7 Sebuah janji

Pintu besar berukiran itu terbuka dari luar, seorang wanita cantik masuk dengan segelas susu di tangannya. Tersenyum ramah pada Pihu yang sudah berantakan karena hanya menangis seharian.

Betapa pilunya dia melihat pemandangan semacam ini, ingin rasanya dia membawa gadis kecil ini bertemu Bunda terkasihnya. Namun apa daya, semua ini untuk kebaikan.

"Pihu mau?" Ucapnya sembari menawarkan segelas susu coklat di tangannya.

Sedangkan yang ditanya hanya menggeleng pelan lalu menyembunyikan wajahnya ke arah lain. Riska hanya tersenyum hambar kemudian merogoh sesuatu di sakunya.

"Apa Pihu merindukan Bunda? Ini lihatlah." Menyodorkan secarik surat di tangannya.

Mata Pihu membulat mendengar kata Bunda terngiang di kepalanya, bola matanya memerah menahan tangis. Ia berbalik cepat, menatap penuh harap pada kertas di hadapannya itu.

"Ini apa Tante?" Tanyanya sedikit gugup.

"Surat dari Bunda untuk Pihu." Tersenyum penuh arti.

"Apa Tante sedang membohongi Pihu?"

"Tidak Sayang, kemarin sore Bunda memang kesini untuk mengetahui keadaan Pihu. Dia sangat merindukan Pihu, tapi Bunda bilang tidak ingin membuat Pihu menangis dengan menemui Pihu sekarang," ucapnya seraya menatap lekat manik coklat gadis kecil itu yang sudah tergenang.

"Kenapa Bunda," lirihnya sendu menatap surat di tangannya, suaranya bergetar hebat menahan rindunya pada sosok sang Bunda.

"Akan tante bacakan." Mengambil isi surat.

Teruntuk Pihu, kesayangan Bunda.

Assalamualaikum Nak, bagaimana keadaanmu disana? Apa semua baik-baik saja sayang? Bunda harap tidak ada sesuatu yang buruk terjadi. Oiyaa, tante Riska bilang anak Bunda cengeng sekarang, apa benar?

Sayang, jangan bersedih. Bunda sangat menyayangimu, sangat. Karena itu Bunda rela berkorban apapun, termasuk menjauhkan Pihu. Bunda ingin Pihu menjadi seorang yang berhasil di masa depan.

Kata Ayah, putri kami sangat kuat. Tapi sekarang tampaknya putrinya ini tidak setangguh itu hehe.

Sayang, jangan menangis lagi. Bunda tidak pernah meninggalkan Pihu sekalipun, Bunda hanya ingin Pihu baik-baik saja.

Sayang, ingat satu hal yang pernah Bunda bilang dulu kan? Kita akan kalah jika kita menangis. Pihu sudah berjanji pada Bunda akan menang, bukan begitu sayang?

Dan ya satu hal lagi, jika Pihu merindukan Bunda, tatap saja langit malam.

Disana sang bulan selalu bersinar, tutup matamu dan Bunda akan ada disana. Bunda selalu di sampingmu sayang, begitu dekat. Jangan nakal ya sayang, baik-baik disana. Belajarlah dengan sungguh agar bisa berbakti pada orang-orang yang menyayangimu.

Sudah dulu ya sayang, sepertinya Bunda harus memberi minum jagung-jagung kita tampaknya mereka begitu kehausan. Bukankah tidak akan ada lagi tumis kangkung kesukaan Pihu jika jagung kita tidak berbuah?

Salam sayang, Bunda.

Riska melipat kembali surat itu, di kembalikan nya pada Pihu yang sudah sesenggukan. Ia sangat rindu mendengar omelan Bunda, ia rindu mendengar suara Bunda yang memenuhi seisi rumah mereka ketika ia melakukan kesalahan.

Riska memeluknya iba, hatinya terenyuh melihat keponakan satu-satunya itu menderita di usia yang begitu belia. Dia tidak tahan melihat Pihu yang begitu berjuang untuk menahan air matanya hingga tubuh kecil itu bergetar hebat.

"Pihu akan menang Bunda," isaknya terdengar melemah.

Pihu tertidur di pangkuan Riska setelah kelelahan menangis, sedari tadi Riska hanya termangu menatap keluar jendela dengan gelisah. Kepalanya terasa sakit jika memikirkan nasib Pihu yang polos ini.

Ketika ia sedang terlarut dalam lamunannya, tiba-tiba dering handphone terdengar begitu nyaring. Suaranya menggema kuat dalam rumah bak istana itu. Ia bergerak menuju sumber suara, dengan segera menjawab panggilan dari sebrang sana.

"Hallo, Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam, Mbak Riska kapan akan mengantarkannya kemari Mbak?" Ucap seseorang di sana to the point.

"Begini Ratih, Mbak belum bisa memastikannya. Keadaan Pihu masih belum baik saat ini, Mbak takut jika mengantarnya sekarang itu akan membuatnya semakin terpuruk," jawabnya menghela nafas pelan.

" Hmmm baiklah Mbak jika seperti itu, Ratih mengerti apa yang Mbak maksud. Akan Ratih sampaikan pada Abah jika Mbak tidak jadi kemari sekarang."

"Baiklah Ratih, Mbak sangat berterimakasih sama kamu untuk segalanya. Sampaikan salam Mbak untuk Abah ya," ucapnya berbisik karena takut membangunkan Pihu yang sedang pulas tertidur.

"Tentu Mbak, insyaAllah akan Ratih sampaikan. Ratih tutup dulu ya Mbak, sedang ada tamu di depan."

"Baik, Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam Mbak."

Riska melempar handphone itu sembarangan ke atas sofa putih di hadapannya, ia mendengus pelan. Menutup wajahnya yang tampak lelah dengan tangan.

"Mbak Anjani, bagaimana keadaanmu sekarang disana Mbak ... "

Ia menolehkan kepalanya, menatap wajah lugu Pihu. Kembali, hatinya bagai teriris. Kenangannya bersama seorang kakak yang sangat ia sayangi menari-nari di kepalanya.

Matanya memanas mengingat kejadian-kejadian di masa lampau yang menyebabkan keluarganya hancur seperti sekarang. Betapa anak tidak berdosa itu harus menanggung akibat, dari keserakahan seorang manusia hina yang menjadi sebab kehancuran ini.

"Kak Malik, Riska Rindu masa kecil kita dulu," ucapnya menggigit bibir bawahnya menahan tangis.

Ia berjalan mendekati Pihu, menyentuh wajahnya dengan sayang. Hatinya kembali mencelos, seharusnya dia sedang bermain dan tertawa riang bersama Ayah dan Bundanya saat ini.

Tapi takdir ternyata menginginkan hal lain, Ayah yang sangat ia rindukan selama ini harus menghilang sebelum dia terlahir ke dunia. Dan sekarang, dia harus rela berpisah dengan Bunda yang sangat di cintainya.

Kehidupan macam apa yang Tuhan gariskan untuk orang-orang baik ini? Mengapa takdir begitu tega mematahkan sayap kecil Pihu. Mimpinya yang begitu besar nampak sangat jauh untuk di gapai.

Kepedihan demi kepedihan menghancurkan semangatnya satu persatu. Wajah cantik Pihu selalu membuat Riska mengingat masa kecilnya bersama Malik dan Anjani dahulu, sangat menyenangkan.

Tapi mengapa Pihu kecil harus menderita seperti ini? Apa yang Tuhan inginkan? Entahlah, kepalanya terasa nyeri memikirkan semua itu.

Riska membanting tubuhnya pada tempat tidur berukuran king size itu.

Beberapa detik kemudian dia sudah terlelap, mengistirahatkan fikirannya dari semua kekalutan ini.

____

Mentari bersinar lemah di ufuk sana, menyuguhkan keindahan yang tiada habisnya. Temaram jingga itu begitu indah nan menggugah hati siapa saja yang menyaksikannya, tak terkecuali Pihu.

Hatinya mententram menyaksikan pemandangan ini, matanya membulat takjub. Di teras balkon yang terletak di lantai dua itu, ia sedang berdiri memandangi hiruk pikuk kehidupan manusia-manusia sibuk.

Satu persatu dari mereka mulai menghilang, meninggalkan kesibukannya untuk beristirahat dan menghabiskan waktu bersama keluarganya. Di bawah sana tampak sunyi, hanya bunyi klakson yang beberapa kali tertangkap oleh indra pendengarannya.

Langit mulai meremang, menampakkan siluet-siluet lampu jalanan yang satu persatu mulai di hidupkan. Hati Pihu mencelos menyaksikan semua ini, entah mengapa dirinya teringat pada sosok Bunda yang saat ini entah dimana.

Gedung-gedung pencakar langit itu menjadi saksi bisu, betapa ia sangat merindukan sosok Bunda. Setetes bening terjatuh dari pelupuknya, namun dengan segera ia hapus jejaknya. Bukankah ia sudah berjanji semalam?

Pihu bangkit dari duduknya, menatap nanar mentari yang sudah kembali ke peraduannya sebentar. Langkah kecil itu tampak gontai menyentuh lantai yang dingin dan besar, sama sekali tidak ada kehangatan disana.

Ia kembali ke dalam kamar, diatas ranjang berukuran besar tampak koper cukup besar dan Riska yang sedang mengemasi semua barang-barang Pihu ke dalamnya.

"Apa mentari yang cantik itu sudah menghilang?" Ucap Riska tersenyum hangat sembari tangannya masih sibuk menyusun pakaian Pihu ke dalam koper.

"Sudah Tante, mentari diluar sana sangat indah namun sudah menghilang ... Seperti Bunda," ucapnya tersenyum getir.

avataravatar
Next chapter