1 Peri kecil Bunda

Angin berhembus dengan kencang , menggoyang kan dinding bambu yang sudah reot itu. Seorang anak kecil dengan lantang membaca kalam suci, bibir mungilnya senantiasa mendendangkan asma Allah dengan suara indahnya.

Di dalam gubuk tua itu, mereka tengah mengaji bersama. Meminta perlindungan kepada sang khalik dari segala marabahaya. Gadis mungil berjilbab lusuh dengan takdzim membaca ayat demi ayatnya, menghayati setiap kalimat yang keluar dari mulut kecilnya.

Meski bacaan nya terbilang belum sempurna, namun ketulusan terpancar jelas di kedua netra nya. Di umurnya yang belia, Pihu sudah pandai membaca Al-Qur'an meskipun sedikit terbata.

5 tahun yang lalu, tepat dimana ia di lahirkan ke dunia ini. Tepat dimana itu menjadi hari terindah nya, karena seorang manusia mulia telah melahirkan nya ke dunia dengan taruhan nyawa.

"Shodaqollohul'adzimm"

Akhir dari kalimat nya menggema di gubuk kecil itu. Kemudian hening, hanya terdengar gemeretuk dari deratan gigi putinya yang sedang mengulang hafalan Al-Qur'an nya dalam diam.

Halaman demi halaman sudah ia ulang dengan teliti, tangan mungilnya membalik setiap lembar dengan semangat. Di kegelapan sana, sang Bunda sedang mempersiapkan makan malam sederhana.

Senyumnya merekah begitu netranya menangkap sosok putri semata wayangnya sedang sibuk membalik lembar demi lembar Al-Qur'an, menampilkan gigi yang masih berderet rapi di dalam sana.

Namun senyumnya perlahan memudar, matanya memanas. Bulir-bulir bening berjatuhan sekarang, namun bibirnya bergetar menandakan apa yang ingin ia simpan dalam air matanya.

"Mas, putri kita sudah besar sekarang," seraknya.

"Dia mirip kamu Mas, rajin menghafal seperti cita-cita kamu dulu," suaranya tercekat, tidak mampu melanjutkan kata-katanya.

"Bunda kenapa menangis?" Ucapan Pihu mengagetkannya. Segera dia menghapus jejak air mata yang mengering di pipinya dengan telapak kasar itu.

"Ahh tidak Nak, mata Bunda kelilipan tadi makanya jadi merah," bohongnya tersenyum hambar.

Namun Pihu bukan lah anak bodoh, nampak jelas di matanya jika bunda nya sedang menangis. Raut wajah lelah itu kini tersirat banyak kesedihan disana. Meski dalam keremangan, wajahnya begitu sendu di mata Pihu.

"Sini Bunda"

Pihu melambaikan tangannya, mengisyaratkan agar Bunda nya itu menunduk. Menyeimbangkan badan mungilnya. Lembut dan perlahan, Pihu mengusap kedua mata sembab itu.

Di tiupnya secara bergantian, kemudian berganti mengelus bekas airmata Bunda nya.

"Bunda gausah bohong sama Pihu, Pihu nakal ya sampai membuat Bunda menangis," ucapan nya dengan polos.

Namun kata-kata Pihu membuat hati Bunda mencelos. Dengan lembut di tariknya Pihu kedalam dekapannya.

Di dekapnya dengan erat, seolah ia tidak akan melepasnya.

"Eumm Bunda"

"Iya sayang kenapa?"

"Pihu sesak, Bunda meluknya kekencengan," wajah polos itu lagi.

Bundanya hanya tersenyum gemas, melepaskan pelukan mereka kemudian mencium pucuk kepala putrinya penuh kasih sayang.

Krrruuukkkkkk

Suara dari perut Pihu mengagetkan mereka, mereka hanya berpandangan kemudian tertawa bersama.

"Pihu lapar Nak?" Sambil mengacak gemas pucuk kepala Pihu.

"Hhhee iya Bunda, Pihu sangat lapar setelah menghafal," ucapnya dengan pipi yang bersemu merah.

"Yasudah mari kita makan, Bunda sudah memasak tumis kangkung kesukaan Pihu"

"Mari Bunda, Pihu tidak sabar ingin mencicipinya lagi. Sudah lama Bunda tidak memasaknya," dengan menyengir lebar dan langsung menghampiri beberapa makanan yang sudah tertata di atas tikar pandan.

Sang Bunda hanya tersenyum menyaksikan tingkah putrinya itu, kemudian menyusul Pihu dan duduk bersila di atas tikar bersama nya. Mereka menyantap hidangan itu dengan suka ria, dengan penuh senyuman pihu melahap nya hingga kandas tak tersisa.

Makanan yang tampak begitu sederhana dan seadanya bagi sebagian orang, tapi tidak bagi Pihu. Baginya masakan Bunda selalu yang terenak untuk di makan, apalagi melahapnya bersama Bunda. Rasanya menjadi berkali lipat nikmat dan khidmat.

____

Sinar mentari menembus celah jendela kayu itu, menyongsong pagi dengan senyuman yang indah.

Disana, Pihu sedang berdiri mematung di hamparan kebun jagung milik Bundanya.

Sudah rutinitas wajib di pagi hari, setelah solat subuh pihu akan berkeliling di kebun jagung yang tak terlalu luas itu. Dia akan bersenandung ria sambil menyirami mereka.

Di depan matanya kini, beberapa petani hilir mudik dengan sepedanya. Sebagian dari mereka akan berkebun, sebagian lain akan menjual hasil panen mereka ke kota.

Berbeda dengan Pihu, dia hanya mematung sedari tadi.

Menatap tajam ke arah jalanan yang mengarah ke kota itu, jalan setapak yang akan menjadi begitu licin ketika di guyur hujan. Seperti semalam, hujan yang cukup besar membuat jalanan itu tampak seperti sawah berlumpur.

Beberapa kali Pihu harus  menyaksikan petani yang terguling ketika hendak membawa hasil panen nya melewati jalan itu. Alhasil jagung mereka berhamburan kesana kemari, penuh dengan lumpur.

Namun dengan sigap tangan kecilnya memunguti jagung-jagung yang berserakan.

Membantu orang lain terasa menyenangkan untuk gadis belia itu, berbeda dengan anak-anak seusianya.

Mereka sibuk bermain genangan lumpur di tanah lapang dekat perkebunan. Bukan nya Pihu tidak ingin bergabung dan bergembira, namun baginya kegembiraan akan terasa jauh lebih menyenangkan ketika itu bermanfaat untuk orang di sekitarnya.

Sudah satu jam Pihu hanya berdiam di tempatnya berpijak, bahkan orang-orang pun sudah mulai sedikit yang berlaku lalang. Mereka mulai sibuk dengan pekerjaan nya masing-masing.

Namun Pihu masih setia menunggui jalanan itu, tanpa rasa pegal sekalipun. Di belakang sana Bunda tergopoh-gopoh membawa jagung mereka yang baru saja ia petik.

"Pihu, kenapa sedari tadi hanya memandangi mereka saja hmm??"

"Tidak Bunda, Pihu tidak memandangi mereka kok bunda," jawabnya pelan sembari memamerkan pupyl eyes miliknya.

"Lha terus kamu dari tadi ngapain?"

"Pihu hanya senang memandangi jalanan itu Bunda," ucapnya sembari menunjuk jalanan di hapannya.

"Kenapa?"

"Disana, Pihu bisa melihat harapan. Nanti kalo Pihu sudah besar, Pihu akan membawa Bunda ke kota yang besar"

"Disana kita akan punya istana yang megah dan indah," sambungnya kemudian dengan senyuman yang indah. Matanya terus menatap lurus kedepan, seolah di hapannya kini mimpi-mimpi sedang berlarian.

Namun tatapan itu membuat wanita paruh baya di sebelahnya mencelos, wajahnya yang kelelahan mulai menjadi sendu. Tatapan percaya itu, harapan dan mimpi itu membuat hati sang Bunda perih tak berkesudahan.

Setitik air jatuh dari pengawasan nya, namun buru-buru ia sembunyikan.

"Bagaimana kalo hari ini kita ke kota, apa Pihu mau?"

"Benar Bunda?"

Tatapan nya berkilau dan senyumnya melebar, begitu berhasrat sekali anak ini Tuhan. Ohhh hati Bunda nya semakin dibuat tak karuan.

"Tentu saja sayang," jawab nya bergetar.

"Hari ini kita panen, jadi Bunda akan menjual hasil panen kita dan membeli beberapa kebutuhan," ucap Bunda setenang mungkin.

"Baiklah Bunda, biar Pihu saja yang angkat jagungnya" dengan terus memamerkan gigi nya.

"Tapi itu berat Nak, biar Bunda saja ya.."

"Ahh tidak Bunda, tidak.. ini tidak berat Pihu bisa mengangkatnya."

Dengan secepat mungkin anak itu sudah menghilang di balik rimbun pohon-pohon jagung.

"Hati-hati Pihu.."

Bunda hanya bisa pasrah dan mengekori nya dari belakang, meskipun ia tertinggal jauh. Sedang Pihu pasti sudah hampir sampai di depan sana.

____

Sepeda tua itu melaju dengan perlahan, di kanan kiri mereka terhampar kebun-kebun warga seluas mata memandang.

Bunyi burung-burung saling bertautan yang terdengar seperti nyanyian, mengirigi perjalan mereka yang cukup jauh di tempuh dengan sepeda. Jalan setapak kini sudah mulai mengering oleh sang surya.

Namun tampaknya tak mempengaruhi semangat Pihu, sedari tadi dia terus berdendang. Secara bergantian melantunkan solawat dan lagu kesukaan nya. Tangannya melambai-lambai di udara.

Bunda hanya fokus mengayuh sepeda sedari tadi, sambil sesekali netra nya menoleh kebelakang sekedar untuk memastikan bahwa peri kecilnya masih duduk dengan baik di atas tumpukan jagung itu.

Lembut ku kenang

Kasih mu Ibu

di dalam hati

kini ku menanggung rindu

Lirih terdengar senandung lagu yang di nyanyikan Pihu, suaranya terbawa angin sayup-sayup sampai terdengar oleh indra pendengaran Bunda.

Ia hanya tersenyum mendengar Pihu bersenandung lagu itu, senyumnya menghangat di balik wajah yang sudah merah padam terkena terik matahari. Tangan Pihu menggapai-gapai udara yang tidak bisa ia tangkap.

Sedangkan di sampingnya, semilir angin dengan usil membelai rambut Pihu jail. membuat sang empunya hanya mampu bergidik kegelian karena sebagian rambutnya masuk kedalam telinganya.

Bunda yang melihat pemandangan itu hanya terkekeh pelan, sebelah tanganya sesekali meraih badan Pihu. Membenarkan posisi duduk gadis mungil itu agar tidak terjatuh bersama jagung-jagungnya.

____

Keringat membanjiri tubuhnya, wajah nya tampak begitu kelelahan. Peluh tak henti menetes dari dahinya sedari tadi. Setelah menempuh perjalanan yang panas dan melelahkan akhirnya mereka sampai pada sebuah pasar yang mereka tuju.

Ia segera menurunkan Pihu terlebih dahulu, kemudian mangais jagung-jagung itu di punggungnya dengan kain.

Ia segera menuju pengepul yang sudah di banjiri oleh orang-orang yang juga berniat sama.

Pihu dengan takjub memandang sekeliling, dengan sebelah tangan dalam genggaman Bunda. Ia menatap gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi. Kendaraan simpang siur menyibukkan lalu lintas.

Kedua netranya tak henti memuji keasingan ini, setelah sekian lama ini pertama kali baginya malihat hiruk pikuk kota besar. Mulutnya tak henti menganga jika Bunda tak menyuruhnya menutup mulut.

"Mengapa tak dari dulu Bunda mengajak Pihu kesini," ocehnya kesal.

"Dulu kamu itu masih sangat kecil Pihu, bagaimana Bunda bisa mengajak Pihu. Jika Pihu terjatuh dari sepeda bagaimana?" Jawab nya dengan tetap sibuk melihat antrian para petani di depannya.

"Hummmm"

"Bunda, Pihu ingin makan sesuatu apa boleh?"

"Tentu Sayang, setelah ini Bunda akan mengajak Pihu membeli ice cream di depan sana ya, tapi Bunda harus menyelesaikan ini dulu, Pihu mau menunggu kan?" Ucapnya sembari berjongkok di hadapan Pihu.

"Baiklah Bunda, Pihu akan menunggu. Demi ice cream," ucap Pihu serius dengan mengepalkan tangannya ke udara. Sedang Bunda malah terkikik geli di buatnya.

Ia hanya menggeleng, tak heran ini memang pertama kalinya Pihu di belikan ice cream.

Mengingatnya, hati Bunda tersenyum kecut. Betapa tidak, hidupnya sangat sulit lima tahun ini. Jangan kan untuk membeli ice cream, untuk kehidupannya sehari-hari pun sangat minim sekali. Baginya kini setiap sen sangatlah berharga.

Namun hari ini, dia ingin membuat Pihu senang. Setelah seharian kelelahan setidaknya dia bisa memberi Pihu sesuatu yang di inginkan nya. Meski itu tidaklah seberapa.

avataravatar
Next chapter