2 Mari mulai dengan kesepakatan!

Anastasya Shina

Wajahnya tak terlalu cantik, tubuhnya tak seksi, dan sifatnya berbeda dari wanita lain pada umumnya. Wanita yang jauh dari kata ideal bagi laki-laki kebanyakan, yang special darinya mungkin hanya senyum dan ketulusannya pada hal yang ia cintai.

Melangkah menuju kantin wajah shina terlihat ceria seperti biasanya, wajah yang selalu tersenyum seperti burung yang sudah lepas dari sangkar yang mengurungnya.

Sesampainya di kantin tepat di setiap kios yang ada di kantin itu ia memesan satu persatu makanan yang ada dikios yang terjejer rapi di kantin, dari tukang baso,nasi goreng,somay,pecel,bubur ayam,dan mie ayam hampir ia beli semua, tapi sadar setelah melihat dompetnya menipis ia pun hanya memesan separuh dari makanan yang dijual dikantin itu.

"Ini dek." Seorang pedagang yang mengantarkan beberapa makanan yang dipesan Shina dan menaruhnya tepat di meja yang ia tempati sendiri.

"Ma-makasih buk." Dengan mulut yang mulai mengeces ia makan perlahan sehuap demi sesuap dari sendoknya, dari pecel,mie ayam,hingga somay, ia makan dengan lahap tak peduli banyak yang menatapnya dengan aneh karena rakus memakan makanan dengan kalori tinggi sendirian. Ia hanya makan, bayar, dan langsung kembali ke kelas dengan wajah kenyang bahagia.

"Teng... teng... teng.... teng..." Suara bel istirahat Terakhir berbunyi pada saat perjalanan shina menuju kelas sembari memegangi perut yang kekenyangan ia perlahan membuka pintu kelas yang tertutup dan langsung duduk di meja paling kanan dekat jendela barisan kedua. Tak pikir panjang ia langsung merebahkan tubuhnya kemeja dengan nafas tersengal-sengal ia mengelus-elus perutnya yang sudah membuncit.

"Haduh!, udah kaya ibu hamil aja nih Shina." seorang perempuan yang duduk di sampingnya, yaitu Rala perempuan culun berkacamata min enam yang dari tadi membaca buku setebal kamus di tangan.

"Hehehe, nanti juga kempes kok."

"Awas nanti gendut!, udah abis berapa piring kali ini?"

"3 kayaknya deh, aku gak inget soalnya." Shina yang mulai kembali rebahan kemeja.

"Parah-parah!, bisa-bisa gendut kamu kalo gini setiap hari." Rala yang memerhatikan shina yang matanya mulai ngantuk karena kekenyangan.

"Apa? aku gendut percaya deh itu cuma mitos, dengan penyakit yang aku punya, aku gak mungkin gendut." terangnya dengan mata yang sudah menutup.

"Maaf, selamat tidur putri kecil."

Tak beberapa menit berselang dibalik pintu langsung datang guru pengajar yang sudah membawa tumpukan buku paket ditangannya.

"Braak!" suara tumpukan buku paket yang dihempaskan ke meja membuat kaget seluruh murid termasuk shina yang langsung bangun dari tidurnya.

"Ketua kelas!, tolong bagikan buku paket ini." pak Aji dengan kumis tebal menempel di bawah hidungnya.

"Si-siap pak!" Dengan wajah ngantuk Shina langsung membagikan buku ke sekeliling kelas sampai ke tempat duduk Adi di pojok kanan dekat jendela tepat di barisan paling belakang ia duduk.

"Kenapa ngantuk ya?" Adi yang berusaha menahan tawanya.

"Berisik!" Shina yang langsung melemparkan buku paket tepat dimuka Adi membuat adi ditertawakan hampir sekelas.

"Hahahahaha." tawa Shina puas dengan wajah bahagia ia perlahan melangkah kembali ke tempat duduknya.

"sudah-sudah, fokus ayo kita lanjutkan pelajaran." Pak Aji yang berusaha menenangkan kelas yang ramai tawa itu dengan mukanya yang seram.

Jam-jam penuh pelajaran berlalu diakhiri dengan bell pulang sekolah yang terdengar sampai penjuru sekolah. Sama halnya kelas 11 B yang para muridnya langsung sigap keluar kelas, selang beberapa menit kelas itu langsung sepi oleh empat ingsan yang ada disana, Shina dengan Rala disampingnya dan Adi dengan Fahmi disisinya.

"Pulang yuk!" Ajak Rala pada Shina dengan menarik-narik tanganya, yang tubuhnya masih menempel di meja.

"Gak mauuu!, masih ada tugas dari pak Gunawan." ucap Shina yang perlahan duduk dari rebahanya.

"Tugas apa?, aku bantu deh."

"Bersihin atap sama anak yang ada dibelakang tuh." Shina menunjuk Adi yang tidur dengan wajah menghadap ke bawah dan tepat disamping nya Fahmi sedang mencoba membangunkan Adi yang tengah tertidur pulas.

"Adi, kita pulang yuk ente mau ngapain sih disini terus?"

"Ma-masih ada tugas, lo duluan aja deh!" Adi yang perlahan bangun dari rebahannya di meja.

"Tugas apa? tugas tidur kali!"

"Sama masih ngantuk nih, hoaaaam."

"Oyy!, suruh siapa merhatiin biji semangka sampe pagi? Kan jadi ngantuk."

"Itu untuk pengetahuan! Kau pasti cuman mau makan kan? kalau begitu gendong aku sampe rumah."

"He he, itu kau tau. yaudah sini aku gendong."

"Heyy, maksudku gendong seperti biasa." Adi yang kaget karena tiba tiba digendong dengan cara yang berbeda.

"Udah, lanjut tidur aja, nanti pas udah sampe ane bangunin."

"Heyy!! Adi kau mau kemana?" Shina yang langsung berlari mengejar Fahmi yang menggendong Adi hampir keluar pintu.

"Aku di bawa kabur." Adi sembari melambaikan tangan.

"Jangan kabur!!" Shina yang langsung berlari mengejar Fahmi yang kini berlari di lorong mempercepat langkahnya.

"Shina tunggu!" Rala yang melihat Shina yang tiba-tiba berlari membuat nya ikut berlari.

walaupun menggendong Adi, Fahmi tetap kuat berlari seperti biasa, laki-laki ketua klub olah raga ini punya banyak julukan salah satunya ialah "Fahmi Speed"

"Cepat dia mulai membalap kita."

"I-iya siap, demi makanan, eh maksudnya teman. Tapi kenapa ketua kelas mengejar kita?"

"Dia mengejarku bukan mengejarmu."

"Oyy!!, berhenti!!!" teriak Shina yang langsung menendang kaki Fahmi dari belakang yang membuatnya jatuh tersungkur ke belakang.

"Bruuk" suara tubuh Fahmi yang jatuh ke lantai langsung dibarengi Adi yang juga jatuh tepat di atas tubuhnya, membuat mereka jatuh seperti tanda plus tepat di lorong sekolah.

"Mau kemana lagi kau?, hah?" Shina dengan nafas ngos-ngosan, langsung menarik kaki adi dan menyeretnya di sepanjang lorong.

"Rala, bawa Fahmi ke UKS mungkin dia pingsan." Shina yang masih memegangi kaki Adi yang mungkin juga pingsan.

"I-iya." Rala yang juga langsung menarik kaki Fahmi dan berniat menyeretnya hingga ke UKS terlihat kesusahan berbeda dengan Shina yang hanya dengan 1 tangan sudah mampu menarik Adi dengan mudah.

Dengan arah berlawanan mereka membawa 2 laki-laki bertubuh six pack yang pingsan hanya dengan satu tendangan. Shina ke kelas, dan Rala ke UKS.

"Ayooo!, banguuun." ucap Shina yang berusaha mendudukan Adi tepat di bawah papan tulis.

"Kau gak pingsan kan? Ngaku saja mana mungkin ada orang yang langsung pingsan karna jatuh kebawah cuma 1 meter." ujar Shina yang mulai kesal dengan Adi yang pura-pura pingsan.

Selang beberapa menit terjadi keheningan, suara burung yang berkicau di samping kelas membuat Shina semakin jengkel dengan Adi.

"Oh!, jadi kau tidak mau bangun ya? baiklah. Ayo kita uji seberapa kuat dirimu menahan siksaan dariku." Shina lalu mulai menggelitik Adi, menutup hidungnya,menghajar perutnya,mencubit pipinya.

"Kuat juga ya?" ujarnya yang kelelahan sembari memperhatikan muka Adi yang diam saja sejak tadi, perlahan Shina mendekatkan wajahnya ke Adi sembari memperhatikan mukanya, sesaat berlalu muka Adi tiba-tiba berkeringat wajahnya yang mulai terlihat gugup, langsung dijadikan Shina kesempatan.

"A-a-aku cium ya?" bisik Shina ke telinga Adi dengan muka merah.

"Jangan jangan aku menyerah, aku menyerah. Jangan ambil ciuman pertamaku." Adi langsung bangun dan memohon kepada Shina dengan tanganya sembari menunduk.

"Praaak!" Shina yang kaget reflek menampar Adi, Adi pun langsung terpental kesamping.

"Si-siapa ya-yang mau menciummu?, itu cuma cara untuk membangunkanmu." ucapnya dengan muka gugup tepat dihadapan Adi yang tersungkur ke samping dengan pipi merah.

"I-iya aku benar-benar minta maaf."

"Yasudah kalau begitu ayo, ini udah sore kita sebaiknya cepat membersihkan Atap." Shina pun langsung beranjak menuju Atap didampingi Adi disampingnya.

"O-oke."

"ka-kau duluan saja, Aku mau menyalakan air di atap, saklarnya ada dibawah." shina turun menuruni tangga meninggalkan Adi tepat dihadapan Tangga untuk naik kelantai 4.

"Ya-yasudah aku duluan ya." Adi menuju atap dengan baju bagian belakangnya yang kotor karena tadi diseret Shina.

Bergegas setelah menyalakan saklar air yang ada di lantai satu, Shina langsung bergegas kekelas dengan maksud baik yaitu mengambilkan tas Adi, supaya pas pulang tak perlu kembali kekelas lagi. Ia masuk dan langsung mencari tas Adi disekeliling kelas tapi sayang tak menemukanya, Shina yang menyerah langsung bergegas ke atap tapi di perjalanan ia bertemu Fahmi dan Rala yang kelihatan baru keluar dari ruang UKS.

"Ma-makasih ya udah di bawa ke UKS." Senyumnya

"Gak apa-apa kok, maaf juga tadi aku bawa ke UKS nya diseret sepanjang jalan, soalnya kamu bau keringat."

"Fahmi!" Panggil Shina tepat didepannya.

"A-ada apa ketua?"

"Kalau adi kesekolah bawa tas?"

"Setau gue sebagai sahabat baiknya, dia ga bawa tas kalo ke sekolah, dia simpan semua bukunya di kolong meja." terang Fahmi.

"Aku juga gak pernah liat dia bawa tas sih selama kesekolah." tambah Rala menyusul perkataan Fahmi.

"Oh jadi begitu." Shina yang kesal dan langsung berjalan meninggalkna mereka berdua.

"Tapi dia gak bawa tas pasti punya alasan kan?" Ucap Fahmi lantang dibelakang Shina.

Sementara itu Adi langsung naik ke atap sekolah tepat saat ia membuka pintu terlihat suasana atap yang penuh dengan sampah, meja dan kursi yang berserakan di pinggir atap, belum lagi tanaman kering di pot yang ditanam di atap, dan juga lantai yang kotor dipenuhi dengan tanah.

"Wah, kapan selesainya kalau begini." ujarnya yang mulai mengambil sampah-sampah yang berserakan dengan kantong plastik di tangannya dalam beberapa menit ia sudah hampir membersihkan semua sampah yang berserakan, kantong-kantong plastik yang menampung sampah langsung ia pisahkan kesamping daerah yang sudah bersih.

"Adi!." Shina yang muncul di belakang Adi.

"Ke-kenapa?" Adi yang kaget langsung melirik kebelakang.

"Apa benar kau selalu gak bawa tas ke sekolah?."

"So-soal itu aku bisa jelaskan, tapi nanti setelah kita membersihkan atap gimana." Sembari memasukan tanaman kering dalam pot ke karung goni.

"Kenapa? Kau mau ngeles ya? kan itu sudah ada peraturan bahwa kesekolah wajib bawa tas?" Shina marah lalu mencengkram baju Adi.

"I-iya, aku jelaskan, aku belum punya uang untuk beli tas, keuangan keluargaku sedang buruk, jadi aku minta izin ke pak gunawan untuk ga bawa tas ke sekolah. ka-kalo gak percaya tanya ke pak gunawan." Adi yang keliatanya sudah siap untuk dipukul.

"Oh, begitu. Ma-maaf." Sesaat Shina langsung malu lalu melepas cengkraman tanganya dari Adi.

"Tak apa"

"Se-sebaiknya kita cepat membersihkan atap, keburu gelap." Shina yang berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Benar juga, kalau begitu bisa lanjutkan pekerjaan ku yang disini? biar aku yang mindahin meja dan kursi ke gudang." ujar Adi.

"So-soal angkat mengangkat biar aku saja, kau lanjutkan saja membersihkan tanaman kering, oke?" Shina lalu mengangkat bangku dengan satu tangan.

"Ka-kau kuat juga ya, kalau begitu hati-hati."

"Si-siap." Shina lalu membawa meja dan kursi ke gudang yang jaraknya tak jauh, tepat di atap ada gudang kosong yang memang biasanya dipakai untuk menyimpan kursi dan meja yang tak terpakai, meja-meja yang berserakan di atap dulunya bekas alumni sekolah ini yang terkenal kenakalannya karena ada seorang murid anak pejabat daerah ini.

"Tinggal siram lantainya aja." Adi lalu mengambil selang dan menyalakan keran untuk membersihkan lantai dengan tanah yang sudah mengeras karena ulah anak club prakarya yang membuat kerajinan diatap dengan tanah liat dan tak membersihkannya kembali membuat lantai diatap itu dipenuhi tanah yang mengeras.

"Oy, Adi! sudah?" Shina yang tiba-tiba muncul dari pintu membuat Adi kaget dan tak sengaja menyiramnya dengan air di selang yang dipegang nya.

"Aaaaaa, hei!! kau sengaja kan?!!" Seluruh tubuhnya basah oleh siraman Adi. Shina yang kesal lalu merebut selang dari Adi dan membalas siramannya dua kali lipa

"Ma-maaf beneran gak sengaja. Basah woyy!, udah dong." ucap Adi yang kesal karena disiram air oleh Shina secara terus menerus.

Mendadak atap menjadi taman air bagi mereka berdua sampai baju mereka berdua basah.

Sampai tersisa dua kursi dan meja dan atap yang sudah separuh bersih, Adi dan Shina pun langsung duduk bersandar menepi di sisi pagar atap berdampingan.

"Capek!" keluh Adi lalu mengusap keringat di keningnya.

"Oh, iya sebentar." Shina lalu mengambil tas yang ada di meja dan mengambil kantong plastik berwarna putih dengan 2 buah botol air mineral berbeda merk didalamnya.

"Ini." Shina lalu menyodorkan salah satu dari air mineral itu kepada Adi.

"Tunggu Shina, kita cek dulu tanggal kadaluarsa dan kemasannya." Adi yang tiba-tiba merebut botol yang hendak diminum hina lalu memperhatikan kedua botol di tangan.

"Me-memang nya kenapa?"

"Karena aku pernah keracunan air mineral."

"Bu-bukanya air mineral gak ada tanggal kadaluarsa nya?"

"Tentu saja ada, nih" Adi pun memperlihatkan tanggal kadaluarsa yang tertera di botol.

"Oh, ada, tinggal 9 bulan lagi."

"Ada kan."

"Kalau yang itu tinggal berapa lama lagi?"

"Tinggal 1 minggu lagi."

"Bu-bukanya tadi itu botol air mineralku kan? kenapa dituker."

"Gak apa-apa, lebih menantang aja, hehehe."

"Ma-makasih." Shina membelakangi Adi dengan tas besar yang ia gendong.

"Apa?"

"Gak-gak bukan apa-apa kok."

Saat mereka saling tatap dan membuat saling malu lalu terjadi keheningan sesaat.

"Braaak." tanpa aba-aba pagar tempat Adi bersandar langsung jatuh ke bawah bersamaan dengan Adi yang ikut jatuh kebelakang.

"Eh."

Saat Adi jatuh kebelakang, Shina langsung memegang kaki Adi lalu menahannya diujung pembatas dinding.

"Adiiiii!"

"PRANG!!!" suara pagar yang jatuh dari atap gedung sekolah berlantai 6 ini.

"To-tolong"

"Lihat aku jangan lihat kebawah." ucapnya dengan kedua tangan kecil yang memegangi kedua kaki Adi Adi dengan kuat.

"Ba-baik." ucap Adi yang kini terus menatap Shina.

"Apa kau biasa, melalukan sit up? Sekarang lakukan sekuat tenaga lalu aku kan menarik kakimu." Shina sudah terlihat kelelahan dengan tubuh kecilnya yang terus menggenggam kaki Adi sekuat tenaga.

"I-iya." perlahan Adi melakukan apa yang diperintahkan Shina, dengan sekuat tenaga Adi mengangkat tubuhnya.

"Hiaaaaah!" teriak shina yang langsung menarik Adi saat tubuhnya sudah hampir sampai diatas.

"Bruuk." suara tubuh Adi dan Shina yang jatuh ke lantai saling tindih satu sama lain mereka tak sadar bibir mereka bersentuhan satu sama lain atau dengan kata lain mereka berciuman secara tak sengaja.

Saat mendarat di lantai muka mereka langsung memerah dengan keadaan bibir yang masih saling menempel, Shina langsung menendang Adi sekeras kerasnya ke samping, otomatis Adi langsung terpental ke samping.

"Ma-maaf." Adi yang langsung bersujud setelah ditendang Shina berusaha meminta maaf setelah kejadian yang barusan terjadi.

"Kau-kau sengaja kan? mencuri ciuman pertamaku." Shina menjauhi Adi secara perlahan dengan menutup mulutnya yang pertama kali dicium oleh seorang laki-laki.

"Ma-maaf aku gak sengaja, dan juga terima kasih telah menolongku." ucap Adi yang perlahan bangun dari jatuhnya.

"Sa-sama -sama. Ta-tapi kenapa harus kau yang menjadi ciuman pertamaku." Dengan muka sedih sembari mengusap air mata yang muncul di pelupuk matanya.

"Sepertinya ini yang kedua kalinya aku membuat wanita menangis, sekali lagi maaf."

"Yasudah lah itu juga gak sengaja." Shina lalu berdiri dan langsung ceria tanpa kesedihan lagi.

"Iya juga, tapi untuk yang tadi aku sangat berterima kasih, jika tidak ada kau mungkin aku sudah dirumah sakit dengan tulang yang sudah patah." Terimakasih Adi dengan senyumnya pada Shina.

"Sama-sama, ta-tapi aku boleh tanya sesuatu?"

"Ta-tanya apa?"

"Tentang orang yang kau sukai? di-dia siapa?"

"Haaa! Mana mungkin Aku beritahu…."

"Ini balasan setelah kau menciumku tadi."

"Baik…."

Adi yang sesaat diam lalu menjawab.

"Di-dia ketua Osis tahun ini, ka-kau tau kan? Na-namanya Tisi." Adi gugup dengan muka yang tak berani menatap langsung Shina.

"Ja-jadi yang kau suka itu ketua OSIS? Hahahaha…. Sudah-sudah itu gak mungkin walaupun dengan wajahmu yang menurutku lumayan, seseorang wanita ideal seperti dia gak mungkin mencintaimu, hahahaha….." Shina tertawa terbahak-bahak setelah mendengar perkataan Adi.

"Me-memangnya kenapa gak apa-apa kan kalau sekedar berharap. Terus kalau kau siapa?"

"A-aku, kalau aku, ka-kau tau kak Rhapsody?"

"Rhapsody? oh maksudmu Rhapsody dari club music. Hahahaha… Gak mungkin-gak mungkin cewek Tomboy sepertimu dengan orang jenius seperti dia? membayangkan nya saja sangat aneh, hahahahah…." Adi yang juga tertawa terbahak-bahak membuat Shina kesal, dengan wajah kesal Shina berjalan mendekati Adi kembali dan langsung membantingnya ke lantai.

"Brak!!" suara jatuhnya Adi kebawah dengan keras.

"Me-memangnya kenapa? Aku juga boleh berharap kan? Berharap seseorang sempurna seperti dia bisa bersamaku." Shina yang kini wajahnya termenung menghadap kebawah.

"Ya benar gak apa-apa kok, tapi aku lebih suka bermimpi dan berharap mimpi itu jadi kenyataan. Tapi gak usah acara banting-bantingan juga kan!" Seraya mengusap punggungnya yang dibanting Shina, Adi bangun melihat kearah Shina yang masih kelihatan sedih.

"A-aku minta maaf sekali lagi kalau membuatmu sedih."

"Gak apa-apa, sudah sore sebaiknya aku pulang."

"Tu-tunggu terus bagaimana kita menjelaskan soal ini pada guru?"

"I-iya juga ya." ucap shina yang langsung berpikir apa yang akan terjadi selanjutnya.

Belum 30 detik berlalu ada yang tiba-tiba masuk ke atap yang tak lain adalah pak Asep satpam sekolah ini, dengan kepala botak lancip dan tubuhnya yang kurus ia kaget dengan pagar pembatas yang sudah hilang dari tempatnya.

"Duh! gusti nu agung, kalian semua gak apa-apa?, terus ini bisa jatuh gimana ceritanya." tanya pak Asep yang kebingungan dengan keadaan yang ada disini.

"Ja-jadi gini pak." Adi dan Shina pun langsung menjelaskan semua yang terjadi secara berurutan kecuali kejadian tentang ciuman pertama mereka. Selang sekitar 10 menit akhirnya penjelasan itu selesai dengan pak Asep yang sudah mulai memahami kejadian di atap sekolah yang dijaganya ini.

"Oh, begitu. Ya Sudah kalian langsung pulang saja, biar pak Asep yang urus ini terus 1 hari kedepan gak usah bersihkan atap dulu bapak mau benerin dulu pagar Atap nya, nanti bapak yang konfirmasi sama pak gunawan tentang ini, sekolah ini memang sudah tua, bapak juga pernah sekolah disini, ya jadi maklum saja kalau sudah banyak properti sekolah yang rusak." Terang pak Asep sembari memegangi dagunya.

"Kalau begitu kita permisi pulang dulu pak." ucap Adi dan Shina yang lalu memberi salam dan turun kelantai bawah menuruni tangga sekolah dengan bangunan bertingkat 6 lantai ini.

Suasana sekolah yang sudah sepi dengan jarum jam yang sudah menunjukan pukul 16:12 atau jam 4 Sore. Tepat didepan gerbang saat mereka berdua akan berpisah.

"A-aku lewat sini, duluan."

"Tu-tunggu, sebagai tanda terima kasih dan minta maaf, kau boleh meminta bantuanku apa pun itu." Adi serius kepada Shina yang langsung berhenti setelah mendengar perkataan Adi.

"Ba-bantuan? Ka-kalau begitu---" Kata-kata Shina yang langsung dipotong dengan suara perutnya yang nyaring sampai ke telinga Adi.

"Kau mau makan dirumahku? A-ada sisa makan siang kalau dihangatkan lagi enak kok, dan juga bajumu basah, kalau kau mau biar aku yang cuci."

"Ba-baiklah jika kau memaksa, tapi soal baju aku gak bawa baju ganti."

"Soal baju ganti kau bawa baju olahraga kan?"

"Oh.. Iya aku hampir lupa, tapi rumahmu dimana?"

"Dekat kok, diatas bukit di belakang sekolah, 6 menit juga sampai." Adi lalu menunjuk bukit besar di belakang sekolahnya.

"Di-di bukit? bukanya bukit belakang sekolah banyak hantu?"

"Jam segini belum ada lagi pula aku yang tinggal di sana juga belum pernah liat."

"Ka-kau yakin, soalnya banyak rumor beredar tentang bukit itu." Shina terlihat ketakutan.

"Gak ada, percayalah. Ini udah sore ayo berangkat sebelum gelap." ujar Adi yang meyakinkan Shina secara perlahan.

"Ta-tapi--" lagi-lagi suara perut Shina yang memotong ucapanya.

"Kenapa?" Adi sembari menahan tawanya.

"Ja-jangan tertawa! aku gak kuat lagi, ayo!" Shina lalu berjalan mendahului Adi yang masih menahan tawanya.

"Ba-baik." ucap Adi yang mengikuti langkah shina di belakang nya.

Tepat di jalan setapak di depan bukit yang kelihatan dari depan, Shina yang tiba-tiba berhenti membuat Adi heran.

"Kau kenapa?"

"Adi!"

"A-ada apa?"

"Kau pasti ketakutan kan? Kalau begitu pegang tanganku."

"Gak juga sih, tapi bukanya ini terbalik?"

"Su-sudah ayo cepat." Shina lalu menggenggam tangan Adi.

"O-oke." Adi yang pasrah lalu mengikuti apa yang dikatakan Shina.

"A-apa itu." Shina kaget setelah melihat gerakan aneh dipohon.

"Itu burung." Adi menimpuk nya dengan batu membuat burung itu terbang.

"Bu-burung ya, kalau begitu ayo lanjut." Shina dengan muka waspada yang melihat ke segala arah.

Dipertengahan jalan Adi yang tiba-tiba langsung belok setelah melihat sesuatu tanpa disadari oleh Shina membuatnya kaget tak terbayangkan,walau suasana di bukit itu tidak terlalu seram dengan cahaya matahari yang masih menyelingi tiap celah cahaya yang masih bisa dilewatinya membuat bukit itu tidak terlalu gelap.

"Adi? Kau dimana? Jangan bercanda, cepat keluar!" Shina yang ketakutan mulai panik.

"Oyyy! Aku disini." Adi yang melambaikan tangan di dekat pohon sejauh beberapa langkah dari jalan setapak di tempat Shina.

"Se-sedang apa kau?" Shina yang ketakutan langsung berlari ke tempat Adi yang sedang mengambil sesuatu.

"Lihat ini." Adi memperlihatkan sesuatu yang ditemukannya.

"Apa itu?"

"Ini jamur kau tidak tahu?" terang Adi sembari memberikan jamur yang sudah diambilnya ke tangan shina.

"Jangan-jangan ini jamur beracun?" ujar Shina sembari memperhatikan jamur yang dipegangnya.

"Tenang ini bisa dimakan, aku mau ambil semuanya dulu kalau mau duluan silahkan."

"Tidak, aku tunggu siapa tau kau ketakutan bila ditinggal sendirian."

"Ayo."

"Kalau begitu pegang tanganku lagi, kau takut kan?"

"Ini sudah dekat kok, lihat ujung jalan, terang kan."

"Oh iya benar, aku duluan ya." berlari meninggalkan Adi, Shina dengan tas besar yang selalu ia gendong berlari ke jalan terang di bukit itu.

"Shina tunggu!" Adi mengejar Shina perlahan.

Setelah keluar dari jalan yang ia lalui tadi terlihat hamparan ladang pertanian yang luas dan ditumbuhi banyak sayuran,umbi-umbian,buah-buahan,padi,dan banyak lagi, memang jalan menuju bukit itu gelap tak terlalu banyak orang yang tau ada ladang pertanian yang lumayan luas tepat di bukit itu. Shina yang terpesona perlahan melangkah di jalan setapak yang sisinya adalah ladang tempat ditumbuhinya sayuran.

"Wahh! luas juga bukit ini, ladang ini punyamu Di?"

"Bisa dibilang begitu."

"Hahaha kalo becanda gak usah lebay deh, bohong kan?"

"Beneran, secara teknis ini milik keluargaku, tapi aku yang mengurusnya." terang Adi di jalan berumput hijau di tengah ladang itu.

"Ja-jadi kau juragan tanah ini?"

"Ya sementara bisa dibilang begitu."

"Oh gitu, tunggu secarakan kau yang punya tanah ini berarti uangmu itu lumayan kan?, tapi kenapa beli tas aja gak bisa?"

"Itu panjang jika diceritakan, lagi pula belum panen jadi dana belum masuk."

"Benar juga ya, tapi ya sudahlah, terus rumahmu dimana?" Shina yang melihat ke sekitar yang tak ada satupun rumah.

"Naik ke atas lagi, lihat disini juga sudah kelihatan atap nya." Adi yang menunjuk siluet rumah yang tertutup pohon dan yang terlihat hanya atapnya.

"Oh, benar. Pegang ini sebentar." Shina menyerahkan tas besarnya pada Adi dan langsung berlari menuju rumah itu.

"Shina hati-hati disana jalannya sedikit licin."

"Ap--" sebelum mendengar apa yang dikatakan Adi, Shina langsung terjatuh ke pinggir sawah dengan posisi terlentang.

"Byurrr" suara Shina yang terjatuh ke lumpur tepat dimana tanaman padi itu ditanam secara tersusun.

"Shina! kau tidak apa-apa." Adi dari kejauhan yang melihat Shina terjatuh ke sawah.

"Bajuku-bajuku penuh dengan lumpur, si-siall."

"Ti-tidak padinya rusak. Oh, ada yang jatuh."

"Oyy! tolong aku." Shina dengan muka yang keliatan kesal berusaha keluar dari lumpur yang menjebak nya.

"Iya-iya, pegang tanganku nanti biar langsung aku tarik." Adi yang langsung mengulurkan pada shina.

"Sepatuku jadi kotor, si-sial jalan ini licin sekali." gerutu Shina yang melihat sepatunya dipenuhi dengan lumpur.

"Udah nanti biar aku yang cuci."

"Te-terimakasih kalau begitu." ucap shina lalu melanjutkan langkahnya.

Setelah berhasil bangun Adi dan Shina melanjutkan langkah mereka menuju ke rumah Adi.

"Tu-tunggu kok ada dua jalan? Kita kemana?" tanya Shina setelah melihat dua jalan di hadapan mereka.

"Kekiri."

"Terus yang kekanan kemana?" tanya shina yang semakin penasaran dengan bukit itu.

"Itu tempat kemah yang aku buka. Walaupun cuma satu orang yang kesana sih, hehe."

"Cuma 1 orang? siapa?" Shina yang penasaran memutuskan memilih jalan kekiri.

"Shakira, dia juga sekolah disini, biasanya seminggu sekali kemah disini." Adi yang mengikuti langkah Shina dibelakangnya.

"Oh, aku gak kenal sih, tapi kayaknya dia orang yang sering naik gunung kan?"

"Kayaknya."

Tak jauh dari persimpangan yang tadi, tempat kemah itu jalanya sedikit menanjak ke atas. Setelah sampai,terhampar padang rumput yang hampir seperti lapangan, dataranya sedikit menurun ke bawah dengan pemandangan yang langsung menghadap daerah perkotaan yang tampak lumayan jauh dari sini.

"Wahh! luas juga ya, apalagi pemandangannya." Shina baru tiba setelah mendaki jalan yang cukup menanjak.

"Iya kan, tapi tempat ini belum resmi aku buka."

"Kenapa? padahal tempat ini pasti rame menurutku." Shina kemudian berjalan kesamping setelah mengetahui ada jalan lain disampingnya.

"Banyak kenangan disini, gak rela aja kalau dibuka."

"Padahal kalau dibuka kau bisa buat kenangan baru kan?" Shina masih melangkah melihat tempat kemah yang diatasnya rindang dengan pohon.

"Iya juga ya, nanti aku pikirkan lagi deh."

"Nah gitu dong!" Shina tersenyum indah kala itu.

"I-iya." Adi yang terpesona oleh senyuman Shina walaupun wajah dan rambutnya terkena lumpur setelah jatuh tadi. Setelah itu Adi sadar bahwa setiap senyuman yang ditunjukan Shina menggambarkan apa yang ia rasakan.

"Jadi tempat ini yang untuk kemah, benar-benar teduh ya untuk mendirikan tenda."

"Iya, tempat yang seperti lapangan tadi juga bisa tapi karena dataranya yang agak miring jadi aku buat tempat lagi disini." terang Adi sembari menunjukan tempat yang tadi.

"Oh begitu. Wah! disana ada tempat duduk." Shina berlari ke tempat duduk yan terbuat dari bambu dan ditempelkan ke pohon yang tumbuh di ujung bukit.

"Itu dibuat ayahku dulu, rupanya masih kokoh." Adi ikut duduk disamping Shina.

"Dingin!" badan Shina yang terkena angin membuat tubuhnya menggigil karena bajunya yang basah.

"Sebaiknya kita langsung ke rumahku, kau bisa masuk angin kan." ajak Adi yang sadar melihat tubuh Shina yang basah dan dipenuhi noda lumpur hampir diseluruh tubuhnya.

"I-iya, hachiiim!" diikuti bersin lalu merangkul tubuhnya dengan kedua tanganya dengan wajah yang kedinginan ia berjalan kembali.

"Lihat disini juga sudah kelihatan rumahku." Adi yang menunjuk rumah besar yang tepat di samping kiri tempat kemah itu.

"Be-besar, eh!" Shina kaget setelah melihat bayangan seorang perempuan dari jendela di rumah Adi.

"Ayo!" Ajak Adi di depan heran melihat Shina terus menatap ke arah jendela rumahnya.

"I-iya tunggu." tanpa pikir panjang Shina langsung beranjak dengan muka ketakutan.

Tepat didepan rumah Adi, Rumah besar yang kelihatan sudah tua berlantai tiga dengan desain seperti villa pada tahun 90-an.

"Se-seram" Shina takut karena lampu dirumah itu pada mati dan tak ada yang menyala.

"Apanya?"

"Rumah ini."

"Oh,iya tunggu sebentar" Adi pun masuk lalu menyalakan semua lampu dirumah itu.

"Te-terang."

"Ayo masuk." Adi mempersilahkan Shina masuk dengan kaki kotornya membuat jejak kakinya di teras sebelum sampai pintu.

"A-aku masuk ya?" Shina pun masuk tapi saat tepat di hadapan pintu shina langsung hadang Adi.

"Tunggu! cuci kaki dulu sana."

"Iya-iya." melangkah berbalik Shina langsung mencuci kakinya di keran air di depan teras.

"Udah?"

"Iya."

"Nah ayo masuk." Adi yang menyuruh Shina masuk ke rumahnya persis di depan pintu tua yang yang lebarnya sekitar beberapa meter berwarna coklat tua yang identik dengan rumah tua lainya.

Saat ia masuk kedalam rumah itu, arsitektur yang sederhana tak Ada kesan mewah di dalamnya tak ada lampu gantung hias hanya lampu besar di ruang tamu itu, terdapat beberapa ruangan di lantai satu, rumah ini memiliki 2 lantai, masuk lebih dalam lagi, terlihat ruang keluarga dengan sofa yang berjejer rapi dengan televisi di depannya dan tangga untuk ke lantai dua dan dapur tepat di belakang ruang keluarga yang dibatasi oleh tembok, untuk menuju ke dapur harus melewati lorong yang tepat di ujungnya ada kamar mandi tempat mandi keluarga itu.

"Orang tuamu mana? gak ada siapa-siapa disini?"

"Lagi kerja diluar, cuma tinggal berdua disini sama adik" ujar Adi.

"Kau bilang apa tadi?"

Shina terlalu fokus sampai tak mendengar kata-kata Adi.

"Gak, gak ada."

"Oh yaudah." Shina yang mengabaikan perkataan Adi melanjutkan tamasyanya kesekeliling rumah itu.

"Mau mandi dulu atau makan dulu?" tanya adi diruang keluarga.

"Kalo bisa sih makan dulu, hehe."

"Mending mandi dulu, lihat tubuhmu penuh lumpur dan bau."

"I-iya, kalo begitu dimana kamar mandinya?"

"Di Ujung lorong, Handuknya pakai punyaku saja dulu yang warna biru, dan jangan pakai sabun yang warna pink!"

"Iya-iya!" ucap Shina didepan kamar mandi.

Karena tak mendengarkan perkataan Adi, Shina mengambil sembarang anduk yang tergantung di tempatnya dan memakai sabun pink yang dilarang Adi.

Setelah masak Adi langsung mencuci bajunya di dekat kamar mandi disikat,direndam,dan langsung dibilas di mesin cuci.

"Shina udah?" tanya Adi yang menunggu Shina dengan baju basah.

"Sebentar lagi." suara Shina yang dibarengi gemericik air dan suara senandung yang tidak jelas yang dilantunkan Shina.

Tiga menit berlalu, Shina keluar dengan bahagia memakai baju olahraganya.

"Mana makananya?"

"Di Meja makan, ingat jangan makan yang piringnya warna pink."

"Iya-iya, yaudah aku makan dulu." Shina yang meninggalkan Adi dan langsung berjalan cepat menuju meja makan disamping ruang keluarga yang sebenarnya juga tersambung dengan dapur.

"Dasar!"

Tepat didepan meja makan, dengan banyak piring dan mangkuk yang berjejer rapi, dan lauk yang seadanya di jejeran piring itu hanya ada sayur-sayuran,tempe,tahu,sambal,dan satu piring pink dengan daging ayam dan nasi goreng diatasnya, tanpa pikir panjang ia langsung memakan semuanya dengan lahap sampai nasi di rice cooker ini tinggal tersisa sedikit, tak terkecuali dengan piring pink yang sudah diperingatkan Adi pun ia makan.

Satu jam berlalu, setelah Adi selesai ia langsung kemeja makan lalu duduk didepan Shina.

"Oh iya, soal permintaanku sebagai balas budimu, aku ingin kau buatkan aku makanan setiap hari!"

"Tidak tidak tidak, aku tidak punya bahan makanan sebanyak itu dan aku tidak bisa mengambil terlalu banyak dari ladang."

"Tenang aku bakal bayar kok." Shina yang mengeluarkan uang dari sakunya.

"Ba-baiklah, tapi biayanya sekitar seratus dua puluh ribu untuk porsimu yang sangat banyak itu."

"Tenang saja uangku banyak kok."

"Iya-iya, memangnya rumahmu dimana? ibumu tidak memasak untukmu?" Adi heran karena baru kali ini seseorang memintanya memasak dan dibayar.

"A-aku tinggal di apartemen dekat sekolah, dan orang tuanku jarang pulang jadi karena itu aku sering makan makanan cepat saji, mie misalnya dan lain-lain."

"Ka-kau yakin? lagipula masakanku tidak terlalu enak."

"Apa katamu? masakanmu enak kok. Lagi pula sudah lama aku tidak makan makanan rumahan."

"Te-terimakasih, yasudah kalau begitu besok aku antarkan makananya ke rumahmu."

"Tidak usah, biar aku yang datang kesini setelah pulang sekolah."

"Kau yakin? aku rasa kau terlalu percaya padaku, aku juga kan seorang laki-laki."

"Entah kenapa aku yakin kau orang baik, dan juga jika kau macam-macam aku bisa memukulmu dan langsung melaporkanmu ke polisi, hahahahahahahahahahahaha."

"Terimakasih sudah memercayaiku." ucap Adi pelan

"Hah, apa?" tanya Shina yang tidak mendengar perkataan Adi.

"Enggak, sebaiknya kau pulang ini sudah malam."

"Oh, iya kau benar ini sudah malam, aku juga lupa mengerjakan PR, yasudah aku pulang dulu." Shina lalu mengambil tas nya dan hendak keluar.

"Untuk seragam mu nanti besok aku kembalikan jika sudah kering."

"Ok,terima kasih." Shina pun melangkah keluar dan kaget karena suasana jalan yang sudah sangat gelap tanpa lampu, tanpa pikir panjang Shina kembali.

Shina berlari masuk ke rumah Adi, dan langsung mencarinya.

"Adi,Adiii!" Teriak Shina lantang.

"I-iya ada apa?" Adi yang tengah duduk di meja sembari membaca buku.

"Antarkan aku pulang, kenapa kau tidak bilang jalan yang kita lalui tadi sangat gelap hah?" gerutu Shina kesal

"Aku kira kau berani."

"Su-sudah ayo cepat."

"Iya-iya, malam tak seseram itu kok, hanya kegelapan yang dipenuhi dengan ketenangan."

"Iya aku tahu, aku hanya tidak tahu jalan." Shina yang beralasan dengan wajahnya yang ketakutan setelah tepat diluar rumah.

"Tunggu, aku rasa aku tau jalan pintas ke rumahmu." Adi yang menuntun Shina ke belakang rumah yang tak jauh dari sana ada tangga yang menurun kebawah.

"Aku rasa ini jalannya, lihat jalan nya terang."

"Wahh kau benar, terang oleh cahaya bulan ya?"

"Ayo jalan, sekarang kau ga takut kan?"

"Tentu saja, tapi tetap antarkan aku, aku belum tahu jalan ini akan muncul dimana."

"iyaaa."

Mereka berjalan dibawah langit malam itu diterangi bulan yang hampir sempurna bulatnya

avataravatar