1 1. MELAMAR

"Ma, aku mau melamar Aprilia." Johnson membuat Kirana, ibunya tersedak saat tengah makan bengkoang yang baru dikupasnya beberapa menit lalu.

Baru juga kenal sebulan, tiba-tiba John sudah langsung terniat saja hendak melamar. Beban moral sebenarnya yang mendasari keinginan tersebut. Usia pemuda itu, telah memasuki kepala tiga. Memiliki pekerjaan yang cukup mapan untuk berumah tangga, lalu merasa telah menemukan sosok yang pantas untuk dijadikan istri. Selain itu, ia pun berencana hendak melangsungkan pesta pernikahan di hari yang sama dengan Berlian, kakaknya, yang juga terlambat menikah.

Aprilia, wanita lembut, ayu, tutur katanya sopan, jika berbicara senantiasa menundukkan wajah. Usianya baru dua puluh dua tahun, namun, sikap yang ia miliki terlihat lebih dewasa dari teman sebayanya, seperti Haura contohnya, gadis yang mengenalkan John pada April. Hal itulah, yang membuat John semakin yakin untuk segera mempersunting gadis itu.

Sebagai Ibu, Kirana hanya ingin putra bungsunya bahagia, menikah dengan pilihan hati. Berharap kehidupan rumah tangga yang dibangun kelak, rukun dan harmonis. Aprilia akan mampu mengurus dengan baik, sebagai istri seutuhnya bagi sang anak.

Kesan pertama Kirana setelah berjumpa dengan calon menantu, beberapa waktu lalu, cukup positif sebenarnya. Sama seperti penilaian John pada gadis itu. Keyakinan yang teramat besar, bahwa Aprilia adalah gadis yang tepat untuk sang putra, kelembutan yang dimilikinya akan mampu meredam sifat temperamental Johnson.

"Jika sudah mantap, Mama nggak akan menghalangi." Kirana mengusap lembut kepala anaknya.

Tak bisa dipungkiri, ada sebersit perasaan canggung di dalam hati wanita empat puluh lima tahun tersebut. Beberapa waktu lalu, Berlian dan Frans baru saja melangsungkan acara lamaran, setelah berpacaran lebih kurang lima tahun. Dan sebentar lagi, putra bungsunya pun juga akan melakukan hal yang sama, tapi dengan wanita yang sama sekali belum ia kenali betul latar belakangnya.

Kedua buah hati dalam waktu yang berdekatan akan berlayar menaungi samudera cinta dalam biduk rumah tangga bersama pilihan masing-masing, meninggalkannya seorang diri. Kirana menggeleng, dan menepis semua pikiran itu. Tidak mungkin Berlian dan Johnson tega melakukan hal demikian, ayah anak-anak telah berpulang empat tahun lalu. Mereka pasti akan memikirkan dirinya. Akan ada yang tetap tinggal di rumah ini.

"Aku yakin, Ma. April, sosok yang terbaik untukku, dan akan menjadi menantu kesayangan Mama. Lihatlah betapa sempurnanya dia, sesuai dengan semua karakter yang aku inginkan." John tersenyum sembari mengecup kening ibunya. Lalu bangkit, hendak mengunjungi kekasihnya dan menyatakan niat suci di dalam hati pada kedua orang tua April.

"Mo kemana loe, John?" Berlian menghadang di pintu, ia baru saja pulang kerja.

John mendengus dan menyingkirkan kepala kakaknya, membuat gadis yang lebih tua satu tahun darinya itu mendesis sebal.

"Sompret! nggak sopan banget loe sama gue!" Berli melempar sepatu kerja yang baru ia lepas ke arah John, beruntung adiknya itu berhasil menghindar dan segera masuk ke dalam mobilnya.

"Hei hei, Berli. Udah, jangan kayak anak kecil!" Kirana memanggil anak sulungnya itu.

Berlian masuk sambil merungut.

"Dia itu nggak ada sopan-sopannya sama aku, Ma." Berli melipat kedua tangan di dada, sambil menghempaskan tubuh ke sandaran sofa.

Diliriknya jam tangan, pukul lima sore. Sebentar lagi, Frans akan datang menjemput.

"Ma, aku ada janji mau lihat gaun yang mau dipake pas nikahan sama Frans."

Berli bergegas bangkit dan menuju ke kamar.

Perasaan bercampur aduk itu kembali merayapi relung hati. Ingin sekali rasanya, tidak membiarkan Berlian dan Johnson menikah dan dimiliki oleh orang lain. Hanya dia yang berhak, susah payah ia membesarkan kedua buah hati, lalu setelah besar, mereka tak lagi ia miliki seutuhnya.

Egois memang, jika hal demikian tetap ia pelihara di dalam hati. Tidak boleh, kelak para menantunya juga akan menjadi anak secara otomatis. Berbeda dengan Frans yang sudah saling mengetahui kedua belah keluarga masing-masing, Aprilia justru belum ia tahu betul bagaimana seluk beluk serta asal usulnya. Namun, Kirana hanya bisa berserah diri pada keputusan yang sudah diambil John.

***

John melangkah dan menginjakkan kaki di teras rumah April, yang berjarak cukup jauh dari tetangga. Agak tersuruk ke dalam, harus melewati jalan yang ditumbuhi rumput liar, namun bisa dilalui mobil, lalu sekitar rumah dikelilingi pepohonan, tampak seperti hutan. Aprilia, gadis kampung yang berhasil memikat sang pemuda kota.

"Assalamualaikum," ucap John di depan pintu.

Seraya dengan itu, kumandang adzan sayup-sayup terdengar. Maghrib.

"Waalaikumsalam," April membuka pintu rumah, wajahnya cerah merekah mendapati pemuda tampan yang akan melamarnya di depan pintu, menatap penuh cinta.

April menggapai jemari John, dan menggiringnya masuk ke dalam rumah. Di kursi tamu ternyata sudah duduk Ibu dan Ayah gadis itu.

Pria bersungut tebal dan sering memakai topi mempersilahkan John duduk, sementara wanita yang berkerudung lebar di sebelahnya, tersenyum pada pemuda yang berhasil terpikat oleh putrinya. Mirip sekali April dengan sang ibu, bagai pinang dibelah dua. Gadis yang hendak dilamar segera menuju dapur dan membuatkan minum untuk calon suami. Dia kala itu memakai rok selutut dan baju kaos ngepas, mempelihatkan lekuk tubuhnya yang sungguh tidaklah ideal untuk ukuran anak gadis seusianya. Melar dan terkesan lembek. Wajahnya saja yang manis. Namun, lepas dari semua itu, John menyukai fisik wanita tambun begitu.

Selera John memang berbeda dengan kebanyakan pemuda, yang menyukai perempuan dengan tubuh tinggi serta langsing. Kekasihnya cukup tinggi, bisa mengimbangi ukuran tubuh seratus tujuh puluh lima centimeter miliknya, hanya saja, April gemuk, banyak lemak membandel yang berada di titik-titik tertentu tubuhnya. Kembali ke selera tadi, John menyukainya, dia tidak mempermasalahkan. Lalu, kenapa kita yang meributkan?

"Apa hal yang membawa Nak John datang ke sini, menemui Bapak?" tanya Danil penuh wibawa. Membuka percakapan dengan tamu yang sejak tadi ditunggu.

John menatap gadis yang kini duduk di sebelahnya, gadis itu tersenyum penuh pesona. Sorot matanya memancarkan cinta yang tak biasa, berkobar bagaikan api unggun.

"Saya mencintai April, dan ingin menjadikannya istri saya, Pak!"

Pemuda itu menjawab sesaat setelah ia puas menatap wajah manis April. Tanpa ragu, seolah Danil pasti akan setuju saja anaknya dinikahi oleh pemuda itu.

"April masih sangat muda, dia juga sedang kuliah." Danil tampak sedikit ragu dengan penyataan John.

"Tidak masalah, Pak. Setelah menikah, seluruh biayanya, saya yang akan menanggung." John malah semakin mantap dengan keinginannya.

Tangan mereka saling berpagut, seolah tidak lagi ada rasa segan melakukannya di hadapan kedua orang tua gadis itu. Seruni, ibu April tampak kagum melihat keberanian John datang untuk melamar anak pertamanya. Selama ini, dan yang tidak diketahui siapa pun, April dan Steve, mantan kekasihnya telah jauh melangkah, mengelabui orang-orang sekitar. Namun, tak pernah datang secara gentleman begini, untuk melamar April.

"Pak, Maghrib dulu." Seruni menepuk lembut lengan suaminya, yang sedang memperhatikan gelagat dua muda mudi tengah di mabuk asmara di hadapannya.

Danil dan Seruni lalu bangkit menuju kamar dan meninggalkan John serta April di ruang tamu.

Senja itu, kedua adik April pun belum pulang ke rumah, mereka pergi ke rumah nenek yang tak jauh dari sana.

"Abang sholat?" tanya April sambil terus menggenggam jemari John erat.

John hanya tersenyum, pemuda itu bahkan sering lupa akan kewajibannya pada Sang Khalik. Ternyata, tak jauh beda pa dengan gadis di sebelah. Sama saja ternyata.

April seperti tersengat aliran listrik yang membuatnya gelisah tak menentu. Ia bangkit dan menarik John untuk masuk ke dalam kamar.

"Hei, nggak enak sama Ayah dan Ibu!" ujar John sesaat sebelum April mengunci pintu kamarnya.

John memperhatikan kondisi di dalam ruangan tiga kali tiga itu. Kamar yang cukup sempit. Ia juga tak sengaja melihat arah ke jendela, tak ada jeruji besi yang menghalangi.

"Itu, jendela nggak ada jeruji apa aman? kamu nggak takut..."

Belum lagi selesai ia bicara, April lebih dulu menguasai rongga mulutnya.

John terkejut, agresif sekali gadis ini ternyata. Sesaat John mengikuti permainannya, hingga ia kembali berhasil menguasai diri, pemuda itu tidak ingin kebablasan.

"Aku nggak enak sama orang tuamu, ayo kita keluar!" John merapikan rambut dan pakaiannya yang sedikit acak-acakkan karena ulah si gadis hiper.

"Sebentar lagi aja, aku kangen banget sama kamu!" ucap gadis berwajah manis sambil merengut manja dan menarik-narik tangan John agar kembali melakukan hal yang tadi bersamanya di atas ranjang.

John hampir lepas kendali saat melihat posisi duduk April yang begitu menggoda dengan kondisi rok yang sudah terangkat hingga paha dan memperlihatkan dalemannya yang berwarna gelap. Beruntung pemuda itu masih bisa menahan.

***

Malam semakin larut, John masih terbayang-bayang perbuatan April saat di rumahnya tadi. Jika saja, ia tak punya sedikit iman pun untuk menahan hawa nafsu, mungkin mereka sudah melakukan sesuatu yang diluar batas.

John hanya tidak tahu, bahwa gadis yang menurutnya sangat masuk kriteria untuk dijadikan istri, bahkan lebih ahli dari yang ia bayangkan.

Sempat berpikir ulang, antara melanjutkan niatnya atau tidak.

John bukan pemuda lugu, dia tahu betul karakteristik tiap wanita. Bukan sedikit gadis yang pernah ia kencani. Namun, jika untuk dijadikan istri, siapapun laki-lakinya, tentu menginginkan ibu terbaik untuk anak-anaknya kelak. Siapa sangka, setelah ketiga kali datang ke rumah gadis pujaan, bahkan dengan misi khusus, melamar, dia justru dikejutkan dengan sikap tak senonoh yang seharusnya tak perlu diperlihatkan April secepat ini.

Lamunan Johnson terbuyarkan oleh panggilan masuk dari April. Wanita itu masih menyempatkan menelponnya selarut ini.

"Kenapa belum tidur?" tanya John agak ketus.

"Aku kepikiran kamu, soal yang tadi. Maaf!" gadis di seberang seolah tahu apa yang sampai selarut ini masih menggelanyut dipikiran Johnson.

"Aku jadi ragu sama kamu!" spontan saja, John mengeluarkan kata-kata intimidasi begitu.

April terbelalak, ia seperti tidak ingin jika pernikahan antara dirinya dan Johnson batal berlangsung. Demi bisa bersama pemuda kota itu, ia rela memutuskan Steve, yang telah berpacaran tujuh tahun dengannya.

"Tolong, Bang. Aku tadi cuma kangen aja sama kamu." April terdengar terisak, suaranya memarau.

"Aku butuh waktu, berpikir."

"Tapi, orang tuaku sudah menerima lamaranmu. Kita hanya tinggal membuat acara resmi, setelah itu kita akan menikah, aku setujui keingananmu agar dalam tiga bulan ke depan acara pernikahan kita bisa dilangsungkan." April berusaha membujuk lelaki pujaannya.

"Aku ingin berpikir dulu, kubilang, aku ragu sama kamu, April!" Nada suara John sedikit meninggi.

"Kamu nggak bisa gitu, keluarga besar aku bahkan sudah tahu kamu datang melamar, tadi!" Rengek April tak mau mundur.

"Gila ya! kamu jangan bohong sama aku, Pril!"

Jelas, John tak mudah percaya dengan kata-kata kurang masuk akal begitu. Saat berpamitan tadi pun, ia belum mendengar langsung jawaban dari orang tua gadis itu, menerima atau tidak. Dan sekarang, mudah-mudahnya April bilang, bahkan keluarga besarnya sudah tahu kedatangan Johnson tadi.

"Aku nggak bohong sayang, aku janji bakal jaga sikap sama kamu, aku nurut sama semua yang kamu bilang. Janji."

Johnson tak menggubris, dia tetap bersikukuh untuk memikirkan lagi semuanya, sebelum terlambat dan menjadi penyesalan.

Lusa ia harus kembali ke Ambon, cutinya habis. Kepulangan berikutnya, saat acara pernikahan Berlian, jika jadi, sekaligus akan menjadi acara pernikahannya juga.

***

avataravatar
Next chapter