3 perjuangan

Di kejauhan tampak seseorang wanita paruh baya setengah berlari menghampirinya. Ya, wanita itu adalah Dokter Nunik. Saat baru pulang dari kota karena pekerjaannya, dia begitu terkejut ketika melihat seseorang bersimpuh di halamannya.

Segera mungkin ia berlari, meninggalkan sepeda yang sedari tadi ia tuntun. Di belakangnya mengekor seorang pria cukup tua, suaminya, sedikit tergesa menghampiri mereka berdua.

"Ya Allah, ini Pihu kenapa Mbak?" Tanyanya dengan raut wajah cemas sembari menyentuh permukaan pelipisnya yang memucat.

"Dii Diaa sakittt Buk, tolong bantu putri saya, saya mohon," rintihnya dengan terbata.

"Pak, tolong bantu angkat Pihu kedalam. Demamnya sangat tinggi saya harus segera melakukan tindakan, cepat!" Ucapnya lantang pada suaminya itu.

Dengan segera dia membopong Pihu masuk kedalam, kemudian membaringkannya di atas tempat tidur pada ruangan serba putih itu. Dokter Nunik menyuruh mereka untuk menunggu di luar, sembari menyiapkan teh hangat untuk Bunda Pihu agar ia lebih tenang.

Dia meminta agar mereka setenang mungkin dan berdo'a semoga Pihu baik-baik saja. Setengah jam kemudian, Dokter itu keluar dengan wajah lega. Bunda segera bangkit dari duduknya, ia yang sedari tadi tak henti memanjatkan do'a baru bisa bernafas lega.

"Pihu baik-baik saja Mbak, Mbak tidak usah khawatir. Demamnya sudah mulai turun, hanya dia harus istirahat total beberapa hari. Dan sebaiknya, dia beristirahat disini," ucap Dokter Nunik menenangkan.

Bunda yang mendengarnya hanya bisa bernafas pelan, dia senang Pihu akan baik-baik saja, tapi di sisi lain dia tidak mempunyai banyak uang. Fikirannya sedang kacau saat ini, entahlah dia sangat lelah.

Waktu menunjukan pukul sepuluh malam sekarang, Pihu masih belum terbangun. Wajahnya tampak pucat, namun tak menyembunyikan kecantikan gadis kecil itu. Bunda tertidur di sampingnya dengan terus menggenggam tangan kecil itu.

Di balik pintu kaca, sepasang mata sayu menatap mereka dengan sendu. Dia berbalik dari pemandangan itu menghembuskan nafas berat, mendapati suaminya tengah tersenyum hangat di hadapan nya.

"Ada apa Buk? Apa yang Ibu fikirkan saat ini?"

"Entahlah Pak, Ibu hanya merasa kasihan pada mereka. Terlebih pada Pihu, Dia anak yang sangat baik dan pandai. Tapi," ucapnya menggantung.

"Tapi kenapa Buk?"

Namun sang empunya tak langsung menjawab pertanyaan itu, tatapannya menatap kosong langit-langit. Ya memang, kekurangannya yang tidak mampu memiliki keturunan membuat hatinya selalu iba jika melihat anak-anak yang kurang beruntung.

Dia ingin membuat setiap anak bahagia, namun apa ia akan tega? Memisahkan sepasang anak dan ibu yang begitu saling mengasihi itu? Ah, dia tidak bisa memikirkannya.

Fikirannya menerawang jauh, kejadian siang tadi membuatnya harus berfikir berulang kali.

"Ibu mau kedalam dulu pak, harus memeriksa keadaan Pihu sebentar," ucapnya pelan kemudian meninggalkan suaminya itu tanpa jawaban sama sekali. Fikirannya sedang rumit sekarang.

Sedang di sana, sang suami menatap punggungnya dengan senyum yang tak pernah luntur. Ia begitu bangga dengan istrinya itu, meski ia tahu jika hati istrinya selalu gelisah tentang semua ini.

____

Pukul tiga malam Bunda terbangun dari tidurnya, menatap Pihu yang masih dengan nyaman dalam istirahatnya. Ia mengelus pucuk kepala Pihu sebentar, kemudian membenarkan selimut yang di gunakan Pihu.

Ia melayangkan pandangannya ke setiap sudut, ketemu. Jam dinding menunjukan pukul tiga lewat lima belas menit. Ia segera beranjak dari duduknya, keluar dari ruangan minimalis itu. Ekor matanya bergerak mencari letak kamar mandi, ia ingin segera mengadu pada Rabb nya.

Ia bergerak menyusuri lorong yang cukup panjang, retinanya menatap lemah langkah kakinya sendiri. Ia memasuki pintu berwarna merah mudah dengan lukisan mawar di atasnya.

Denting air yang berjatuhan menimbulkan gemericik riang, namun tak begitu dengan hatinya yang sedang kalut. Ia mengenyahkan fikiran itu jauh-jauh, saat ini ia hanya ingin segera bersimpuh pada Sang maha kuasa.

Ia basuh seluruh wajahnya dengan meresapi setiap sentuhan air wudhu, berganti kedua tangan hingga kedua kakinya.

Rasanya setiap tetes air yang menyetuh permukaan kulitnya ikut pula membasuh hatinya rapuhnya, seakan semua masalah itu ikut terhanyut bersama air yang mengguyur setiap anggota tubuhnya.

Ia gelar sejadah di musholla kecil samping ruang inap Pihu, menggunakan mukena putih yang tergantung di kastock sebelah pintu. Enam rakaat sudah ketika salam terakhir ia lantunkan.

Menadahkan tangan yang begitu lemah mengais kehidupan, ia bersimpuh. Hatinya terasa luruh dalam perbincangannya dengan sang khalik, sungguh tiada tempat yang nyaman untuk mengadu selain padaNya.

Begitu khusyuk, terasa amat sendu dan pilu semua rasa ia tumpahkan disana. Bahunya bergetar hebat menahan segala pedih yang ia emban.

"Rabb," rintihnya kecil.

Hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir nya, selain itu ia curahkan dalam hati. Ketika bibir tak mampu berucap betapa lelahnya kita, Tuhan selalu tahu apa yang tergerak di hati masing-masing hambanya. ____

Sinar mentari menerobos masuk kedalam celah jendela, menyilaukan mata Pihu yang baru saja tersadar dari tidurnya. Ia menguceknya pelan, mengedipkan nya beberapa kali untuk menyesuaikan netranya.

Baru saja hendak terbangun, namun tangannya tertahan sesuatu. Ya, itu tangan Bunda yang semalaman tetap menggenggam nya begitu erat. Ohh wajah Bunda tampak begitu lelah, apa yang sebenarnya terjadi?

"Kita dimana ini Bunda?" Cicitnya pelan karena kerongkongan  nya masih terasa perih.

"Ehh Pihu sudah bangun?"

"Kita dimana Bunda? Apa yang terjadi?" Tanyanya polos sambil masih mengerjapkan matanya.

"Pihu semalam sakit, jadi Bunda bawa kamu kesini," ungkapnya jujur sembari mengelus lembut pipi gembulnya.

Baru saja Pihu hendak membuka mulutnya, seseorang di sebrang sana mengetuk pelan pintu kamar yang sedikit terbuka itu. Di tangannya terletak nampan dengan dua porsi sarapan dan teh hangat untuk mereka.

"Wahhh Nak Pihu sudah bangun, bagaimana tidurnya hm?" Ucap perempuan itu sambil tersenyum manis.

Tangannya dengan terampil menaruh setiap makanan di atas meja kecil di samping tempat tidur.

"Bagaimana Pihu keadaannya, apa sudah membaik?" Ungkapnya ramah.

"Memang Pihu kenapa Bu Dokter?" Ucap Pihu polos sambil mengerjap-ngerjapkan matanya, sibuk meneliti apa yang akan di ucapkan Dokter baik hati itu.

"Tidak, Pihu tidak apa-apa. Anak kuat seperti Pihu kan tidak akan apa-apa," menyentuh ujung hidung nya dengan gemas.

"Dokter cuma ingin bertanya bagaimana tidurnya semalam? Apa Pihu bermimpi indah hm?"

Manik coklatnya menatap serius, seolah mengingat apa yang semalam di mimpikan nya.

"Ah iya, Pihu bermimpi sangat indah," ucapnya bersemangat, sudut bibirnya terangkat naik membuat kedua pipinya kini membulat sempurna.

"Ohh ya? Apa itu, apa Dokter boleh tau?"

"Tentu saja"

" Eumm Pihu bermimpi, jika Pihu dan Bunda pergi ke suatu tempat. Disana sangat ramai penuh dengan orang-orang baik, dan ada rumah yang sangat besar sekali Bunda," ungkapnya antusias sambil memamerkan senyum menggemaskannya.

Dokter yang melihat itu hanya tersenyum senang, kemudian dia memeriksa keadaan Pihu sekali lagi. Menyuruh mereka menghabiskan sarapan kemudian undur diri karena dia bekerja di kota.

avataravatar
Next chapter