggukan kepala.

"Kamu sudah besar, Papa yakin kamu sudah bisa menentukan mana yang baik untukmu. Jangan lupa minta maaf sama Mama." Brata berdiri dari duduknya, mendekati Langit menepuk bahu laki-laki itu pelan dan berlalu dari ruangan. Meninggalkan Langit yang masih tak bergeming.

***

Langit mengendarai motor sportnya diatas rata-rata, jam masih menunjukan pukul 5:30 pagi, tapi Langit sudah keluar dari rumah sakit menuju rumahnya.

Setelah menitipkan surat untuk Rinai, Langit langsung bergegas pulang, meminta maaf pada Mamanya.

tepat pukul enam pagi Langit memasuki rumah. Ia melihat Liliana yang sudah berdiri didepan pintu rumah dengan beberapa berkas ditangan.

"Mama." Langit mendekati Liliana.

"Kenapa?" Liliana bertanya dengan mata yang masih asik menatap dokumen-dokumen didepannya.

"Langit minta maaf, Rinai butuh Langit." Langit berharap Liliana bisa mengerti perasaannya. berbeda dengan Liliana, wanita itu menarik alisnya kala mendengar nama perempuan yang asing ditelinga nya.

"Iya." Liliana kembali berjalan meninggalkan Langit yang masih diam ditempatnya.

Mobil sedan keluar dari pekarangan saat pagar otomatis terbuka. Tanpa mereka sadari dinding yang berdiri diantara keduanya semakin membuat mereka memilik jarak yang jauh.

***

"Ayo makan dulu, nanti lo sakit." Langit tetep dengan pendiriannya yang memaksa Rinai membuka mulut.

"Nggak mau, baunya emang enak. Tapi gak suka." Rinai menutup hidungnya.

"Kapan bisa sembuh kalau gini terus." Langit menyerah, ia menaruh sendok kedalam mangkuk dan menaruhnya diatas nakas.

"Rinai, gue bawa makanan kesukaan lo nih." Yuira datang dengan satu kotak roti bakar blueberry.

"Makasih Yuira." Rinai membuka kantung berisi roti bakar favoritnya.

Tritan dan Regan memasuki kamar rawat Rinai dengan tawa. Membuat ruangan ini penuh oleh tawa mereka berdua.

"Ayo, lo belum makan kan? Biarkan para perempuan ini melepas rindunya." Tritan dan Regan menarik lengan Langit. Membuat laki-laki itu mengikuti.

"Cepet sembuh." Yuira memeluk Rinai begitu erat, meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.

••••

Next chapter