14 Surat dari Mbak Ratih

Semua berjalan sangat lancar, setiap tiga hari sekali Pihu dan Aisyah akan pergi ke kampus bersama. Kampus yang terbilang cukup jauh dari asrama membuat mereka sengaja mengambil kelas hanya dua hari dalam seminggu, disamping itu karena mereka juga harus mengurusi berbagai macam kegiatan didalam pondok.

Pihu duduk di hadapan meja panjang dengan tiga buah Al-Qur'an diatasnya. Dia menyimak hafalan dua santriwati yang sedang menyetorkan hafalan mereka dengan serius, sedang seorang yang lain tengah khusyuk membaca setiap hurufnya dengan hati-hati bertujuan untuk membenahi bacaan Al-Qur'annya agar lebih sempurna.

Ia membenarkan ayat demi ayat dengan penuh kehati-hatian, karena hari ini Ustadzah Ratih menugaskan Dia dan satu temannya untuk menyimak hafalan para santri yang masih belum mengkhatamkan hafalan Al-Qur'an mereka.

Sedangkan Ustadzah Ratih sedang pergi ke kampus yang kemarin ia datangi bersama Aisyah untuk menyelesaikan beberapa formalitas beasiswa, setelah kemarin mereka berdua juga melewati serangkaian tes dan lain sebagainya.

Jari-jarinya menyentuh lembut lembaran Al-Qur'an dengan sedikit bergetar, pasalnya ada sesuatu yang berbeda kali ini. Jika biasanya ia selalu menyimak  hafalan dengan tenang karena didalam majelis putri, kali ini Ustadzah Ratih menyuruh mereka untuk setor harian di aula pondok.

Otomatis berbarengan dengan para santri putra yang juga sedang melakukan rutinan dalam ruangan yang sama, hanya sebuah hijab tinggi menjuntai hingga dasar lantai yang membatasi pandangan mereka satu sama lain.

Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam ketika angin menghembus cukup kencang dari luar, membuat tirai yang semula rapat kini sedikit terbuka. Pandangan mereka bertemu untuk kedua kalinya, netra coklat nya beradu dengan iris hitam milik Adam.

Tatapannya menghipnotis, membuat mereka berdua tertegun. Detak jantungnya berdetak dua kali lebih cepat seakan sedang berada dalam wahana yang memacu adrenalin, Adam terpaku menatap gadis yang semula bersitatap dengannya kini menunduk dalam.

Bola mata coklat terang milik Pihu seakan merasuk dalam jiwanya, mencipta rasa yang entah itu apa.

"Shodaqollohul'adzimm."

Akhir dari lantunan hafalan seorang santri menyadarkan nya dari lamunan, kecantikan gadis itu membuatnya lupa jika saat ini sedang menyimak hafalan beberapa santri telah terakhir.

Ia menyodorkan lengan ketika santri itu dengan takdzim menunggu untuk mencium tangannya, di sodorkannya Al-Qur'an yang sedari tadi digunakannya menyimak kepada pemiliknya masing-masing.

Diliriknya kembali celah tirai yang masih terbuka, menampilkan wajah cantik Pihu yang kini sudah usai menyimak, Pihu tampak sedang berbincang dengan seorang santriwati yang lebih muda darinya. Senyumnya merekah ketika wajah tenang Pihu tersenyum sumringah, ia tidak tahu jika sepasang mata kini tengah menatapnya kagum.

Adam menutup tirai itu dengan perlahan agar tidak menimbulkan bunyi derit dari tiang besi itu. Ia beranjak dari duduknya dengan menyandang beberapa kitab yang baru ia ambil dari kantor pengurus, fikirannya masih menerawang dengan bayangan Pihu yang tengah tersenyum menari-nari dalam kepalanya.

"Pihu," ucapnya menelisik sebuah foto ditangannya yang ia dapatkan satu tahun lalu, bibirnya mencipta senyum paling tulus namun tatapannya memandang dengan serius. Di selipkannya kembali foto itu kedalam sebuah kitab yang selalu dibawanya, kitab yang sudah tampak lusuh sendiri diantara kitab-kitab yang baru saja ia beli.

Flashback on

Adam sedang berdiri mematung diluar asramanya, menikmati suasana pagi kota kairo dengan lamat. Ditatapnya beberapa mahasantri seangkatannya tampak sedang bercengkrama dibawah pohon palem.

Adam menyeruput kopinya yang sudah tampak dingin, di dudukannya pinggang yang terasa penat setelah berkeliling taman di pinggir asrama itu. Sejak seminggu yang lalu libur musim panas telah dimulai, setelah dua bulan lamanya bergulat dengan segala macam ujian yang cukup memusingkan kepala.

Dia hanya menggunakan celana panjang dan kaus berlengan pendek setelah beberapa menit lalu berusaha menyibukkan dirinya dengan berkeliling taman asrama. Ia mengambil beberapa kitab yang ia letakkan didalam nakas. Ia hanya mengambil beberapa kitab saja, diantaranya kitab tafsir, fiqh dan hadist.

Di bukanya perlahan, berusaha mengingat-ingat kembali apa yang selama ini telah di perolehannya dibangku perkuliahan. Memang selama dia menetap di kairo tidak pernah sekalipun dia pulang ke Indonesia seperti kebanyakan temannya, dia lebih memilih memperdalam pengetahuannya dengan mengikuti beberapa majelis selama libur musim panas.

Ia tengah sibuk dengan kitab-kitab ditangannya hingga suara seseorang mengalihkan fokusnya.

"Adam, ada surat dari Indonesia," seru seorang yang ia kenal dari luar asrama. Ia bangkit dari duduknya, mengenakan pakaian yang lebih santai kemudian menuju ke asal suara.

"Syukron," ucap Adam setelah kawan seperjuangannya itu mengulurkan secarik surat yang baru saja dihantar oleh kurir.

"Afwan," balas nya seraya tersenyum dan menepuk punda Adam pelan kemudian berlalu, bergabung bersama sekelompok pria yang tengah menikmati obrolan mereka.

Adam kembali kedalam kamarnya, cuaca panas ini membuatnya tidak tahan dengan udara diluar. Ia merebahkan dirinya diatas kasur, membuka segel amplop itu dan mengeluarkan selembar kertas putih.

Tepat ketika ia hendak membaca surat itu, selembar foto terjatuh dari dalam lipatan surat.

Ia mengangkat alisnya heran, pasalnya baru kali ini Mbak Ratih mengiriminya surat disertai dengan foto. Foto siapa gerangan ini? Ia memungutnya, membalik foto yang semula telungkup dilantai.

Deg!!!

Hatinya berdesir, cuaca panas ini mendadak terasa sejuk ketika matanya menangkap seorang gadis cantik berjilbab ungu muda tengah duduk dengan takdzim menyimak hafalan beberapa santriwati. Tampak jelas jika foto ini diambil diam-diam tanpa sepengetahuannya, tampak begitu anggun dalam balutan sarung dan kemeja tunik yang dikenakannya.

Ia tersenyum sendiri menatap foto gadis cantik itu, wajahnya begitu bersahaja. Kemudian ia beralih membaca surat yang dikirimkan Mbaknya tersayang, ia hanya menggeleng ketika matanya dengan cepat menyapu isi surat.

Apa lagi? Mbak Ratih menginginkannya untuk segera pulang ke Indonesia, karena selama dua belas tahun dia menetap di kairo belum pernah sekalipun ia pulang, tentu saja Mbak Ratihnya yang cerewet itu selalu mengomelinya lewat surat setiap libur musim panas.

Rasanya Dia ingin tertawa melihat isi surat yang menurutnya berlebihan itu, Mbak Ratih memang sangat aneh sampai-sampai dia mengirimkan foto seorang gadis hanya untuk membujuknya agar Dia segera pulang. Seulas senyum terukir di bibir indahnya, membayangkan betapa Mbaknya itu sangat perhatian, dan satu lagi. Gadis yang Mbak Ratih pilih sangat sempurna.

"Tunggu Mbak, Adam akan Pulang menjemputnya. Satu tahun lagi," gumamnya pelan sembari menatap kembali foto yang masih ia pegang.

"Pihu."

"Nama yang lucu," lanjutnya kemudian terkekeh pelan.

Flashback off.

Adam menatap dalam kearah Pihu yang sedang menyapu halaman bersama beberapa santri, betapa gadis itu sangat anggun. Caranya menunduk, caranya berbicara dengan sopan sangat membuatnya frustasi. Bagaimana tidak, selama setahun Dia selalu memikirkan Pihu, meski ia belum pernah bertemu Pihu sebelumnya namun ia sudah sangat menyukai Pihu hanya dari selembar foto yang Mbak Ratih berikan.

Apalagi sekarang setelah ia melihat bagaimana cantiknya kepribadian Pihu, rasanya tidurnya tak pernah nyenyak semenjak pandangan pertamanya kala itu. Hatinya sudah terpaut jauh sebelum dia mengenalnya dan kini semakin menjadi saja.

Ditatapnya sekali lagi foto itu, disandingkannya dengan Pihu yang masih menyapu dibawah sana.

"Kamu lebih cantik daripada foto ini," ucapnya tersenyum hangat dengan tatapan penuh cinta.

Namun nahas, angin yang bertiup dari balkon itu cukup kencang hingga foto yang ia pegang jatuh terbawa angin kebawah sana. Jatuh tepat dihadapan para santri yang masih menyapu, sampai seorang santriwati memungutnya.

"Lho Mbak Pihu, ini fotonya Mbak Pihu kan?" Tanyanya menyodorkan foto itu, Pihu hanya menatapnya bingung.

Memang betul itu adalah foto dirinya, namun ia saja baru pertama melihat foto itu. Siapa yang memotretnya secara diam-diam dan menyimpan fotonya? Namun ia hanya mengiyakan perkataan temannya itu dan menyimpan foto itu dengan penuh tanda tanya.

Ia mengedarkan pandangannya ke segala arah, tepat ketika tatapannya mengarah ke balkon rumah Abah Adam segera menyembunyikan badannya agar tidak terlihat oleh Pihu. Ia bersembunyi dibawah kursi balkon itu yang membuatnya tidak terlihat, ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sembari meringis pelan.

Adam berdecak sebal karena foto Pihu yang satu-satunya ia miliki sudah hilang.

"Ffuuh," jarnya setengah berbisik pada dirinya sendiri kemudian segera beranjak masuk kedalam kamarnya saat para santriwati itu tidak menyadarinya.

____

avataravatar
Next chapter